Mohon tunggu...
Siwi Nugraheni
Siwi Nugraheni Mohon Tunggu... Penulis - Dosen salah satu PTS di Bandung

Menulis untuk belajar

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Vaksin Booster, Perlukah?

7 Februari 2023   13:46 Diperbarui: 8 Februari 2023   12:36 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemerintah resmi meluncurkan vaksin booster kedua (dosis keempat) untuk masyarakat. Sejauh ini minat masyarakat untuk mengambil haknya atas vaksin dosis keempat tersebut rendah. 

Tingkat vaksinasi booster kedua (konon) baru dua persen. Lalu, perlukah pemerintah mendorong vaksinasi booster kedua ini dengan membuat kebijakan 'semi paksa' seperti sebelumnya: mensyaratkan vaksin untuk akses berbagai fasilitas dan layanan publik? Atau pertanyaannya dibalik, dan menjadi spesifik lagi: perlukah vaksin booster?

Sebelum membahas tentang topik tersebut, saya akan melakukan disclaimer lebih dulu. Saya bukan lulusan sekolah kesehatan atau semacamnya, apa yang saya kemukakan di sini adalah pendapat beberapa kawan saya (merekalah yang dokter), yang menurut saya pendapat tersebut sangat bisa diperdebatkan dan didiskusikan. 

Bahkan sangat mungkin diadu, karena perkara covid-19 dari sisi kesehatan adalah hard-science, yang lebih mudah dibuktikan (lewat riset) ketimbang social science (yang membahas persepsi). Jika adu hasil riset itu terjadi, kami, kaum awam ini, dapat ikut mencermati dan menilai: mana yang lebih masuk akal.

Lalu, saya yang bukan ahli kesehatan, mengapa percaya diri menulis tentang kesehatan? Bagi saya, kesehatan menyangkut keselamatan hidup, maka saya perlu belajar juga tentang kesehatan, dan untuk itu perlu mendengarkan banyak pendapat. Dari berbagai pendapat, kita bisa memilah, mana yang dapat dipercaya, karena kita punya akal, hati nurani, dan catatan rekam jejak pihak yang berpendapat.

Disclaimer berikutnya adalah, saya hanya membahas vaksin jenis konvensional, yang dibuat dari virus utuh yang dilemahkan (istilah saya di tulisan kompasiana sebelumnya: vaksin dibuat dari virus utuh versi sekarat). 

Untuk diketahui, ada beberapa jenis vaksin covid, selain yang konvensional. Ada vaksin jenis virus vector, yang saya terjemahkan sebagai, vaksin dengan virus lain (virus hidup/aktif) yang 'ditempeli' sedikit bagian dari virus corona. Dalam kasus vaksin covid, virus lain yang digunakan adalah adenovirus hidup. 

Mengapa kok ditempelkan ke virus lain? Melakukan isolasi terhadap virus corona konon tidak mudah, sering menempel ke virus lain. Itu salah satu penjelasan yang pernah saya baca, tetapi terus terang saya tidak terlalu mempelajari lebih dalam tentang awal mula terciptanya vaksin jenis ini. 

Satu lagi jenis vaksin covid adalah yang berbasis mRNA. Ini bahan sintetis, yang akan merangsang tubuh menghasilkan 'semacam virus' (lebih spesifiknya adalah spike protein, bagian dari virus), dan karenanya kemudian tubuh membentuk antibodi. 

Kurang lebih seperti itu. Konon pembuatan vaksin berbasis mRNA lebih mudah dan lebih murah dibandingkan vaksin yang dibuat dari virus utuh yang dilemahkan. Untuk tulisan ini, vaksin yang saya maksud bukan jenis virus-vector-vaccine maupun vaksin dengan platform mRNA, tetapi vaksin konvensional.

Baiklah, mari kita mulai membahas topik utamanya. Kawan-kawan saya yang dokter itu menyatakan, vaksin booster tidak sejalan dengan prinsip Immunology. Mekanisme kerja vaksin (yang meniru cara kerja 'infeksi alami'), menurut mereka adalah sebagai berikut. Ketika dimasuki vaksin, tubuh bertemu dengan virus (baru), dan sebagai reaksinya tubuh akan membentuk antibodi untuk 'menetralkan' virus tersebut (antibodi yang terbentuk adalah spesifik terhadap virus tersebut). 

Sejak itu, tubuh memiliki catatan tentang virus baru tersebut, dan data ini kemudian disimpan di sel memory. Kelak, ketika virus yang sama menyerang, sel memory akan mengingat, dan ingatan tersebut membantu tubuh membentuk antibodi dengan lebih cepat. Itulah sebabnya orang yang sudah divaksin, ketika terinfeksi virus yang sama akan memperlihatkan gejala yang lebih ringan. 

Jadi, fungsi vaksin yang utama adalah memasukkan data ke sel memory. Vaksin bukan tentang menjaga titer (kuantitas) antibodi (spesifik) tetap tinggi. Sampai di sini argumen vaksin cukup sekali (baca: satu dosis) menjadi masuk akal. Hmm..., rupanya prinsip ini sesuai dengan pemberian vaksin-vaksin untuk program imunisasi jaman dulu, ya? Dulu kita tidak mengenal booster untuk vaksin TBC, cacar, dan sebagainya. Semua cukup satu dosis.

Vaksin berkali-kali untuk menangkal infeksi virus (yang sama) didasarkan pada argumen bahwa dalam enam bulan setelah vaksin, jumlah/titer antibodi akan habis, maka perlu dibuat lagi dengan memasukkan vaksin dosis ke-sekian. 

Seperti HP yang low-batt, maka perlu di-charge; seperti pulsa yang habis, maka perlu top-up. Fungsi vaksin adalah untuk menjaga agar (titer) antibodi tetap tinggi. Argumen ini menganggap tubuh tidak dapat membentuk antibodi tanpa dipancing oleh vaksin. Titer antibodi yang tinggi dianggap bekerja seperti tameng, yang akan menangkal virus.

Dasar perbedaan pendapat antara para penganut 'vaksin cukup satu dosis' dan kelompok 'vaksin berkali-kali' ada di peran sel memory. Kelompok pertama (kawan-kawan dokter kenalan saya itu) percaya bahwa sel memory ada dan berperan. Kelompok yang berseberangan, para endorser vaksin booster, tidak mempercayai sel memory. Jadi kuncinya di SEL MEMORY. Uniknya, para pelaku di bidang kesehatan yang pro-vaksin-multi-dosis tidak pernah secara terbuka membantah peran sel memory, tetapi juga tidak meluruskan persepsi kaum awam yang menganggap cara kerja vaksin seperti nge-charge HP, atau top-up pulsa.

Salah satu kawan dokter (diantara kawan-kawan dokter saya itu) menjadikan tubuhnya sebagai bahan percobaan untuk membuktikan bahwa sel memory ada dan bekerja dengan baik. 

Caranya? Dia ikut vaksinasi dosis pertama, lalu beberapa minggu (saya lupa persisnya), ketika diperkirakan jumlah antibodi memuncak, dia cek titer antibodinya dan dicatat. Enam bulan kemudian, ketika diperkirakan titer antibodi sudah sangat rendah, dia ambil dosis kedua, dan mengulang hal yang sama, yaitu beberapa minggu setelahnya dia periksa kembali titer antibodi. Hasilnya? Jumlah (titer) antibodi hasil dari vaksin dosis kedua berlipat-lipat dari jumlah (titer) antibodi hasil vaksin dosis pertama. 

Dengan mengandaikan bahwa isi vaksin di dosis pertama dan dosis kedua sama persis, percobaan kawan saya ini membuktikan bahwa ada 'tangan tak kelihatan' yang bekerja melipatgandakan antibodi. Siapa dia? SEL MEMORY, yang membantu tubuh membentuk antibodi. Percobaan sederhana, tetapi bagi saya (yang awam ini), sangat masuk akal.

Vaksin berkali-kali untuk 'menangkal' virus yang sama bukan hanya tidak berguna, tetapi justru dapat memicu masalah kesehatan lain. Antibodi spesifik yang terus menerus tinggi dapat berakibat munculnya autoimun. Dalam hidup, kita berhadapan dengan berjuta (bahkan ada yang bilang bermilyar) virus di sekitar kita. Itu sudah suratan alam, lalu mengapa kita melatih tubuh kita untuk hanya fokus pada satu virus?

Perlu pula dicatat, kandungan vaksin bukan hanya virus yang dilemahkan, tetapi juga zat lain, misalnya zat pengawet, dan zat penstabil; yang tidak selalu aman bagi tubuh (kondisi tubuh masing-masing orang berbeda). Belum lagi vaksin non-konvensional yang menggunakan adenovirus hidup dan vaksin berbasis mRNA yang juga berisiko menimbulkan penyakit-penyakit lain. KIPI itu nyata. 

Pak Pandu Riono, epidemiolog dari UI, dan juga pernah menjadi seorang endorser vaksin booster akhirnya harus mengakui trauma terhadap KIPI yang dialaminya setelah mendapat dosis ketiga. Dia curahkan keluhan KIPI melalui cuitan di twitternya.

Sebagai penutup, saran saya, kembalikan urusan pervaksinan ini kepada masing-masing individu. Vaksin adalah hak, dan untuk mengambil haknya atau tidak, tergantung pada keputusan masing-masing individu. Tidak boleh ada pemaksaan! Vaksin (tidak hanya dosis booster, tetapi juga vaksin dosis pertama) tidak boleh digunakan untuk syarat macam-macam kegiatan!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun