Kedua, Perusahaan dikhawatirkan akan memanfaatkan pemberlakuan kerja yang melebihi ketentuan waktu untuk jenis pekerjaan tertentu, meskipun nantinya akan diatur lagi dalam peraturan yang lain. Ketiga, mengenai waktu kerja lembur yang dalam omnibuslaw diatur lembur maksimal 4 jam dalam sehari dan 18 jam dalam seminggu.Â
Sebelumnya dalam Undang-undang Ketenagakerjaan diatur mengenai ketentuan tersebut, seperti yang kita tahu dalam ilmu perundang-undangan terdapat asas hukum lex posterior derogat legi priori yang artinya peraturan yang baru mengesampingkan peraturan yang lama.Â
Sedangkan, ketika RUU Cipta Lapangan Kerja diberlakukan maka Undang-undang Ketenagakerjaan yang telah diubah tidak berlaku lagi, sementara Undang-undang yang lebih manusiawi dan lebih tegas adalah Undang-undang Ketenagakerjaan.
Tidak cukup dengan ikatan dalam Undang-undang, buruh juga diikat dengan kontrak perjanjian kerja yang dalam pengikatannya tidak menutup kemungkinan penuh dengan tekanan. Seolah tidak memberikan celah untuk buruh mendapatkan kesejahteraan dan kebebasan hak.
Dalam kasus ini, peraturan lama yang banyak menguntungkan buruh masih tidak mampu untuk membuat Perusahaan memberikan kesejahteraan dan pemenuhan hak secara menyeluruh, apalagi diberlakukan peraturan baru yang dalam salah satu isi pasalnya didapati salah ketik? Terlihat sepele, tetapi bagaimana mungkin pasal kesalahan yang diindikasi sengaja bisa menjadi pasal yang salah ketik?
Mulai dari aksi mogok kerja, demo didepan Perusahaan sampai kecelakaan kerja yang terjadi bukan karena human error, tetap saja buruh tidak dilirik oleh Perusahaan untuk diberikan kesejahteraan.
Beberapa fakta yang ditemukan oleh Perusahaan redaksi mengenai perlakuan yang diterima buruh Aice tidak menggambarkan kesejahteraan yang dimaksud oleh Undang-undang, apalagi membahas mengenai Hak buruh yang wajib diberikan oleh Perusahaan.Â
Tentunya peristiwa yang dialami oleh Marsinah tidak ingin kita ulangi lagi bukan? Meskipun pada kenyataanya banyak sekali pengulangan kasus Marsinah yang terjadi diantara sekian banyaknya buruh di Indonesia.
Dalam jurnal Internasionalpun dibahas dengan judul sub bab From Marsinah to Munir : Grounding Human Rights in Indonesia dipublikasikan pada tahun 2008 oleh Leena Avonius, menggambarkan bagaimana prosesi HAM yang berlaku di Indonesia pada masa Soeharto menjabat menjadi presiden, Soeharto menolak mengenai penegakkan HAM yang digagas oleh PBB.Â
Soeharto menjelaskan bahwa di Asia masyarakat sangat menghormati pemimpin mereka, seperti penggambaran keluarga yang menghormati seorang kepala rumah tangga. Kemudian dapat disimpulkan bahwa apapun keputusan pemimpin merupakan keputusan yang bersifat mutlak dan final,hal itu jelas bertentangan dengan sumber dari segala sumber hukum Indonesia yaitu Pancasila.