Berbicara mengenai buruh, banyak sekali kasus di Indonesia yang menjadi gambaran betapa tidak sejahteranya pekerjaan tersebut meskipun memiliki peran yang sangat penting untuk beberapa pihak yang membutuhkannya.
Satu di antaranya sangat menonjol dan dijadikan sebagai iconic untuk menggambarkan betapa negara Indonesia sangat abai dengan tekanan yang diterima oleh buruh. Bahkan setelah beberapa pemimpin negara berganti, pekerjaan buruh tetaplah menjadi kasus yang tak pernah mendapatkan jalan keluar yang pasti.
Sayang sekali, padahal banyak masyarakat Indonesia yang menggantungkan hidupnya pada pekerjaan penuh tekanan tersebut. Beberapa Perusahaan yang menekan posisi buruh dengan mengurangi hak buruh, sementara para buruh bekerja untuk memenuhi kewajiban dari pekerjaannya juga tidak sedikit. Lalu, apa yang dimaksud dengan hak buruh?Â
Pada dasarnya, hak adalah pemenuhan/ pendapatan setelah seseorang memberikan kewajiban yang dalam pembagiannya dilakukan secara adil tanpa paksaan dan bersifat mutlak.
Penggambaran umumnya bisa dilihat pada kasus Marsinah yang dilakukan pemerintah pada masa Orde Baru, yang merupakan tindak pidana yang menjelaskan bahwa buruh di Indonesia menjalankan kewajibannya diiringi dengan pemenuhan hak yang sangat tidak adil.
Sampai hari ini juga seharusnya tidak menjadi contoh pelanggaran HAM dengan kualifikasi berat yang menuntut untuk ditemukan titik terang. Di Indonesia Marsinah digambarkan layaknya dinasti, terbukti dengan seiring bergantinya pemimpin pemerintahan di Indonesia kasus Marsinah tidak pernah disinggung melainkan bertambah banyak.
Beberapa waktu yang lalu Indonesia disibukkan dengan berita perubahan Undang-undang mengenai Ketenagakerjaan dengan Undang-undang Cipta Lapangan Kerja melalui metode Omnibus law.
Omnibus law merevisi beberapa Undang-undang dan Peraturan yakni diantaranya mengenai Undang-undang PLKH, Undang-undang UMKM, Undang-undang mengenai Ketenagakerjaan dan beberapa peraturan lainnya. Masyarakat begitu menyorot revisi Undang-undang yang berhubungan dengan buruh yaitu pada Rancangan Undang-undang (RUU) Cipta Lapangan Kerja.Â
Menurut presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal yang pendapatnya dipublikasikan oleh tempo dengan judul Buruh beberkan 3 alasan utama tolak omnibus law pada tanggal 22 Febuari 2020 yang singkatnya membahas tentang pembatasan hari dan waktu kerja, waktu lembur dan penghitungan gaji buruh.
Menurutnya, pertama dalam RUU Cipta Lapangan Kerja yang baru waktu kerja buruh dan pembatasan hari kerja buruh tidak akan fleksibel lagi. Dikarenakan adanya aturan penentuan lamanya waktu kerja paling lama 8 jam perhari dan 40 jam dalam seminggu, dikhawatirkan akan membuat buruh menjadi bekerja selama mungkin dalam satu hari asalkan dalam waktu satu minggu buruh bekerja sesuai dengan peraturan waktu kerja yaitu 40 jam.
Kedua, Perusahaan dikhawatirkan akan memanfaatkan pemberlakuan kerja yang melebihi ketentuan waktu untuk jenis pekerjaan tertentu, meskipun nantinya akan diatur lagi dalam peraturan yang lain. Ketiga, mengenai waktu kerja lembur yang dalam omnibuslaw diatur lembur maksimal 4 jam dalam sehari dan 18 jam dalam seminggu.Â
Sebelumnya dalam Undang-undang Ketenagakerjaan diatur mengenai ketentuan tersebut, seperti yang kita tahu dalam ilmu perundang-undangan terdapat asas hukum lex posterior derogat legi priori yang artinya peraturan yang baru mengesampingkan peraturan yang lama.Â
Sedangkan, ketika RUU Cipta Lapangan Kerja diberlakukan maka Undang-undang Ketenagakerjaan yang telah diubah tidak berlaku lagi, sementara Undang-undang yang lebih manusiawi dan lebih tegas adalah Undang-undang Ketenagakerjaan.
Tidak cukup dengan ikatan dalam Undang-undang, buruh juga diikat dengan kontrak perjanjian kerja yang dalam pengikatannya tidak menutup kemungkinan penuh dengan tekanan. Seolah tidak memberikan celah untuk buruh mendapatkan kesejahteraan dan kebebasan hak.
Dalam kasus ini, peraturan lama yang banyak menguntungkan buruh masih tidak mampu untuk membuat Perusahaan memberikan kesejahteraan dan pemenuhan hak secara menyeluruh, apalagi diberlakukan peraturan baru yang dalam salah satu isi pasalnya didapati salah ketik? Terlihat sepele, tetapi bagaimana mungkin pasal kesalahan yang diindikasi sengaja bisa menjadi pasal yang salah ketik?
Mulai dari aksi mogok kerja, demo didepan Perusahaan sampai kecelakaan kerja yang terjadi bukan karena human error, tetap saja buruh tidak dilirik oleh Perusahaan untuk diberikan kesejahteraan.
Beberapa fakta yang ditemukan oleh Perusahaan redaksi mengenai perlakuan yang diterima buruh Aice tidak menggambarkan kesejahteraan yang dimaksud oleh Undang-undang, apalagi membahas mengenai Hak buruh yang wajib diberikan oleh Perusahaan.Â
Tentunya peristiwa yang dialami oleh Marsinah tidak ingin kita ulangi lagi bukan? Meskipun pada kenyataanya banyak sekali pengulangan kasus Marsinah yang terjadi diantara sekian banyaknya buruh di Indonesia.
Dalam jurnal Internasionalpun dibahas dengan judul sub bab From Marsinah to Munir : Grounding Human Rights in Indonesia dipublikasikan pada tahun 2008 oleh Leena Avonius, menggambarkan bagaimana prosesi HAM yang berlaku di Indonesia pada masa Soeharto menjabat menjadi presiden, Soeharto menolak mengenai penegakkan HAM yang digagas oleh PBB.Â
Soeharto menjelaskan bahwa di Asia masyarakat sangat menghormati pemimpin mereka, seperti penggambaran keluarga yang menghormati seorang kepala rumah tangga. Kemudian dapat disimpulkan bahwa apapun keputusan pemimpin merupakan keputusan yang bersifat mutlak dan final,hal itu jelas bertentangan dengan sumber dari segala sumber hukum Indonesia yaitu Pancasila.
Dengan adanya contoh tersebut, masyarakat Indonesia yang berprofesi menjadi buruh berharap untuk tidak mengalami hal yang serupa dengan Marsinah dengan kasus yang sama meskipun peluang untuk terjadinya sangat besar.
Mereka menyadari himpitan ekonomi yang semakin hari semakin menyudutkan mereka mendorong untuk bekerja keras meskipun banyak ketidakadilan menghantui belum lagi resiko tidak terpenuhinya hak mereka sebagai buruh yang telah menunaikan kewajiban mereka terhadap Perusahaan.Â
Setidaknya, meskipun sebagian Perusahaan tidak dapat memanusiakan buruh tetapi sedikitnya dapat memenuhi hak dan jaminan sosial buruh, agar tujuan dari masing-masing pihak yang berkepentingan bisa tercapai.
Tidak lupa dengan peranan Pemerintah dan aparatur negara dibawahnya yang amat sangat penting untuk pengawasan dan penindakan jika ditemukannya kasus serupa. Dengan begitu, kasus Marsinah lain yang sudah mendinasti di Indonesia menjadi berkurang ataupun tidak ada sama sekali.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H