Seperti hujan, dia berbaris-bening, sejuk dan mudah terbentuk, segar dan menyulap segala termekar.
__________________________________________________________________________________
Ayah bilang, itulah rasa. Di mana “Kau, aku, juga mencintai Bunda bukan? Sama meninggi tapi terkucur dalam cawan dan ruang yang berbeda. Kau mengerti Nak?”.
Seperti itulah rekaman yang terputar di pembaringan yang biasanya selalu kami banggakan berempat, yakni Polosku, Ayah, Bunda, dan adikku yang selalu terdiam cerdas. Namun kali ini tinggal kita berdua, rumah sepi, diboyong bersama cinta Bunda ke rumah sakit. Ayah benar-benar memandang dan menguras segala otak beliaku tepat saat Sandakala tiba.
Saat itu Ayah masih sangat gagah, mengimami Maghrib dengan segala wudlu dan ceria. Namun, ternyata saya salah, Pemilik Izra’il-lah yang Maha Segalanya.
Di rokaat kedua, Ayah menutup segenap cerita, duka memang, tapi siapa yang akan merangkulnya dengan tegar, dan menjawab segala dengar, jika bukan aku dan kesendirian?
Duka tambah mengangah saja, saat kakak per-kakak menjemput sisa-sisa duka, dan mengiba tentang Bunda. “Bunda bagaimana Dik? Kita pasti harus menahan haru yang tentu membiru”. Dia benar, Hanya tinggal kita, dan Bunda, mesti saling jaga.
__________________________________________________________________________________
Masih lembab gundukan bertabur mawar dan segala bunga di pemakaman Ayah, saya ingat betul, saat itu liatnya masih sangat basah dengan siraman air dan doa. Namun kami harus menjemput Bunda di ruang operasi, menjegal Izrail berikutnya, dengan tawa, ceria, bahkan canda.
__________________________________________________________________________________
“Bundamu selamat, operasi berlangsung lancar bersama Tuhan Yang Kasih”. Jabat dokter bersama senyum bunda yang menyegerakan kami berkemas dan kembali memadu cinta keluarga.
Tak selesai, ada sepenggal petir menggeliat di telinga kami, “Ayah mana?” tanya bunda setelah sejuk rumah hampir melupakan kami semua. Tak ada suara, Tuhan menciptakan kami bisu tak mengenal jawab kata.
Untuk berikutnya, entah pada putaran jarum jam ke berapa, yang jelas jelang senja. Kudengar lirih paman-paman yang bijak menceritakan tentang Nabi Ayub dan segala pengorbanan-pengorbanan dalam kisah. Tentu kepada Bunda, sebelum kemudian membisik “Ayah, tiada”.
Kau pernah melihat bagaimana rerumput melahirkan embun-embun? Atau basah kaca saat musim dingin tiba?. Itu air mata ibu saat itu, tak banyak, hanya sedikit saja.
Karena, “Ayah pernah datang memeluk-ciumku, membeli segala keterpisahan kita, dengan segenap cinta”. Tuturnya.
Ah...ternyata cinta bisa sedahsyat itu, dan kami percaya, Tuhanpun sangat menghargai cinta, bisa saling tawar untuk berkorban, sekalipun dalam hal batas usia dan jatuh tempo kematian.
Hingga selanjutnya, di suasana kamar rumah sakit yang hampir sama, Bunda tersenyum dan berkata. “Bunda pamit, Tuhan dan Ayah telah menyapa, mereka rindu katanya”. Tepat dalam jeda tiga tahun setelah kepergian Ayah, Bundapun tiada, tentu saja kami kembali duka, namun Bunda meledek kami dengan senyum penuh cinta.
__________________________________________________________________________________
Yang menarik adalah semuanya terjadi di pelataran jingga senja. Di sana selalu ada haru, kadang duka, suka, atau apapun yang selalu penuh cinta.
Karena memang seperti itulah rasa,
Jadi,
Mengapa kita mesti menangis, Kala Senja, Saat bumi, Tertusuk separuh matahari?.
| Kisah ini terjadi di tahun 2002 dan penghujung 2005, berhasil membuat kami dewasa tentang cinta dan senja, serta akan selalu terkenang hingga habis masa |
Untuk Bunda dan Ayah yang saling cinta saat senja. Kami siap untuk merindu kapan saja.
Al-fatihah ...
Cirebon, 11 Juli 2011
Salam,
Sobih Adnan dan Kakak-kakak tercinta
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H