Mohon tunggu...
Ade Ismatillah Nuad
Ade Ismatillah Nuad Mohon Tunggu... Penulis - Peneliti Lepas dan Writerpreneur

Bergiat di bidang penelitian dan literasi

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Bolehkah Memilih Pemimpin Non Muslim?

8 April 2016   15:40 Diperbarui: 11 April 2016   13:59 1523
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Isu boleh tidaknya memilih pemimpin non muslim mencuat dalam konteks Pilkada DKI Jakarta khususnya. Masyarakat muslim di Jakarta sekarang ini menginginkan suatu preferensi dan referensi politik mengenai boleh tidaknya memilih pemimpin non muslim. Apalagi, saat ini santer muncul sebuah pernyataan yang tidak bisa dipertanggung jawabkan berbunyi “lebih baik memilih pemimpin non muslim tapi bersih, daripada memilih pemimpin muslim tapi korup”.

Pernyataan itu sungguh sebuah pernyataan yang tidak memiliki dasar dan sangat menyesatkan. Sebab, jika memang ada seorang pemimpin muslim korup, maka yang salah adalah individunya, bukan agamanya.

Tapi perlu juga diingat, korupsi itu kejahatan. Jika pun ada seorang pemimpin muslim yang korup, maka sebetulnya dia pun dirundung oleh rasa takut yang luar biasa. Praktik melakukan korupsi bukan sesuatu yang menyenangkan, apalagi dikategorikan sebagai extra ordinary crimes.

Jika ada pemimpin muslim melakukan tindakan korupsi, maka yang disalahkan adalah individunya, bukan agamanya. Karena dia menuruti nafsu untuk melakukan korupsi dan memperkaya diri. Ini hampir mirip jika ada polisi atau tentara yang berbuat korupsi atau kejahatan, apakah kita secara semena-mena menyalahkan institusinya? Pejabat Polri atau TNI pasti langsung bicara bahwa itu semata-mata kesalahan oknum individu, bukan institusinya.

Coba kita lihat AD ART Kepolisian atau TNI, pasti sangat agung dan tak ada satu pun celah atau titik yang salah. Karenanya, jika ada kesalahan maka yang dituding adalah oknum individu, bukan institusi. Begitu pula dengan Islam, yang merupakan ajaran agung serta merupakan agama rahmat bagi seluruh alam, jika ada pemimpin muslim korup, kesalahan bukan terletak pada agamanya, melainkan individunya.

Selama ini ada sebuah argumen bahwa di alam Pancasila, semua orang bisa menjadi pemimpin termasuk non muslim. Karena ini adalah negara Pancasila, negara yang terbuka. Asal WNI, di negara Pancasila, maka dia memiliki hak mencalonkan diri untuk menjadi seorang pemimpin. Sepintas pernyataan ini benar, namun argumen ini sebetulnya ada kelanjutannya.

Kelanjutannya adalah, karena ideologi Pancasila bukan lah ideologi yang kosong makna, Pancasila dan NKRI bukan lah barang gratis. Untuk mendirikan NKRI dan Pancasila sebagai ideologi bangsa memerlukan pengorbanan, dengan doa, darah dan air mata, serta nyawa para syuhada. Betapa besar pengorbanan umat Islam untuk mengusir penjajahan Belanda, termasuk di tanah Betawi, “tanahnya para Habaib” yang mendakwahkan Islam jauh sebelum bangsa ini merdeka.

Kita pun tentu masih ingat folklore Si Pitung, H Naipin, Si Jiih, Fatahillah atau Pangeran Jayakarta, Habib Luar Batang, dan kisah heroik pahlawan di tanah Betawi lainnya, sebuah kisah rakyat yang mencerminkan perjuangan dan pengorbanan untuk mengusir penjajahan Belanda. Sebuah kisah heroisme yang berangkat dari tanah Betawi, pesantren, santri dan ulama. Narasi sejarah seperti ini mungkin orang sudah lupa, padahal narasi sejarah itulah yang membentuk NKRI dan ideologi Pancasila yang kemudian dikumandangkan Bung Karno.

Selama ini masyarakat hanya tau berdasar di media, bahwa ada pemimpin non muslim yang jujur, berani dan banyak melakukan perubahan. Namun, apakah pemberitaan di media itu sepenuhnya benar? Jawabannya tidak juga! Apakah kejujuran, keberanian, dan sebagainya itu murni ataukah ada embel-embel, supaya dipercaya untuk memimpin yang kelasnya lebih tinggi lagi, misalnya, supaya jadi Presiden. Jadi jika demikian, maka kejujuran, keberanian dan lain-lainnya hanyalah klise atau tidak murni, melainkan batu loncatan politik supaya bisa step ke tingkatan atau kelas yang lebih tinggi. Jujur dan berani supaya dapat pamor dan pencitraan, jika seperti itu buat apa, bahkan ada kesan membohongi publik!

Apa konsekuensi jika non muslim memimpin Jakarta? Begini, Jakarta itu dihuni 10 juta jiwa dan diperkirakan sekitar 85 persen lebih menganut agama Islam. Pertanyaannya, tidak adakah satu orang saja yang bisa menjadi pemimpin yang adil, jujur, amanah, bersih, pemberani dan bertanggung jawab? Jawabnya jujur saja masih kelebihan stok!

Banyak yang luput dari perhatian di masyarakat, bahwa jelas akan ada konsekuensi-konsekuensi logis jika seorang pemimpin non muslim memimpin Jakarta.

Pertama, akan ada peniadaan anggaran pemerintah/Pemprov DKI yang semula untuk kepentingan umat Islam. Ambil contoh, peniadaan honorarium untuk guru ngaji di madrasah-madrasah, pesantren, peniadaan beasiswa untuk pelajar Islam, peniadaan bantuan pembangunan Masjid dan Mushola, bantuan kegiatan sosial dan hari besar Islam. Pendeknya proposal-proposal yang akan masuk ke Pemprov DKI yang berbau agama Islam kemungkinan besar akan ditolak. Pemimpin non muslim seakan nanti berkata, “enak aja minta sumbangan, kerja dong!”

Kedua, akan banyak kebijakan yang tidak menguntungkan masyarakat Islam atau tidak pro pada kepentingan masyarakat Muslim Jakarta. Contoh misalnya, penyembelihan hewan kurban dipersoalkan, jual beli hewan kurban di jalanan dipersoalkan, semuanya nanti atas nama kebersihan dan kesehatan. Padahal, apakah pemimpin non muslim itu mengerti tentang akidah Islam? Tentang apa itu arti penyembelihan hewan kurban dan lain sebagainya.

Banyak hal yang tidak mesti dinalar dengan akal sehat jika kita sudah masuk persoalan akidah, dimana hal ini tidak dimengerti oleh pemimpin non muslim nantinya. Jika diungkit masalah kesehatan, apakah ketika ada orang Islam menyembelih hewan kurban, darahnya tidak dikuburkan, dan bekasnya tidak dicuci hingga bersih?

Masalah ini diungkit karena sekira pada momen Idul Adha tahun lalu, isu ini sempat mencuat kepermukaan, bahwa Pemprov DKI akan mensterilkan jalan-jalan, tempat ibadah seperti Masjid supaya terbebas dari adanya penyembelihan hewan kurban. Penyembelihan hewan kurban harus pada tempatnya di tempat penjagalan hewan seperti di negara-negara lain. Padahal yang melarang itu sama sekali tidak mengerti akidah Islam!

Pertanyaannya, ketika ditengah masyarakat DKI yang tengah bingung, galau, dan mengalami keluh kesah yang tak berkesudahan, terutama karena akan menghadapi hajatan besar memilih pemimpin dalam Pilkada? Dan dari calon-calon nanti akan ada salah satunya non muslim, mengapa lembaga dan organisasi keagamaan besar tidak buru-buru mengeluarkan fatwa mengenai apa hukumnya memilih pemimpin non muslim? Kemana MUI, kemana NU, kemana Muhammadiyah? Umat sekarang tengah menanti fatwanya!

Memang sangat naif, dulu ada kasus Syeh Pujiono, ada kasus Eyang Subur, yang skala dan pengaruhnya sangat kecil, lembaga dan Ormas itu buru-buru bikin fatwa. Kini giliran ada persoalan besar dan dampaknya sangat luar biasa menyangkut kehidupan umat Islam di Jakarta, kemana fatwa Ulama menyangkut boleh tidaknya memilih pemimpin non muslim! Fatwa resmi dari mereka para ulama sangat dinantikan oleh umat Islam di Jakarta khususnya.

Kita hanya mendengar koar-koar dari Habib Rizieq Shihab, yang berani dan secara terang-terangan menolak pemimpin non muslim. Namun, dari lembaga dan Ormas besar kemana mereka? Prasangka licik kemudian menyemburat, apakah lembaga dan Ormas itu sudah masuk angin! Mengingat sumber dana dari calon pemimpin non muslim di Jakarta ini sangat lah luar biasa! Para Taipan dan tak tanggung-tanggung dari dana siluman negeri Singapur!

Dalam ajaran Islam, memilih pemimpin non muslim itu boleh, tapi syaratnya jika sudah tidak ada orang yang sanggup jadi pemimpin. Ketika keadaan tengah genting, tengah gonjang ganjing, dimana seorang pemimpin sangat dibutuhkan, maka orang biasa pun boleh jadi pemimpin. Karena, adanya seorang pemimpin itu, meski kafir dan korup, masih lebih baik, ketimbang sebuah negara/wilayah tidak memiliki seorang pemimpin.

Contoh, dalam kehidupan berumah tangga, adanya peran bapak itu sangat penting, meskipun kondisinya baik secara ekonomi dan fisik sangat memperihatinkan. Asal ada sosok bapak di rumah, maka jauh lebih baik ketimbang sebuah rumah tangga yang bercerai. Begitu pula seorang pemimpin, kafir dan korup, masih lebih baik ketimbang tak memiliki seorang pemimpin.

Namun hal di atas jangan dijadikan patokan, sebab ini bukan di negeri dongeng, dalam arti negeri kita tak sedang gonjang ganjing, Jakarta belum genting, dan stok pemimpin Muslim yang jujur sangat lah banyak. Karenanya, sangat dilarang memilih pemimpin non muslim meski di negeri Pancasila.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun