Dari keempat dimensi tersebut, survei paling rendah terdapat pada dimensi akses [4]. Hal tersebut menunjukkan bahwa ada keterkaitan antara akses baca seperti perpustakaan dan minat baca individu. Masyarakat di daerah terpencil yang tidak memiliki akses untuk membaca di perpustakaan cenderung memiliki tingkat literasi yang lebih rendah.
Kedua, tingkat literasi yang rendah dapat disebabkan karena latar belakang keluarga. Individu yang lahir dari keluarga kurang memiliki pendidikan formal cenderung mempunyai tingkat literasi yang lebih rendah serta kesulitan memahami pelajaran  lebih tinggi [5]. Hal tersebut disebabkan karena sang anak dituntut  mengikuti jejak orang tua sehingga apabila orang tua berpendidikan rendah, sang anak pun dituntut seperti itu oleh orang tuanya.
Ketiga, kondisi ekonomi keluarga seperti kemiskinan juga merupakan faktor dari rendahnya tingkat literasi di masyarakat. Individu yang dilanda kemiskinan cenderung lebih sulit untuk melakukan literasi karena tidak memiliki biaya yang cukup untuk membayar uang sekolah ataupun membeli buku bacaan. Hal inilah yang menyebabkan tingkat literasi di masyarakat terus meningkat.
Dampak dari Rendahnya Literasi
Individu yang memiliki kemampuan literasi yang rendah berdampak terhadap keberlangsungan hidup mereka. Dampak dari hal tersebut diantaranya adalah tingginya tingkat pengangguran karena rendahnya kemampuan untuk membaca dan memahami situasi, permasalahan sosial karena tidak dapat memahami aturan-aturan sosial yang ada sehingga rawan menimbulkan konflik di masyarakat, serta menimbulkan masalah kesehatan akibat tidak memahami kandungan dosis pada obat ataupun gejala penyakit yang diderita [6]. Permasalahan tersebut sangat berdampak serius kepada tiap individu dan muncul karena salah satu faktornya adalah rendahnya literasi masyarakat.
Mengatasi Krisis Literasi
Dalam rangka memberantas rendahnya angka literasi di masyarakat, pemerintah Indonesia telah melakukan berbagai upaya. Terdapat 3 peranan untuk memberantas krisis literasi. Pertama, peranan pemerintah daerah dengan kebijakan yang mendorong masyarakat agar memiliki budaya baca. Dijelaskan dalam UU No. 43 Pasal 8 bahwa pemerintah provinsi dan kabupaten / kota wajib memiliki layanan perpustakaan yang merata, melaksanakan kegiatan gemar membaca, serta mengimplementasikan perpustakaan umum dengan karakteristik dan kekhasan daerah masing-masing.Â
Kedua, peranan sekolah melalui Gerakan Literasi Sekolah (GLS). Program tersebut diluncurkan pada tahun 2016 sebagai implementasi dari Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2015 tentang penumbuhan budi pekerti melalui kegiatan literasi.Â
Sekolah-sekolah memiliki tiga cara dalam rangka menghidupkan GLS, yaitu melakukan pembiasaan terkait membaca 15 menit sebelum kegiatan belajar dimulai, membangun fasilitas literasi seperti perpustakaan dan teras baca yang memadai sehingga membuat siswa menjadi nyaman, serta memiliki SDM yang dapat mendukung berjalannya GLS.Â
Misal, tim literasi sekolah yang aktif dalam menyuarakan program-program GLS dan senantiasa memberikan penghargaan kepada siswa-siswa yang aktif dalam mengikuti program tersebut. Cara-cara tersebut merupakan upaya untuk membentuk individu yang gemar membaca dan selalu kritis dalam menanggapi berbagai informasi dan data.