Mohon tunggu...
SNF FEBUI
SNF FEBUI Mohon Tunggu... Jurnalis - Badan Semi Otonom di FEB UI

Founded in 1979, Sekolah Non Formal FEB UI (SNF FEB UI) is a non-profit organization contributing towards children's education, based in Faculty of Economics and Business, Universitas Indonesia. One of our main activities is giving additional lessons for 5th-grade students, from various elementary schools located near Universitas Indonesia. _________________________________________________________ LINE: @snf.febui _________________________________________________________ Instagram: @snf.febui ____________________________________________________ Twitter: @snf_febui _______________________________________________________ Facebook: SNF FEB UI ____________________________________________________ Youtube: Sekolah Non Formal FEB UI ______________________________________________________ Website: snf-febui.com ______________________________________________________ SNF FEB UI 2020-2021 | Learning, Humanism, Family, Enthusiasm | #SNFWeCare

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Helicopter Parenting: Is It Good or Not?

19 Maret 2020   12:37 Diperbarui: 19 Maret 2020   12:38 206
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setiap orang tua memiliki cara sendiri untuk mengasuh anaknya. Mengasuh anak bukanlah sesuatu yang terdapat peraturan baku untuk mengaturnya, akan tetapi tergantung pada masing-masing orang tua yang mengasuh anaknya. Dalam hal mengasuh anak, terdapat perilaku tertentu yang menjadi tren pembicaraan banyak orang di Amerika Serikat sejak tahun 2011, yaitu helicopter parenting. Akan tetapi istilah ini masih belum ramai dibicarakan di Indonesia. Istilah ini muncul untuk menggambarkan orang tua yang mengawasi dengan cermat kehidupan anak-anak mereka bahkan hingga anak mereka telah dewasa.[1]

Ketika muncul pertanyaan "apa cara terbaik untuk membesarkan anak?", tidak ada jawaban yang baku atas pertanyaan tersebut. Tujuan utama dari naluri orang tua adalah ingin melindungi anak mereka dari bahaya dan memberikan kebahagiaan bagi anak-anak mereka. Karena keinginan mereka untuk memberikan kebahagiaan bagi anak mereka, beberapa orang tua justru terlalu mengawasi anaknya dan overprotective, hal inilah yang menyebabkan adanya istilah helicopter parenting.[2]

Ciri-ciri helicopter parent adalah ayah atau ibu yang terkait erat dengan kehidupan anak-anak mereka, mulai dari memecahkan masalah bagi anak-anak mereka dan membimbing anak sepanjang hidup, helicopter parent memasukkan dirinya ke dalam kehidupan anak-anak mereka.

Helicopter parenting bentuknya bermacam-macam. Ada orang tua yang sangat membatasi anaknya untuk melakukan suatu kegiatan, ada yang terlalu mengawasi anaknya, bahkan ada juga yang menuntut anaknya untuk melakukan sesuatu dengan perfect tanpa mengetahui passion anak tersebut. Menurut Ann Dunnewold, Ph.D., seorang psikolog berlisensi mengatakan bahwa helicopter parenting hanyalah bentuk pengasuhan atau parenting yang berlebihan. Hal ini berarti terlibat dalam kehidupan anak dengan overprotecting, over controlling, dan over perfecting.[3] 

Kejadian helicopter parenting yang sering kita jumpai adalah orang tua yang membantu anaknya untuk mengerjakan tugas-tugas sekolah bahkan sampai anak mereka berada di sekolah menengah dan perguruan tinggi yang sebenarnya tugas tersebut dapat mereka lakukan dan atasi sendiri. Pada masa anak balita, helicopter parent terus menerus membayangi anak mereka dengan selalu bermain-main bersama anaknya dan mengarahkan perilakunya, dan tidak membiarkan anak mereka memiliki waktu untuk sendiri.

Ketika anak mereka menempuh sekolah dasar, helicopter parent memastikan anak mendapatkan guru atau pelatih tertentu, memilih teman dan kegiatan anak, dan membantu segala tugas yang sebenarnya bisa dikerjakan oleh anak tersebut. Beberapa kejadian di atas cukup sering kita temukan di lingkungan sekitar kita, sadarkah kalian bahwa sebenarnya teman atau lingkungan sekitar kalian bahkan kalian sendiri pernah mengalami hal tersebut? Jika pernah, maka Anda pernah merasakan helicopter parenting, apakah menurut kalian pola asuh seperti di atas merupakan sesuatu yang tepat untuk diterapkan? Yuk simak penjelasan berikut. 

Pola asuh seperti helicopter parenting muncul dikarenakan suatu alasan. Tiap orang tua memiliki alasan tersendiri untuk mengasuh anaknya, termasuk helicopter parenting. Seseorang yang memiliki keinginan untuk terlalu terlibat dalam kehidupan anaknya, bisa disebabkan oleh beberapa hal. Alasan yang pertama adalah orang tua memiliki rasa ketakutan terhadap masa depan anak mereka.

Beberapa orang tua sangat percaya bahwa apa yang dilakukan hari ini pasti berdampak besar pada masa depan mereka, dan beberapa orang tua menganggap bahwa dengan melakukan helicopter parenting merupakan cara untuk mencegah anaknya mengalami perjuangan yang sulit untuk masa depan mereka. Alasan yang kedua adalah karena rasa gelisah atau anxiety yang dialami oleh orang tua.

