Namun ada pendapat lain yang mengatakan bahwa menginginkan agar sisa harta diserahkan pada Baitul mal. Lalu pendapat lainnya berpendapat bahwa sisa harta dikembalikan pada ahli waris, tapi khusus untuk ahli waris selain suami atau istri, yakni ahli waris nasabiyah yang mempunyai hubungan darah dengan orang yang sudah meninggal. Maka untuk pengembalian harta tersebut adalah radd.
Perlu digarisbawahi bahwa dalam radd ini ada suatu masalah berupa penambahan kadar pada ahli waris, sehingga di masalah ini tidaklah ada ahli waris ashabah. Hal ini karena jika ahli waris ashabah, maka untuk kelebihannya akan menjadi hak dari penerima.
'Aul juga diatur dalam KHI
Hukum warisan dalam Islam mengenal adanya asas keadilan berimbang. Asas ini pun juga dibahas dalam KHI, lebih tepatnya dalam pasal-pasal tentang besarnya bagian yang diperoleh oleh setiap ahli waris. Di mana pasal yang dimaksud adalah pasal 176 dan pasal 180 KHI.
Selain itu juga dikembangkan dalam penyesuaian perolehan di saat menyelesaikan pembagian warisan dengan cara 'aul. Yakni dengan membebankan kekurangan harta yang akan dibagikan pada setiap ahli waris yang memang berhak mendapatkannya sesuai dengan bagiannya masing-masing. Hal itu pun dijelaskan dalam pasal 192 KHI yang isinya sebagai berikut:
"Apabila dalam pembagian harta warisan di antara para ahli waris Dzawil furud menunjukkan bahwa angka pembilang lebih besar dari angka penyebut, maka angka penyebut dinaikkan sesuai dengan angka pembilang, dan baru sesudah itu harta warisan secara 'aul menurut angka pembilang."
Radd juga diatur dalam KHI;
Selain 'aul, hukum warisan dalam Islam yang ada di KHI juga membahas tentang radd. Adanya radd ini adalah supaya asas keadilan berimbang bisa tercapai di saat menyelesaikan pembagian harta warisan. Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa radd ini dilakukan dengan cara mengembalikan suatu kelebihan harta pada ahli waris sesuai dengan bagiannya masing-masing.
Pada radd ini kerap terjadi perbedaan pendapat tentang siapa yang memiliki hak untuk mendapatkan pengembalian tersebut. Namun, ulama secara umum berpendapat bahwa yang memiliki hak untuk mendapatkan penerimaan pengembalian sisa harta tersebut hanyalah ahli waris. Hal ini karena adanya hubungan darah dan bukan karena adanya hubungan perkawinan.
Pembahasan terkait radd ini ada dalam KHI lebih tepatnya pada pasal 193 KHI yang isinya sebagai berikut:
"Apabila dalam pembagian harta warisan di antara ahli waris Dzawil furud menunjukkan bahwa angka pembilang lebih kecil daripada angka penyebut sedangkan tidak ada ahli waris asabah, maka pembagian harta warisan tersebut dilakukan secara radd, yaitu sesuai dengan hak masing-masing ahli waris, sedang sisanya dibagi secara berimbang di antara mereka."