Mohon tunggu...
Sri Nur Hamdana
Sri Nur Hamdana Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

gemar menulis.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Penyelesaian Permasalahan yang Ada pada Ahli Waris

25 April 2024   12:30 Diperbarui: 25 April 2024   12:42 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Ahli waris adalah individu atau kelompok yang memiliki hak untuk menerima bagian dari harta seseorang yang telah meninggal dunia menurut hukum Islam. Mereka termasuk suami, istri, anak-anak, orang tua, dan saudara-saudara tertentu. Sistem warisan Islam memberikan peran penting kepada ahli waris dalam memastikan pembagian harta secara adil dan sesuai dengan prinsip-prinsip agama.

Adapun permasalahan yang dihadapi oleh ahli waris ketika pewaris meninggal dunia:

Pada konteks hukum perdata Islam Indonesia Yogyakarta seorang ahli waris sering menghadapi berbagai masalah ketika pewaris meninggal dunia. Beberapa masalah umumnya meliputi:

  • Pembagian Warisan: Salah satu masalah paling umum adalah pembagian harta warisan. Ini bisa menjadi rumit jika ada banyak ahli waris atau jika tidak ada wasiat yang jelas dari pewaris.
  • Kepastian Legalitas: Ahli waris mungkin harus menghadapi masalah hukum terkait legalitas wasiat, kepemilikan harta, atau masalah hukum lainnya yang mempengaruhi warisan.
  • Utang dan Kewajiban: Ahli waris mungkin bertanggung jawab untuk membayar utang yang ditinggalkan oleh pewaris, terutama jika harta warisan tidak mencukupi untuk melunasi utang tersebut.
  • Pajak Warisan: Di beberapa negara, warisan bisa dikenai pajak yang signifikan, dan ahli waris perlu memahami kewajiban pajak mereka terkait warisan yang mereka terima.
  • Konflik Keluarga: Kematian seseorang seringkali memunculkan konflik internal di antara ahli waris, terutama terkait dengan pembagian harta, keputusan hukum, atau masalah keluarga lainnya.
  • Pengelolaan Aset: Ahli waris mungkin perlu mengelola aset yang diwarisi, seperti properti, investasi, atau bisnis, yang memerlukan pengetahuan dan keterampilan manajemen yang tepat.
  • Biaya dan Proses Hukum: Proses perwalian dan pembagian warisan seringkali melibatkan biaya hukum dan administratif yang signifikan, yang harus ditanggung oleh ahli waris.
  • Ketidaksetujuan dengan Fatwa Waris: Terkadang, ahli waris tidak setuju dengan fatwa waris yang diberikan, yang bisa menimbulkan konflik di antara mereka.
  • Pembagian Waris yang Dihalangi: Ada situasi di mana ahli waris dihalangi oleh pihak lain saat proses pembagian warisan, yang memerlukan langkah hukum untuk menyelesaikannya.
  • Pewaris Poligami: Dalam kasus pewaris yang memiliki lebih dari satu istri, perhitungan pembagian waris menjadi lebih kompleks dan bisa menimbulkan perselisihan.
  • Pewaris Tidak Menikah: Jika pewaris tidak menikah dan tidak memiliki keturunan, penentuan ahli waris dan pembagian warisan bisa menjadi masalah.
  • Status Cerai dan Hak Waris: Terdapat pertanyaan mengenai hak waris bagi mantan pasangan yang sudah bercerai dari pewaris.
  • Wasiat yang Lebih Besar dari Jatah Ahli Waris: Masalah muncul ketika wasiat yang ditinggalkan pewaris lebih besar dari jatah yang seharusnya diterima oleh ahli waris menurut hukum Islam.

Memahami dan mengelola masalah-masalah ini dengan bijak biasanya memerlukan bantuan profesional, seperti pengacara, akuntan, atau penasihat keuangan, terutama dalam konteks hukum dan perpajakan yang berbeda di setiap negara.

Adapun pertanyaan umum yang masih simpang siur seperti Bagaimana  penyelesaian sengketa waris bila terjadi penguasaan harta waris pada salah seorang ahli waris, Disini akan kami paparkan bagaimana penyelesaian nya, Konflik atau sengketa adalah sesuatu yang menyebabkan perbedaan pendapat antara dua pihak atau lebih yang berselisih perkara dalam pengadilan. Konflik atau sengketa terjadi juga karena adanya perbedaan persepsi yang merupakan penggambaran tentang lingkungan yang dilakukan secara sadar yang didasari pengetahuan yang dimiliki seseorang, lingkungan yang dimaksud adalah lingkungan fisik maupun sosial. Sebuah konflik berkembang menjadi sengketa bila pihak yang merasa dirugikan telah menyatakan rasa tidak puas atau keprihatinannya, baik secara langsung kepada pihak yang dianggap sebagai penyebab kerugian atau pihak lain.

Penyelesaian sengketa memang sulit dilakukan, tapi bukan berarti tidak mungkin diwujudkan. Modal utama dalam penyelesaian sengketa adalah keinginan dan itikad baik dari para pihak dalam menyelesaikan permasalahan mereka, keinginan dan itikad baik dari para ahli waris kadang-kadang memerlukan bantuan dalam menyelesaikan perkara ini. Dalam menyelesaikan perkara sengketa waris ini ada dua penawaran bagi para pihak yang bersangkutan you yang pertama jalur litigasi dan non litigasi.

1. Penyelesaian hukum secara Litigasi

Pada umunya pelaksanaan gugatan di sebut juga dengan litigasi, dan gugatan adalah suatu tindakan sipil yang di bawa ke pengadilan hukum yang dimana si penggugat, pihak yang mengklaim bahwa dirinya mengalami kerugian sebagai akibat dari tindakan terdakwa, dan menuntut upaya hukum untuk mendapatkan keadilan.

Litigasi merupakan penyelesaian sengketa atau perkara baik secara pidana maupun perdata yang dilakukan di pengadilan, termasuk pengadilan negeri dan sebaliknya. Pemerintah memfasilitasi pengadilan sebagai tempat bagi seseorang yang mencari keadilan dan yang merasa hak-haknya telah dirampas. Dan bagi masyarakat yang beragama Islam pemerintah menyediakan Pengadilan Agama yang kompetensi absolutnya untuk menyelesaikan sengketa untuk umat muslim di bidang Perkawinan, Kewarisan, Wasiat, Hibah, Zakat, Infak Sedekah, dan ekonomi Islam. Dan hal tersebut telah ada di dalam pasal 49 Undang-undang Peradilan Agama.

2. Penyelesaian secara Non litigasi (Mediasi)

Sengketa hukum waris dapat diselesaikan dengan cara litigasi dan non litigasi. Penyelesaian sengketa yang harus dilakukan terlebih dahulu merupakan penyelesaian secara non litigasi, yaitu karena ahli waris yang bersengketa berkumpul dan menyelesaikan permasalahan dengan sendirinya dalam sengketa pembagian harta waris dengan melalui musyawarah mufakat. Dan saat musyawarah mufakat tidak menemukan hasil dari permasalahan yang diinginkan maka dilanjutkan dengan mediasi dan salah satu dari ahli waris mendatangkan pihak ketiga untu untuk membantu menyelesaikan sengketa.

Mediasi dapat ditempuh para pihak yang terdiri dari atas dua pihak yang bersengketa ataupun lebih dari dua pihak (multiparties). Dalam penyelesaian mediasi ini dapat dicapai jika semua pihak yang bersengketa dapat menerima penyelesaian itu. Dan ada kalanya para pihak tidak mampu mencapai penyelesaian sehingga mediasi berakhir dengan jalan buntu, dan situasi ini yang akan membedakan mediasi dari litigasi. Litigasi pasti berakhir dengan sebuah penyelesaian hukum yang berupa putusan hakim meskipun penyelesaian hukum belum tentu berhasil dengan sebuah penyelesaian hukum.

Maka dari itu persoalan warisan sangat menjadi perhatian dalam hukum Islam karena pada dasarnya Dalam Islam, warisan sangat penting karena ia mengatur pembagian harta setelah seseorang meninggal. Hukum warisan Islam didasarkan pada ketentuan Al-Quran dan hadis Nabi Muhammad yang menekankan prinsip keadilan. Hal ini penting agar hak-hak semua ahli waris diakui dan dipenuhi secara adil. Misalnya, dalam Islam, suami, istri, anak-anak, orang tua, dan saudara-saudara memiliki bagian yang ditentukan dari harta warisan. Dengan mematuhi aturan warisan Islam, masyarakat Muslim diharapkan dapat menjaga keharmonisan dan keadilan dalam pembagian harta warisan.

Dalam waris adapun penyelesaian tentang Aul dan Radd, sebagai berikut;

Penyelesaian aul dan radd adalah dua konsep dalam ilmu tajwid, yang berkaitan dengan cara melafalkan huruf hijaiyah. Berikut penjelasannya:

  • Aul: Aul () adalah pembacaan huruf hijaiyah dengan memperpendek atau mempercepat lafal tanpa mengubah bunyi aslinya. Contohnya, huruf () dibaca dengan cara mengucapkannya lebih cepat tanpa mengubah suara menjadi huruf lain.
  • Radd: Radd () adalah pengembalian lafal huruf hijaiyah kepada asalnya setelah sebelumnya diubah karena ikhfa, idgham, atau iqlab. Contohnya, dalam ikhfa, huruf (nn) yang seharusnya tidak terdengar jika bertemu dengan huruf (b), akan terdengar dengan jelas dalam radd. Jadi, dalam radd, huruf tersebut dibaca dengan jelas sesuai dengan bentuk aslinya.

Pengetahuan tentang aul dan radd penting dalam membaca Al-Qur'an dengan benar, karena salah dalam melafalkan huruf-huruf tersebut bisa mengubah makna dari ayat yang dibaca.

Nah, hukum warisan dalam Islam ini terdapat suatu penyelesaian warisan yang dikenal dengan istilah 'aul dan radd. Untuk mengetahui secara lebih jelas apa itu 'aul dan radd dan bagaimana hal tersebut diatur dalam Kompilasi hukum Islam (KHI), berikut sebagaimana telah dirangkum oleh Dream melalui berbagai sumber. Seperti dikutip dari buku berjudul Hukum Kewarisan Islam oleh Dr. H. Akhmad Haries, menurut As-Sayyid Sabiq pengertian 'aul adalah adanya kelebihan saham dzawil dan adanya kekurangan kadar bagian mereka dalam pembagian harta warisan.Menurut Yusuf Musa, 'aul adalah kurangnya kadar (bagian) harta peninggalan atas kelebihan jumlah saham para ahli waris.

Sedangkan menurut Hasanain Muhammad Makhluf, 'aul adalah adanya kelebihan dalam saham-saham para ahli waris dari besarnya asal masalah dan adanya kekurangan dalam kadar penerimaan mereka karena asal masalahnya tidak cukup untuk memenuhi fardh-fardh ashabul furudh.

Jika terjadi kekurangan harta, yakni ahli waris banyak dalam furudhul muqaddarah dilakukan dengan apa adanya. Sehingga untuk bisa menyelesaikannya adalah dengan bagian yang diterima oleh masing-masing ahli waris dikurangi dengan cara proporsional sesuai dengan besar kecilnya bagian yang diterima, maka inilah yang disebut dengan 'aul.

Pengertian Radd

Selain 'aul, pada hukum warisan dalam Islam juga terdapat istilah radd. Seperti dikutip dari buku berjudul Hukum Kewarisan Islam oleh Dr. H. Akhmad Haries, menurut Hasanain Muhammad Makhluf pengertian radd adalah kebalikan dari 'aul. Yakni adanya suatu kelebihan pada kadar bagian ahli waris dan adanya kekurangan pada jumlah sahamnya.

Menurut Ahmad Rifa'i Arief, radd adalah suatu kekurangan jumlah saham daripada asal masalah, dan adanya kelebihan kadar bagian para ahli waris. Adanya kelebihan harta, karena ahli waris ashabul furudh hanya terdapat sedikit dan penerimanya juga sedikit. Dalam masalah ini, ada sebagian pendapat yang mengatakan bahwa kelebihan harta waris dikembalikan pada ahli waris.

Namun ada pendapat lain yang mengatakan bahwa menginginkan agar sisa harta diserahkan pada Baitul mal. Lalu pendapat lainnya berpendapat bahwa sisa harta dikembalikan pada ahli waris, tapi khusus untuk ahli waris selain suami atau istri, yakni ahli waris nasabiyah yang mempunyai hubungan darah dengan orang yang sudah meninggal. Maka untuk pengembalian harta tersebut adalah radd.

Perlu digarisbawahi bahwa dalam radd ini ada suatu masalah berupa penambahan kadar pada ahli waris, sehingga di masalah ini tidaklah ada ahli waris ashabah. Hal ini karena jika ahli waris ashabah, maka untuk kelebihannya akan menjadi hak dari penerima.

'Aul juga diatur dalam KHI

Hukum warisan dalam Islam mengenal adanya asas keadilan berimbang. Asas ini pun juga dibahas dalam KHI, lebih tepatnya dalam pasal-pasal tentang besarnya bagian yang diperoleh oleh setiap ahli waris. Di mana pasal yang dimaksud adalah pasal 176 dan pasal 180 KHI.

Selain itu juga dikembangkan dalam penyesuaian perolehan di saat menyelesaikan pembagian warisan dengan cara 'aul. Yakni dengan membebankan kekurangan harta yang akan dibagikan pada setiap ahli waris yang memang berhak mendapatkannya sesuai dengan bagiannya masing-masing. Hal itu pun dijelaskan dalam pasal 192 KHI yang isinya sebagai berikut:

"Apabila dalam pembagian harta warisan di antara para ahli waris Dzawil furud menunjukkan bahwa angka pembilang lebih besar dari angka penyebut, maka angka penyebut dinaikkan sesuai dengan angka pembilang, dan baru sesudah itu harta warisan secara 'aul menurut angka pembilang."

Radd juga diatur dalam KHI;

Selain 'aul, hukum warisan dalam Islam yang ada di KHI juga membahas tentang radd. Adanya radd ini adalah supaya asas keadilan berimbang bisa tercapai di saat menyelesaikan pembagian harta warisan. Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa radd ini dilakukan dengan cara mengembalikan suatu kelebihan harta pada ahli waris sesuai dengan bagiannya masing-masing.

Pada radd ini kerap terjadi perbedaan pendapat tentang siapa yang memiliki hak untuk mendapatkan pengembalian tersebut. Namun, ulama secara umum berpendapat bahwa yang memiliki hak untuk mendapatkan penerimaan pengembalian sisa harta tersebut hanyalah ahli waris. Hal ini karena adanya hubungan darah dan bukan karena adanya hubungan perkawinan.

Pembahasan terkait radd ini ada dalam KHI lebih tepatnya pada pasal 193 KHI yang isinya sebagai berikut:

"Apabila dalam pembagian harta warisan di antara ahli waris Dzawil furud menunjukkan bahwa angka pembilang lebih kecil daripada angka penyebut sedangkan tidak ada ahli waris asabah, maka pembagian harta warisan tersebut dilakukan secara radd, yaitu sesuai dengan hak masing-masing ahli waris, sedang sisanya dibagi secara berimbang di antara mereka."

Poin terakhir yang akan dibahas yaitu penyelesaian system penggantian tempat dalam waris; Pasal 841 KUHPer mengatur mengenai penggantian tempat. Hal penggantian tempat diatur dalam Pasal 841 sampai dengan Pasal 848 KUHPer. Ahli waris karena  penggantian  tempat (bij plaatsvervulling atau representatie) ialah ahli waris yang  merupakan keturunan (yang sah), keluarga sedarah pewaris, yang  muncul   sebagai  pengganti  tempat  orang  lain,  yang seandainya  tidak meninggal dunia lebih dahulu  dari  pewaris sedianya  akan  mewaris. Dalam Pasal 852 ayat 2 KUHPer ditentukan bahwa mereka bertindak sebagai pengganti. Dalam hal ini dalam penggantian ke bawah, maka keluarga tidak mewakili ahli  waris yang  meninggal  dunia  lebih  dahulu  dari  pewaris,  tetapi menggantikan tempat ahli waris yang telah  meninggal  dunia lebih dahulu dari pewaris. Orang yang menggantikan ahli waris, dengan sendirinya memperoleh apa yang menjadi hak dan kewajiban dari orang yang digantikan tempatnya. Penggantian tempat hanya terjadi karena kematian ahli  waris yang sedianya menerima warisan yang digantikan oleh keturunan yang sah mereka. Jadi penggantian tempat  terjadi  hanya karena kematian. Penggantian tempat tidak dapat terjadi untuk mereka  yang  masih  hidup  (Pasal 847  KUHPer), dan untuk yang tidak patut untuk mewaris (Pasal 838 KUHPer).

Pasal 842 KUHPer menentukan bahwa: "Pergantian dalam garis lurus ke bawah yang sah,  berlangsung terus  dengan tiada akhirnya.  Dalam  segala  hal,  pergantian  seperti  di atas  selamanya diperbolehkan, baik dalam hal bilamana beberapa anak si yang meninggal mewaris bersama-sama dengan keturunan seorang anak yang telah meninggal  terlebih  dahulu,  maupun  sekalian  keturunan mereka mewaris bersama-sama, satu sama lain,  dalam pertalian keluarga yang berbeda-beda derajatnya." (Penggantian  tempat pertama).

Pasal 843 KUHPer menentukan bahwa : Tiada pergantian tempat terhadap keluarga sedarah dalamgaris menyimpang ke atas, keluarga yang terdekat dalam kedua garis, menyampingkan segala perderajatan yang lebih jauh.

Pasal 844 KUHPer menentukan bahwa : Dalam garis menyimpang pergantian diperbolehkan atas keuntungan sekalian anak dan keturunan saudara laki-laki  dan perempuan  yang telah meninggal terlebih dahulu, baik mereka mewaris bersama-sama dengan paman atau bibi mereka, maupun warisan  itu  setelah  meninggalnya semua  saudara  si  yang meninggal lebih dahulu, harus dibagi antara sekalian keturunan mereka,  yang  mana satu sama lain bertalian  keluarga  dalam perderajatan yang tak sama. (Penggantian tempat kedua).

Pasal 845 KUHPer menentukan bahwa :  Pergantian  dalam garis menyimpang diperbolehkan juga dalam pewarisan  bagi  para keponakan ialah dalam hal  bilamana  di samping  keponakan  yang bertalian keluarga sedarah  terdekat dengan si meninggal,  masih  ada  anak-anak  dan  keturunan saudara  laki-laki  atau perempuan darinya,  saudara  saudara mana telah meninggal terlebih dahulu. (Penggantian ketiga).

Dalam penggantian tempat ketiga, maka  perlu  diperhatikan Pasal 860 KUHPer,  yang  secara garis besar  menentukan bahwa :  yang dimaksud  dengan  saudara laki-laki atau perempuan ialah berikut keturunan mereka yang sah,  dan Pasal 861 KUHPer, yang menentukan  bahwa penggantian untuk saudara yang  lebih  jauh lagi adalah hingga derajat keenam.

KELOMPOK 5 HKI 4C:

1. Nuri Suliyati (222121085)
2. Hafid Salafudin (222121096)
3. Sri Nur Hamdana (222121099)
4. Muthmainnah Nur W (222121101)
5. Nazma Khoerunnisa (222121102)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun