Mohon tunggu...
SNF FEBUI
SNF FEBUI Mohon Tunggu... Jurnalis - Badan Semi Otonom di FEB UI

Founded in 1979, Sekolah Non Formal FEB UI (SNF FEB UI) is a non-profit organization contributing towards children's education, based in Faculty of Economics and Business, Universitas Indonesia. One of our main activities is giving additional lessons for 5th-grade students, from various elementary schools located near Universitas Indonesia. _________________________________________________________ LINE: @snf.febui _________________________________________________________ Instagram: @snf.febui ____________________________________________________ Twitter: @snf_febui _______________________________________________________ Facebook: SNF FEB UI ____________________________________________________ Youtube: Sekolah Non Formal FEB UI ______________________________________________________ Website: snf-febui.com ______________________________________________________ SNF FEB UI 2020-2021 | Learning, Humanism, Family, Enthusiasm | #SNFWeCare

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Gifted Kid Burnout: Risiko Pemberian Label Gifted Terhadap Anak

21 November 2021   13:52 Diperbarui: 21 November 2021   14:24 1991
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Istilah gifted kid burnout pada mulanya muncul sebagai tren dari aplikasi TikTok. Tren ini menggambarkan kegelisahan netizen yang sewaktu kecil dijuluki sebagai “gifted kid”. Tren gifted kid burnout menampilkan video berisi kecemasan berlebihan, depresi, penundaan pekerjaan, dan perasaan tidak puas karena merasa kurang berprestasi. Fenomena gifted kid burnout kerap terjadi belakangan ini sebab tekanan kompetisi akademik yang tinggi. 

Tak hanya kompetisi akademik yang tinggi, gifted kid burnout juga terjadi ketika seorang anak memiliki segudang prestasi. Ketika anak memiliki prestasi, orang-orang di sekitarnya akan menuntut ekspektasi yang lebih. Hal ini membuat sang anak merasa terbebani karena ekspektasi yang ditanamkan secara tidak langsung kepada dirinya. Tekanan inilah yang berujung kepada burnout sehingga tidak jarang anak-anak yang dilabeli sebagai gifted kid mengasosiasikan dan menilai dirinya hanya sebatas dengan prestasi yang mereka miliki.

Apa itu Gifted Kid Burnout?

Gifted Children atau Gifted kid adalah anak yang mempunyai kemampuan melebihi rata-rata dari anak seusianya. Sebagian besar negara mendefinisikan gifted child sebagai seorang anak yang memiliki intelligence quotient (IQ) lebih atau sama dengan 130. Namun, sekarang banyak instansi yang menggunakan berbagai ukuran untuk mengategorikan anak sebagai gifted child, mulai dari kemampuan verbal, matematika, spasial-visual, musik, sampai kemampuan interpersonal  [1].

Psikolog Industri Organisasi, Kiky Dwi Saraswati, menjelaskan bahwa burnout merupakan kondisi psikologis yang terjadi ketika penderitanya terpapar stres berkepanjangan lantaran pola kerja yang buruk dan tidak sehat [2]. Burnout lazim diukur dalam konteks pekerjaan karena dampaknya yang dianggap sangat merugikan terhadap kinerja karyawan. Meskipun demikian, burnout juga sangat mungkin terjadi dalam konteks sekolah dan pendidikan formal lainnya. Hal ini karena terkadang para pelajar menerima beban akademik dan tekanan yang cukup berat sebagaimana tekanan pekerjaan yang dapat menjadi stressor bagi para karyawan atau pelaku dunia kerja lainnya. Hal ini dibuktikan oleh hasil penelitian yang menemukan fenomena burnout tersebut di sekolah menengah (Salmela-Aro, Kiuru, & Nurmi (2008) dan Salmela-Aro, Kiuru, Pietikïnen, & Jokela (2008).. Demikian pula, terdapat penelitian lainnya yang menemukan fenomena burnout dalam setting pendidikan tinggi [3] (Rahman, Simon, & Multisari (2020) dan Shankland et al. (2019)).

Gifted kid burnout merupakan istilah yang terlahir dari internet, lebih spesifiknya dibuat oleh anak muda. Gifted kid burnout mengacu pada stres dan kecemasan berlebih yang dialami oleh seseorang yang dulunya dijuluki dan diberi label sebagai gifted kid. Apa yang mereka alami ini terjadi karena prestasi akademis mereka di masa lalu yang membebani mereka. Jadi, gifted kid burnout merupakan fenomena dimana anak yang dahulunya diberi label gifted kid mulai merasa lelah dan kehilangan motivasi. 

Haus akan Validasi Akademik?

Validasi adalah sebuah proses pembuktian yang dilakukan oleh agen, baik itu di dalam maupun di luar institusi, yang mendorong pengembangan akademik dan interpersonal (Rendón, 1994, hlm. 46). Validasi akademik dapat terjadi di berbagai tempat, seperti di lingkungan keluarga, kelas, klub organisasi, atau di komunitas.

Tidak jarang, anak yang diberi label sebagai gifted kid, haus akan validasi akademik. Hal ini diakibatkan karena mereka menilai harga diri mereka hanya sebatas dengan suatu penghargaan atau prestasi. Maka, bisa jadi mereka akan merasa dirinya kurang berharga hanya karena melakukan kesalahan kecil, seperti nilai ulangan yang tidak sesuai dengan ekspektasi. Pujian-pujian dan ekspektasi yang dibebankan kepada anak akan membuat anak menilai dirinya  berdasarkan pujian tersebut. Oleh karena itu, ketika terjadi suatu masalah, seperti nilai ulangan yang turun, anak akan merasa cemas karena sang anak menilai dirinya hanya sebesar angka yang tertera pada kertas ujian. 

Sesudah ketika seorang anak mulai merasa bahwa dirinya kurang berharga secara terus menerus, hal ini kelak akan menyulut burnout. Ironisnya burnout bisa berdampak pada penurunan prestasi. Hal ini didasari dari penelitian yang dilakukan oleh Duru, Duru, & Balkis (2014) dan Uludag & Yaratan (2013) yang menunjukkan bahwa burnout berhubungan secara negatif dengan prestasi akademik. Dengan kata lain, semakin tinggi burnout seorang pelajar, semakin rendah pula prestasi yang dicapainya [4].

Pemberian Label Gifted Kid dan Risikonya

Labeling berpengaruh kuat terhadap tumbuh kembang anak karena memiliki kekuatan untuk mengubah konsep diri pada anak. Lalu, labeling secara tidak langsung akan menghadirkan stereotip terhadap anak. Contoh stereotip yang muncul kepada anak yang dilabeli sebagai gifted kid, yaitu anak akan bersikap lebih dewasa, mandiri, dan hebat dalam melakukan segala hal. Stereotip ini secara tidak langsung akan menghadirkan ekspektasi berlebih terhadap anak yang nantinya akan menjadi beban bagi seorang gifted kid. Beban ini kelak akan memicu stres, lalu dalam jangka panjang stres tersebut bisa menimbulkan burnout. Menurut Lazarus dan Folkman (1984), stres terjadi jika individu menganggap bahwa kemampuan yang dimilikinya tidak dapat memenuhi tuntutan lingkungan sehingga timbul tekanan dalam diri individu.

Hal ini selaras dengan beberapa penelitian yang menggunakan sampel anak di kelas biasa dengan anak yang berada di kelas akselerasi (gifted kid). Hasil penelitian menunjukan bahwa anak yang berada di kelas akselerasi cenderung memiliki stres berlebih. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Wahyuningsih (2011) terhadap siswa SMP di kelas akselerasi dan non akselerasi menunjukkan bahwa siswa di kelas akselerasi memiliki kecenderungan stres akademik yang cukup tinggi dengan angka 45.54% dibandingkan dengan kelas non akselerasi dengan nilai sebesar 8.11%. Sejalan dengan penelitian Wahyuningsih, penelitian yang dilakukan oleh Rahayu (2014) di SMAN 2 Tangerang Selatan terhadap siswa akselerasi juga menunjukkan bahwa siswa kelas akselerasi memiliki kecenderungan stres akademik tinggi dengan persentase sebesar 51.4% [5]

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Eleanore Fisher pada tahun 1980, dijelaskan bahwa dalam kasus gifted kid terdapat kecenderungan bahwa pemberian label gifted kid terhadap anak membawa hal yang positif, tetapi data yang dikumpulkan dalam penelitian juga mengungkapkan bahwa pemberian label terhadap gifted kid  juga memiliki dampak negatif bagi anak dan keluarga. Pemberian label gifted kid ini dinilai dapat membawa tekanan terhadap anak sebab pemberian standar yang terlalu tinggi terhadap kemampuan anak.

Ketika orang tua mengetahui anak mereka mempunyai kelebihan, mereka akan memperlakukan anak mereka dengan berbeda. Namun, saat anak melakukan kesalahan sewajarnya, orang tua akan lebih mudah kecewa karena persepsi bahwa anak mereka “berbeda”  dengan kecerdasan yang dikaruniai oleh sang anak akan pupus. Dengan pemberian label gifted kid ini, tidak jarang tumbuh ekspektasi bahwa sang anak akan selalu bisa mandiri, bertindak layaknya orang dewasa, dan hebat dalam melakukan sesuatu.

Gifted Child Rentan Menderita Imposter Syndrome

Psikolog Klinis UGM, Tri Hayuning Tyas, S.Psi., M.A., mengatakan bahwa impostor syndrome atau impostor phenomenon merupakan fenomena psikologis dimana seseorang tidak mampu menerima dan menginternalisasi keberhasilan yang ia raih.  Dengan kata lain, orang yang mengalami impostor syndrome selalu mempertanyakan dirinya sendiri atas pencapaian atau prestasi yang telah diraih. Ia merasa kesuksesan yang berhasil diraih merupakan bentuk dari keberuntungan atau kebetulan semata, bukan karena kemampuan intelektual dirinya [6]. Ketika seseorang tidak dapat menerima dan menginternalisasi keberhasilan yang ia raih, orang ini akan cenderung bekerja lebih keras dan menaikan standar diri mereka lebih tinggi untuk mengatasi perasaan cemas dan bersalah atas keberhasilan yang telah diraih [7].

Orang yang mengalami imposter syndrome cenderung akan terus memotivasi dirinya untuk terus bekerja keras, bahkan terkadang lebih dari yang diperlukan. Namun, hal ini dilakukan semata-mata agar ia merasa aman dan tidak ada orang yang tahu bahwa dirinya adalah seorang “penipu” [8]. Orang yang mengalami imposter syndrome cenderung bersikap keras terhadap dirinya sendiri, contohnya kerap menyalahkan dan mengkritik diri sendiri terhadap kesalahan yang terjadi meskipun kesalahan itu terjadi di luar kendali. Kesalahan ini selalu dikaitkan dengan kepercayaan bahwa dirinya kurang cerdas dan memiliki kemampuan yang tidak mumpuni. Maka tidak jarang, orang dengan imposter syndrome takut mencoba hal yang baru karena mereka takut gagal dan melakukan kesalahan.

Pemberian label gifted kid dapat menjadi ladang subur tumbuhnya imposter syndrome pada diri anak. Mungkin sewaktu anak masih berada di sekolah dasar, materi yang didapat masih bisa dibilang mudah, tetapi seiring dengan naiknya tingkat akademik, materi yang didapat semakin sulit. Dengan situasi tersebut,anak-anak yang dulunya dilabeli sebagai gifted kid, justru akan drop out dari kuliah. 

Sebuah studi yang diterbitkan dalam Journal For The Education For The Gifted pada tahun 2019 menemukan bahwa anak-anak dan remaja yang sangat cerdas cenderung menjadi lebih perfeksionis dibandingkan oleh teman sebayanya. Mereka baru bisa merasa puas dengan diri mereka sendiri apabila dapat melakukan semuanya dengan sempurna. Orang- orang yang memiliki standar tinggi terhadap dirinya sendiri menaruh harapan untuk selalu menjadi yang terbaik dan sempurna, hal ini dapat memicu stres berlebih hingga menjadi burnout [9].

Perilaku perfeksionis dapat berujung menjadi racun bagi gifted kid. Pada mulanya, anak anak yang dalam lingkup akademis lebih hebat dibandingkan dengan teman-teman seusianya akan dipuji dan dilabeli pintar. Pujian ini justru menanamkan superiority complex bagi si gifted kid. Superiority complex ini mendorong anak untuk selalu bisa menjadi yang terbaik dan sempurna, hal inilah yang melatarbelakangi tingkah laku perfeksionis. Sikap perfeksionis yang tertanam dalam diri seseorang dapat melelahkan orang tersebut karena keinginan untuk selalu bisa menjadi yang terbaik dan sempurna tidak selamanya bisa diwujudkan. Ada kalanya ekspektasi yang diinginkan oleh gifted kid ini tidak sesuai dengan apa yang diharapkan, hal ini akan merusak kepercayaan diri gifted children. Akibatnya, kerap gifted kid enggan untuk melakukan hal-hal yang baru sebab, takut akan kegagalan dan ketidaksempurnaian. 

Keinginan untuk menjadi sempurna dapat berujung pada penyakit mental seperti depresi dan kecemasan berlebih. Berdasarkan data dari Centers for Disease Control and Prevention (CDC), lebih dari 6% siswa dalam rentang usia 12 sampai 17 tahun telah terdiagnosa dengan depresi dan lebih dari 10% menderita kecemasan berlebih.

Gambar 1. Data and Statistics on Children's Mental Health  (Sumber: https://www.cdc.gov/childrensmentalhealth/data.html)
Gambar 1. Data and Statistics on Children's Mental Health  (Sumber: https://www.cdc.gov/childrensmentalhealth/data.html)

Kesimpulan

Pemberian label gifted kid terhadap anak belum tentu selamanya berdampak buruk apabila disertai dengan kesadaran kesehatan mental yang baik. Oleh karena itu,  Orang tua berperan penting untuk selalu mendukung anak secara positif. Dukungan ini dapat berupa penghargaan atas kerja keras mereka, bukan hanya sebatas hasilnya saja, melainkan juga mendengarkan keluhan mereka, membangun komunikasi dengan baik, mengajarkan bahwa kesempurnaan itu tidak ada, dan terakhir seseorang yang mengalami burnout layaknya kehabisan daya isi, maka untuk mengisinya diperlukan yang namanya istirahat. Namun dalam realitanya, seseorang yang menderita imposter syndrome seringkali merasa bersalah untuk beristirahat.  

Seperti pada lagu Billy Joel yang berjudul Vienna, “Slow down you crazy child you're so ambitious for a juvenile, but then if you're so smart tell me why are you still so afraid?. Where's the fire, what's the hurry about?, you better cool it off before you burn it out”. Nikmatilah hidup secara perlahan. Ambisi bukan hal yang dilarang, tetapi perhatikan jugalah kesehatan mental kita.

Oleh: Salsabila Nur Shabrina | EIEI 2021

Staff Biro Jurnalistik

SNF FEB UI 2021-2022

Referensi

[1] Encyclopædia Britannica, inc. (n.d.). Gifted child. Encyclopædia Britannica. Retrieved November 12, 2021, from https://www.britannica.com/science/gifted-child

[2] Tim. (2021, August 22). Mengenal Burnout: Gejala, Pencegahan, Dan Cara Mengatasinya. gaya hidup. Retrieved November 12, 2021, from https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20210820131338-255-682975/mengenal-burnout-gejala-pencegahan-dan-cara-mengatasinya

[3] Rahman, D. H. (2020). Validasi School Burnout Inventory versi Bahasa Indonesia. Jurnal Penelitian Ilmu Pendidikan, 13(2), 85-93.

[4] Rahman, D. H. (2020). Validasi School Burnout Inventory versi Bahasa Indonesia. Jurnal Penelitian Ilmu Pendidikan, 13(2), 85-93.

[5] Azmy, A. N., Nurihsan, A. J., & Yudha, E. S. (2017). Deskripsi Gejala stres Akademik Dan Kecenderungan pilihan strategi koping Siswa Berbakat. Indonesian Journal of Educational Counseling, 1(2), 197–208. https://doi.org/10.30653/001.201712.14

[6] Ika, O. (n.d.). Psikolog UGM Paparkan fakta impostor syndrome. Universitas Gadjah Mada. Retrieved November 12, 2021, from https://www.ugm.ac.id/id/berita/20226-psikolog-ugm-paparkan-fakta-impostor-syndrome 

[7]  Person. (2021, April 16). Imposter Syndrome: What it is & how to overcome it. Healthline. Retrieved November 12, 2021, from https://www.healthline.com/health/mental-health/imposter-syndrome

[8] Mengenal Imposter syndrome Dan Cara Menghadapinya. Alodokter. (2021, January 18). Retrieved November 12, 2021, from https://www.alodokter.com/mengenal-imposter-syndrome-dan-cara-menghadapinya

[9] Thorpe, J. R. (2021, January 28). Gifted kid burnout tiktoks are going viral because too many of us can relate. Bustle. Retrieved November 12, 2021, from https://www.bustle.com/wellness/gifted-kid-burnout-syndrome-videos-tiktok-experts.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun