Saya asli Kudus. Tinggal dan menetap di kota yang sangat rindang oleh akulturasi budaya peninggalan Sunan Kudus. Kota ini terlihat kecil dibanding kota-kota tetangga. Biar kecil, kota yang dilindungi dua wali ini memiliki riwayat perindustrian yang sangat baik. Terutama di bidang produk yang memang lahir di sini dan berkontribusi besar dalam hal cukai; rokok. Buktinya, banyak perusahaan-perusahaan besar yang tersebar. Sehingga “buruh” menjadi profesi mayoritas yang tak terhindarkan. Mulai dari buruh PT. Polytron, buruh pabrik jenang, buruh PT. Pura, dan yang paling banyak cabangnya, PT. Djarum. Para buruh yang sehari-hari mendekami pabrik tentu merasa jenuh. Setelah berjam-jam menghadapi mesin mereka ingin melepas penat di suatu tempat. Tempat tersebut bisa taman kota, hutan kota, atau alun-alun.
Namun sejauh ini, Kudus belum memiliki ruang publik yang memadai. Seperti yang kita ketahui, ruang publik adalah tempat yang disediakan oleh pemerintah untuk digunakan dan dinikmati masyarakat secara cuma-cuma tanpa mengambil keuntungan. Dalam pengamatan saya sebagai warga, terhitung sudah ada tiga ruang publik kota. Yakni alun-alun Kudus, taman GOR Kudus dan Taman Ganesha. Sebenarnya ada banyak taman lainnya, namun berbayar, hingga taman-taman tersebut tidak bisa dimasukkan dalam kategori ruang publik. Selain itu, ada ruang publik seperti Taman Tugu Identitas Kudus yang sekarang telah disewa oleh Hypermart Ekstension Mall. Hal ini tentu mengurangi kenyamanan masyarakat.
Ketiga ruang tersebut pun belum bisa difungsikan secara maksimal karena semua aktivitas publik masih berpusat di alun-alun Kudus. Mulai dari Car-Free Day (CFD) yang diadakan setiap Minggu pagi dengan menyetop beberapa jalur vital di sekitarnya, acara-acara berbasis kedinasan, hingga kegiatan indie berbasis komunitas digelar di sana. Alun-alun menjadi landmark yang sangat multifungsi. Apalagi sekarang telah dibangun icon COC (City of Cretec) di taman hijau yang menghubungkan taman pendopo dan Taman Bojana.
Urgensi Ruang Publik
Ruang publik adalah tempat rekreasi mini. Seperti halnya tempat rekreasi, ruang publik berperan penting untuk memudarkan kejenuhan, meredam stress, dan sebagai tempat membasuh pikiran. Apalagi sekarang ini menjamur kalimat “kurang piknik” untuk merespon kepenatan netizen di medsos. Maka betapa ruang publik menjadi rujukan agung yang murah meriah.
Ruang publik merupakan tempat utama event-event kedaerahan. Di Kudus sendiri ada event akbar tahunan, yakni Kirab Budaya Dandhangan yang pesertanya merupakan semua institusi di Kudus dan penontonnya dari berbagai kota.
Selain itu, ruang publik menjadi tempat komunitas menggiatkan aktivitasnya. Mulai dari mengembangkan kreativitas, sarana bersosialisasi, dan tempat untuk jagong. Sejauh ini ada banyak sekali komunitas di Kudus. Biasanya tumpah-ruah saat Car-Free Day atau di hari Minggu. Bisa kita lihat betapa padatnya alun-alun—yang sejauh ini selalu menjadi pusat kegiatan publik—oleh aktivitas berbagai komunitas.
Nasib Taman-taman di Kotaku
Seperti yang sudah saya paparkan di atas, Kudus memiliki banyak sekali taman. Pertama, Taman Krida. Taman ini merupakan tempat bermain anak-anak dan patung margasatwa. Namun taman ini berbayar, sehingga bukan termasuk ruang publik.
Kedua, Taman Bojana. Sampai sekarang saya masih bingung kenapa tempat ini bisa disebut taman. Pasalnya, tempat ini adalah perkampungan kios-kios elektronik, warung makan, dan tempat jual koran. Bahkan ruang terbuka hijaunya hanya di pinggir jalan nyaris seperti jalur hijau saja, bukan taman.
Ketiga, taman Tugu Identitas. Berbicara mengenai taman ini, saya jadi terkenang dengan keelokan taman ini saat dulu. Sering digunakan untuk tempat meeting berbagai komunitas. Namun sekarang, taman ini telah disewa oleh Hypermart ekstension mall. Meskipun taman tersebut direnovasi menjadi berbunga-bunga, namun tingkat kenyamanan masyarakat dalam menggunakannya sebagai ruang publik jelas berkurang.
Keempat, Taman GOR Kudus. Taman ini dilengkapi dengan arsitektur gerbang berbentuk gapura dari batu bata. Bahkan ada yang berupa miniatur menara kudus. Namun sayang, taman ini sangat sepi karena panasnya minta ampun di siang bolong akibat minimnya pepohonan yang ditanam di sana. Selain itu, sisi-sisi taman dihabiskan oleh para PKL. Sehingga ruang untuk sekedar duduk-duduk sangat terbatas.
Kelima, Taman Ganesha. Taman ini terbilang baru, bertempat di perbatasan kecamatan kota dan kecamatan kaliwungu. Menurut saya, Taman Ganesha merupakan ruang publik terbaik setelah alun-alun. Taman ini sangat rindang dengan banyak pepohonan, bunga-bunga hias, dan beberapa gazebo. Suasana di taman ini lumayan asri. Dan bisa dikatakan taman yang paling tepat sebagai tempat kopdar berbagai komunitas.
Kudus Minim Ruang Publik
Saya sebagai penggiat sebuah komunitas baru mempunyai pengalaman menarik. Setiap ingin mengadakan pertemuan, kami selalu mempunyai kendala pada “tempat pelaksanaan”. Alasannya, menurut kami, tidak ada tempat yang cocok untuk berekspresi. Jika di alun-alun, biasanya mulai pagi hingga sore (terutama hari Minggu) sudah padat oleh kegiatan komunitas lain. Biasanya komunitas tersebut adalah komunitas fisik seperti komunitas kendaraan, sepatu roda, break-dance, dan lain sebagainya.
Komunitas yang saya geluti adalah Komunitas Fiksi Kudus. Komunitas yang merangkul pecinta fiksi baik dalam hal membaca maupun menulis. Komunitas seperti ini, membutuhkan tempat yang nyaman, tenang, dan sejuk. Alun-alun terlalu ramai oleh hiruk-pikuk kendaraan yang melintas. Sebagai alternatifnya, kami memilih Taman Ganesha atau meminjam tempat di studio radio. Kami malah menghindari melakukan kopdar di Perpustakaan daerah.
Kenapa dengan Perpustakaan?
Perpustakaan daerah secara cuma-cuma menyediakan tempat meminjam dan menikmati berbagai bacaan. Sesuai dengan definisi tersebut maka perpustakaan daerah bisa dikategorikan sebagai ruang publik kota. Namun perpustakaan daerah di kota saya kurang diminati. Kenapa? Jika pepohonan, bebunga, dan permainan anak menjadi hal yang penting disediakan untuk taman kota, maka perpustakaan membutuhkan buku-buku dan bilik baca yang nyaman yang mestinya disediakan.
Sementara itu, perpustakaan di kota saya koleksi bukunya sangat minim. Tidak lengkap. Terlebih lagi, jarang update buku-buku baru dan terkesan itu-itu saja. Terkadang ada buku baru, tetapi hanya dipajang di rak pajangan. Saya pernah sekali mencari di rak pinjam sampai pusing, ternyata memang tidak ada. Menurut saya, perpustakaan daerah di kota saya belum bisa memenuhi hasrat “menikmati” buku masyarakatnya.
Tantangan Ruang Publik
Ruang publik berupa taman, bisa digolongkan sebagai Ruang Terbuka Hijau (RTH). Capaian RTH di Kudus hingga sekarang saja belum memenuhi aturan. Di Kudus baru 20 persen dari luas wilayah, sementara aturan RTH adalah 30 persen dari luas wilayah kota. Pemkab Kudus sendiri telah mencanangkan pembangunan jangka panjang untuk ruang publik. Di antaranya pembuatan taman di sekitar ikon baru Gerbang Kudus Kota Kretek (GKKK), pembangunan Balai Jagong, pembangunan Perkampungan Khas Jawa (rumah-rumah adat Jawa Kudus) di sekitar Masjid Menara Kudus, dan mengembalikan Alun-alun Kudus Lama yang bertempat di sekitar Masjid Menara Kudus. Saya sendiri menyambut positif hajat Pemkab tersebut. Jika pembangunan tersebut didasari oleh niatan meningkatkan kenyamanan masyarakat, mengapa tidak didukung?
Namun begitu, rencana tersebut menyisakan berbagai tantangan. Misalnya rencana pembangunan taman di sekitar daun tembakau raksasa yang megah itu membutuhkan desain khusus. Karena ikon GKKK itu sudah megah, jadi pembangunan tamannya tidak boleh asal-asalan. Harus diselaraskan. Selanjutnya, rencana pembangunan perkampungan jawa itu tidak bisa dilakukan begitu saja karena area target sudah terlebih dulu dihuni oleh warga dalam jangka waktu yang lama. Apalagi wilayah Kauman itu merupakan perkampungan yang sangat padat dengan banyak gang sempit. Pemerintah tentu harus menyiapkan strategi khusus untuk mendapatkan simpati dan kerjasama dari warga Kauman. Begitu juga dengan Alun-alun Kudus Lama yang bertempat di sekitar Kauman.
Harapan Untuk Ruang Publik di Kotaku
Sebagai masyarakat asli Kudus, saya sangat bangga dengan penataan kota yang sedemikian asri dan baik. Saya mengapresiasi kebijakan-kebijakan Pemkab berikut rencana pembangunan ruang publik lainnya. Dalam memperingati Hari Habitat Dunia (HHD) 2015 saya mempunyai harapan-harapan untuk ruang publik di kota saya. Ruang publik merupakan bagian dari habitat dunia, dan Kudus memerlukan ruang publik yang layak demi terciptanya habitat yang layak untuk masyarakat Kudus. Saya berharap rencana-rencana pembangunan ruang publik tersebut bisa terlaksana dengan baik dan ruang publik yang sudah ada bisa dikembangkan lagi agar mudah diakses dan dinikmati. Sehingga tidak ada lagi komunitas ataupun individu yang kebingungan mencari tempat seperti saya.
Pada akhirnya, “Saya ingin Kudus punya ruang publik yang lebih baik…”
Nb: Saya tidak menyertakan foto lengkap karena memang tidak ada yang bisa di foto
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H