Beberapa orang tua menjadi cemas dan khawatir ketika melihat anak mereka terluka atau kecewa, sehingga mereka melakukan segala cara untuk mencegah hal tersebut terjadi. Berdasarkan dua alasan di atas, orang tua tidak menyadari bahwa sesungguhnya rasa sakit, perjuangan, dan kekecewaan adalah bagian dari kehidupan yang harus dilewati oleh anak mereka. Hal tersebut sesungguhnya dapat membuat anak mereka tumbuh dan menjadi lebih kuat setelah melewati masa sulit. [4]

Dampak dari diterapkannya helicopter parenting bagi anak-anak bisa berdampak baik ataupun berdampak buruk. Dampak baik yang dapat dapat dirasakan oleh anak adalah anak akan merasa didukung. Karena memiliki orang tua  yang dapat diandalkan, anak merasa memiliki sistem pendukung untuk mereka berkembang, anak dapat melakukan sesuatu tanpa takut akan terjadi sesuatu yang salah ataupun gagal dalam kehidupannya karena memiliki orang tua yang selalu mengarahkan kehidupannya.

Selain merasa memiliki sistem pendukung, anak juga akan merasa dilihat. Hal ini dikarenakan orang tua yang selalu mengawasi anaknya menempatkan fokus hanya pada anaknya, dan anak tidak merasa orang tua mereka hanya fokus pada pekerjaan mereka.

Selain itu, anak akan memiliki pengalaman untuk melakukan lebih banyak kegiatan. Misalnya adalah orang tua yang mengatur jadwal anaknya dan memutuskan anaknya untuk ikut berbagai ekstrakurikuler dan kegiatan lain yang membantu anak untuk menambah keterampilan mereka. Akan tetapi, semua hal tersebut akan berdampak baik apabila diterapkan dalam proporsi yang tepat. [5]

Disisi lain, helicopter parenting juga dapat memberikan dampak negatif bagi anak. Pertama, anak memiliki kemampuan yang kurang dalam memecahkan masalah. Oleh karena itu, apabila anak sudah tumbuh dewasa mereka akan cenderung tidak memiliki keterampilan untuk memecahkan masalah dan hal tersebut akan berdampak buruk bagi kehidupan anak.

Selanjutnya, anak akan merasa kurang bebas. Mungkin dari sisi orang tua, apabila selalu bersama anaknya akan merasa hal tersebut merupakan hal yang baik untuk dilakukan, akan tetapi ada kalanya anak ingin melakukan segala sesuatunya sendiri tanpa bantuan orang tua mereka. Anak-anak perlu belajar mandiri untuk memutuskan sesuatu dalam kehidupannya.

Selain itu, anak tidak menyadari bahwa setiap keputusan yang mereka lakukan memiliki konsekuensi. Sehingga dalam melakukan sesuatu mereka tidak memiliki ketakutan akan suatu hukuman ataupun konsekuensi lain yang akan merekaa dapatkan nantinya. Hal ini membuat anak cenderung bersikap seenaknya tanpa berpikir konsekuensi apa yang akan mereka dapatkan. Selanjutnya, anak yang terlalu diawasi dan dilindungi merasa tidak nyaman akan hal tersebut dan akhirnya ketika mereka dewasa akan menjauh dari orang tua mereka dan memberikan jarak karena rasa tidak nyaman karena terlalu diatur, dilindungi, maupun diawasi. 

Berdasarkan jurnal Terri Lemoyne, yang berjudul DOES "HOVERING" MATTER? HELICOPTER PARENTING AND ITS EFFECT ON WELL-BEING. Sociological Spectrum, membahas tentang helicopter parenting dan korelasinya dengan kehidupan dan kesehatan fisik dan mental para siswa di perguruan tinggi. Hasil dari jurnal ini menganalisis bahwa terdapat korelasi negatif antara helicopter parenting dan kesejahteraan psikologis siswa, dan berkorelasi positif dengan penggunaan obat anti depresan bagi para siswa di perguruan tinggi tersebut. Penelitian ini mengambil sampel sebanyak 317 siswa yang ada di perguruan tinggi di Amerika Serikat. 

Untuk mengurangi dampak negatif dari helicopter parenting, orang tua lebih dianjurkan untuk lebih menggunakan metode supportive parenting dibandingkan helicopter parenting. Namun sebelumnya terdapat perbedaan antara helicopter parenting dan supportive parenting. Seperti yang telah dijelaskan di atas, bahwa helicopter parenting adalah pola asuh yang terlalu melibatkan orang tua pada kehidupan anaknya yaitu seperti over controlling, overprotecting, dan over perfecting.

Apabila Anda terlalu mengawasi anak, terlalu melindungi anak, dan memaksa anak untuk melakukan sesuatu bahkan yang tidak sesuai passion anak Anda maka Anda termasuk helicopter parent.

Apabila Anda ingin anak bahagia dengan tetap memperhatikan dampak yang akan diterimanya dalam jangka panjang, dapat dengan melakukan supportive parenting, yaitu pola asuh yang tetap berfokus kepada anak tapi tidak terlalu mengawasi dan memaksa kehendak. Anak tetap dilatih untuk melakukan pekerjaan sendiri, memutuskan sesuatu sendiri, dan berlatih untuk mandiri, serta tidak membatasi anak untuk mengembangkan passion yang ia miliki. Dalam hal ini, orang tua tetap menjadi sistem pendukung anaknya yang tetap mengawasi anaknya namun dengan proporsi yang tepat dan tidak berlebihan. Sehingga anak tetap merasa nyaman karena memiliki orang yang mendukung mereka, namun anak juga tidak merasa terpaksa untuk melakukan sesuatu. [6]

Oleh: Melanie Permatasari | EIE 2019

Staf Biro Jurnalistik

SNF FEB UI 2019-2020

Referensi:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun