Mohon tunggu...
Siwi Nugraheni
Siwi Nugraheni Mohon Tunggu... Penulis - Dosen salah satu PTS di Bandung

Menulis untuk belajar

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Sampah Kita, Tanggung Jawab Masing-Masing

22 Februari 2023   05:57 Diperbarui: 22 Februari 2023   07:40 883
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tanggal 21 Februari 2005, sebuah tragedi memilukan terjadi. Gunungan sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Leuwigajah (Cimahi, Jawa Barat) meledak, longsor dan menyebabkan lebih dari seratus orang meninggal tertimbun runtuhan sampah. Sejak itu, tanggal 21 Februari ditetapkan sebagai Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN).

Sampah tidak bisa lagi dianggap remeh. Ia telah menjadi masalah di Indonesia, terutama di kota-kota besar. Volume timbulan sampah di atas kapasitas pemerintah mengelola adalah pangkal masalahnya. 

Dari sisi ekonomi, jika pasokan melebihi permintaan, maka akan terjadi surplus. Inilah yang terjadi: surplus sampah. Lalu siapa yang harus bertanggung jawab mengatasinya?

Not in My Backyard (NIMBY)

Mayoritas pengelolaan sampah di Indonesia masih mengandalkan cara primitif: kumpul-angkut-buang. Sampah-sampah dari rumah tangga (yang tidak dipilah, bercampur antara non-organik dan organik) dikumpulkan oleh pengelola di tingkat RT/RW, diangkut ke Tempat Pembuangan Sementara (TPS), lalu truk-truk sampah akan mengangkut sampah dari TPS ke TPA.

Perilaku kita terhadap sampahpun sangat sederhana: selama sampah saya sudah diangkut, lenyap dari rumah saya, persoalan saya beres! Fenomena not in my backyard (NIMBY). Ketika tukang sampah beberapa hari libur, mudahnya menggerutu:

"Nih, tukang sampah ke mana ya, nggak mikir apa, kalau sampah menumpuk jadi bau?"

Bahwa akhirnya sampah menumpuk di TPA, yang bau busuknya mengganggu penduduk di sekitarnya; bahwa akhirnya TPA longsor dan menyebabkan kematian, kita hanya dapat tertegun. Tapi setelah peristiwa itu, perilaku kita kembali lagi: tidak ada upaya mengurangi sampah.

Sumber gambar: kompas.id
Sumber gambar: kompas.id

Sampah adalah Berkah?

Dalam mengatasi masalah sampah, beberapa program ditawarkan. Ada semboyan "mengubah sampah menjadi berkah". 

Jika tidak hati-hati, semboyan ini justru menjerumuskan. Bukan hanya menghilangkan rasa bersalah, tapi menimbulkan rasa nyaman karena merasa "menjadi berkah bagi orang lain melalui sampah yang kita buang".

"Nanti juga akan diambil pemulung, lalu dijual, dan mereka dapat uang."

Jika sampah yang kita buang adalah campuran antara organik dan non-organik, tidak ada cerita sampah kita jadi berkah. Sampah organik di dalam plastik akan membuat proses penguraian bersifat anaerob, yang akan menimbulkan bau busuk. Maka pemilahan antara sampah organik dari sampah non-organik adalah keharusan, dan dilakukan di sumber sampah: rumah tangga.

Menggeser tugas pemilahan sampah dari rumah tangga ke petugas atau pemulung di tempat pembuangan sampah akan berhadapan dengan materi yang membusuk dengan bau menyengat. Saya sendiri tidak akan tahan berhadapan dengan situasi seperti itu, maka rasanya tak tega menyuruh orang lain melakukannya.

Keberadaan Bank Sampah juga diharapkan dapat mengatasi permasalahan sampah. Jika dulu sampah non-organik kita jual ke tukang rongsok yang lewat di depan rumah, dengan adanya Bank Sampah, kita datang ke Bank Sampah untuk menjual sampah. 

Namun iming-iming uang yang terlalu ditekankan bisa menjadi boomerang, karena dua hal. Pertama, tidak mendorong perilaku mengurangi sampah ("sampahku akan menghasilkan uang").

Kedua, sebaliknya. karena jumlah nominal harga sampah sering dianggap terlalu kecil, maka menjual sampah ke Bank Sampah bukan hal yang menarik. 

Akan lebih baik menekankan fungsi Bank Sampah yang dapat menghindarkan lingkungan dari masalah sampah. Jika dipilah, sampah akan berpotensi bermanfaat, dan kita terhindar dari masalah sampah (kotor, bau, sumber penyakit).

Pengelolaan sampah mestinya dimulai dari akar penyebabnya: volume timbulan sampah melebihi kapasitas mengolahnya; tingkat daur ulang sampah non-organik masih sangat rendah karena kondisi sampah non-organik yang tercampur sampah organik, dan memang kapasitas daur ulang yang jauh di bawah volume sampah non-organik.

Maka kunci pengelolaan sampah: kurangi timbulan sampah, jika terpaksa masih membuang sampah, maka pilah antara organik dan non-organik sehingga sampah non-organik yang dibuang dalam kondisi bersih, dan berpotensi dapat dimanfaatkan kembali.

Walk the Talk

Saya sendiri mencoba konsisten, walk the talk. Sejak tahun 1996 saya berusaha mengurangi timbulan sampah. 

Sedapat mungkin bawa tas belanja sendiri, bawa wadah sendiri ketika membeli makan atau minum. Selalu bawa tempat minum. Menolak plastik ketika belanja di pasar (saya punya beberapa cerita unik tentang ini, kapan-kapan akan saya tulis di Kompasiana).

Memilah sampah juga saya lakukan, agar sampah non-organik masih bersih dan (semoga) dapat dimanfaatkan pemulung. Sampah organik? Buang (kubur) di kebun sempit kami. 

Sampah yang keluar dari rumah kami sedapat mungkin yang jenis non-organik dan dalam keadaan bersih (tidak bercampur dengan sampah basah).

Belum bisa zero waste, karena betul-betul menghindar dari makanan atau minuman kemasan belum dapat saya lakukan (masih makan mi instan, masih beli peyek dalam kemasan plastik, masih beli roti dan makanan ringan yang dibungkus plastik, kadang masih minum kopi sasetan juga, dan lain-lain). 

Juga belum bisa meninggalkan belanja online, yang pengemasannya saya anggap sering berlebihan, dan harus berakhir di tempat sampah. Belum lagi dosa-dosa saya di masa lalu, ketika saya masih menggunakan diapers untuk anak saya ketika masih bayi. Itu hal-hal yang membuat saya merasa bersalah.

TPA Leuwigajah memang sudah ditutup, kini berpindah ke Sarimukti. Namun kalau perilaku kita terhadap sampah masih tidak berubah, perpindahan itu hanya bermakna memindah permasalahan. 

Di HPSN tahun 2023 ini, semoga kita makin sadar bahwa sampah yang kita hasilkan (masih) lebih banyak menimbulkan kerepotan orang lain. Terlebih bila sampah yang kita buang tidak dipilah, bercampur antara organik dan non-organik, jangan GR sampah kita akan jadi berkah (buat orang lain).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun