Mohon tunggu...
Salma Aulia
Salma Aulia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Program Studi Jurnalistik Universitas Padjadjaran

"Work hard in silence. Success be your noise"

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

THR Bikin Kita Miskin

22 Mei 2022   15:26 Diperbarui: 22 Mei 2022   15:29 414
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tunjangan Hari raya atau yang biasa kita kenal dengan THR merupakan salah satu tradisi yang biasa dilakukan di saat lebaran hari raya Idul Fitri. Tradisi ini sudah mendarah daging sejak lama di Indonesia.

THR biasanya berbentuk uang yang wajib diberikan pada para pekerja/buruh oleh sebuah perusahaan. Namun seiring berjalannya waktu, tradisi tersebut tidak hanya berlaku di lingkup perusahaan dan para pekerja saja, tetapi anak-anak pun mendapat bagian dari tradisi ini. 

Tetapi jika ditilik lebih dalam adanya tradisi THR ini dapat berdampak pada mentalitas seorang menjadi mental pengemis/meminta. Mengapa demikian? 

Sebelum membahas mengenai dampak adanya THR tersebut, maka kita perlu tahu dulu sejarah panjang yang menyertainya. Berikut ini penjelasannya. 

Awal Mula Munculnya Tradisi THR

Pada umumnya, besaran dari THR yang diberikan kepada pekerja yang sudah bekerja selama satu tahun adalah sejumlah satu kali gaji, sedangkan untuk pekerja yang kurang dari satu tahun THR dibayarkan dengan perhitungan proporsional. Selain yang, ada beberapa perusahaan yang membayarkan THR dalam bentuk kebutuhan pokok seperti beras. 

Tradisi THR ini bermula di Indonesia pada 1951 yang dikenalkan oleh Perdana Menteri dari Masyumi, Soekiman Wirjosandjojo, sekaligus ketua kabinet yang berkuasa kala itu, Kabinet Sukiman Suwirjo. 

Ini merupakan salah satu program kerja kabinet yang diusung dalam rangka peningkatan kesejahteraan pegawai serta aparatur negara (pamong pradja atau PNS) yaitu tunjangan. Saat itu kisaran besaran THR pagi PNS adalah Rp 125 (USD 11) sampai Rp 200 (USD 17, 5).

Pada awalnya, kebijakan ini banyak manual pro kontra dari berbagai kalangan, salah satunya adalah kelompok buruh yang melakukan protes atas kebijakan ini. 

Protes kelompok buruh tersebut menuntut pemerintah agar mengeluarkan kebijakan yang sama untuk perusahaan pada para pekerjanya, karena buruh merasa ikut serta berkontribusi terhadap perekonomian nasional.

Protes kelompok buruh tersebut disambut gayung hangat dari pemerintah dengan penerbitan peraturan agar perusahaan bersedia memberikan THR pada para pekerjanya. 

Sejak saat itulah istilah THR populer di Indonesia. Kendati demikian, pada realitanya kebijakan resmi mengenai THR baru resmi dikeluarkan setelah sekian tahun selanjutnya ketika rezim telah berganti.

Aturan tersebut terdapat pada Peraturan Menteri Tenaga Kerja RI No. 04/1994 tentang THR Keagamaan bagi pekerja di perusahaan saat era Orde Baru. Adanya peraturan ini menguatkan payung hukum para pekerja mengenai kesejahteraannya dengan hal memperoleh THR tersebut. 

Peraturan tersebut disempurnakan kembali di saat masa Reformasi, lewat Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan yang salah satunya berisi mengatur masalah THR.

Dikutip dari kompas.com, peraturan lain yang mengatur mengenai THR ini terdapat pada Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Nomor 6 Tahun 2016 tentang THR Keagamaan bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan, yang wajib dibayarkan paling lambat tujuh hari sebelum hari raya keagamaan dengan berapa nominal minimal yang harus dibayarkan.

THR Pemicu Pembentukan Mental "Pengemis" Pada Anak

Tradisi THR yang pada awalnya merupakan sebuah kebijakan dari pemerintah untuk menyejahterakan para pekerja akhirnya diperluas cakupannya hingga anak-anak pun mendapatkannya. Biasanya saudara dan kerabat dekat yang sudah dewasa dan bekerja akan memberikan pada anak-anak, sepupu, ataupun keponakan. 

Tradisi THR ini pada dasarnya mengajarkan pada anak-anak arti dan bukti nyata dari saling berbagi. Tetapi ada saja si momen Idul Fitri dimana para orang tua justru mengajarkan anak-anak menjadi pribadi yang suka "meminta-minta" Hadiah lebaran atau THR. 

Menjelang lebaran atau pada hari raya Idul Fitri seringkali ditemui teman, saudara ataupun kerabat yang berkata seperti ini:

"Tante ponakannya sudah jauh-jauh datang, masa belum dikasih THR."

Atau seperti ini

Mana THR-nya atuh? Sebentar lagi ‘kan lebaran.

Mirisnya adalah perkataan-perkataan tersebut kebanyakan diucapkan oleh orang tua pada anaknya ketika bertemu sanak saudara atau kerabat dekat. 

Ucapan-ucapan tersebut dapat menjadikan mental seorang anak sebagai seorang pengemis/peminta. Bahkan terkadang terdapat orang tua yang terlebih dahulu dengan sengaja meminta THR pada kerabat, saudara, bahkan kolega menggunakan alasan untuk anaknya. 

Biasanya anak hanya dapat menuruti perkataan orang tuanya. Padahal usia anak-anak merupakan masa-masanya banyak meniru dan mencontoh sikap dan perilaku orang di sekitarnya, terlebih kedua orang tuanya. 

Jika orang tua melakukan hal yang disebutkan sebelumnya, maka kemungkinan besar di masa depan anak-anaknya kelak akan memiliki mentalitas pengemis/peminta.

Maka dari itu perlu diperhatikan kembali oleh para orang tua atas segala tindak tanduk perbuatan, sikap dan perkataannya agar kelak tidak memberikan contoh serta membentuk mental seorang pengemis dalam diri anak-anaknya. 

Pada dasarnya anak- anak diperbolehkan untuk menerima uang THR dari kerabat atau saudara, tetapi jangan sampai meminta. 

Tak lupa juga untuk mengingatkan anak mengucapkan terima kasih dan tersenyum saat di beri THR. Ingatkan dan ajarkan bahwa dalam ajaran Islam, tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah. 

Budaya Konsumtif Masyarakat Indonesia

Tak bisa dipungkiri pula bahwa ketika menjelang Idul Fitri, beban pengeluaran semakin membengkak dikarenakan banyaknya kebutuhan lebaran yang perlu dikeluarkan, seperti mudik, kue, pakaian, dan lain-lain. Maka dari itu adanya THR amat membantu para pekerja untuk memenuhi kebutuhan tersebut. 

Kendati demikian, THR uang didapatkan harus digunakan secara bijak dan diatur dengan baik agar tidak melahirkan budaya konsumtif. Jika diibaratkan sebagai dua sisi mata uang, THR ini di samping dapat membantu mengurangi beban kebutuhan lebaran, juga menyuburkan mentalitas orang miskin (meminta) serta budaya konsumtif. 

Sebelum itu, perlu dipahami terlebih dahulu bahwa kaya dan miskin itu juga terdapat di dalam mindset seseorang. Masuk ke dalam pembahasan mengapa THR dapat menjadikan seseorang memiliki mental miskin adalah karena beberapa hal, yaitu:

  1. Fenomena Uang Kaget

THR ini bisa digambarkan sebagai uang kaget, dimana ia didapatkan secara cuma-cuma tanpa adanya usaha jerih payah keringat diri sendiri.

Mayoritas orang yang berada di tingkat perekonomian menengah ke bawah setiap mendapatkan uang kaget sebagian besarnya dikeluarkan secara konsumtif karena memiliki insting untuk menghabiskan uang yang didapat. Bahkan uang tersebut digunakan bukan untuk hal-hal yang produktif bahkan menghilangkan eksistensi uangnya itu sendiri.

"Ah, kapan lagi dapet yang segini, jadi lebih baik dihabiskan saja sekarang". Kata mayoritas masyarakat Indonesia yang akhirnya melahirkan sebuah fenomena gaya hidup yang konsumtif.

Padahal sejatinya, orang kaya jika mendapatkan uang kaget akan dipergunakan dan dikelola sebaik mungkin dengan mindset "bagaimana caranya uang tersebut tetap berputar dan menghasilkan lebih banyak lagi".

Pada tahun 2021, terdapat penelitian yang dilakukan oleh Continuum Indonesia dan INDEF, dengan hasil survei big data analytics sebesar 90% uang THR para pekerja Indonesia justru dialokasikan untuk berbelanja, sedangkan sisanya sebesar 6,6% untuk menabung dan investasi. Maka tidak heran lagi jika dilihat dari persentase tersebut bahwa yang THR yang didapatkan habis dalam sekejap. 

Tendensi sikap konsumtif tersebut bisa berkembang di masyarakat karena didukung oleh pemikiran bahwa saat mendapatkan THR, gaji yang diperoleh menjadi dua kali lipat lebih banyak dibandingkan bulan-bulan sebelumnya. Padahal Peruntukan THR ini berbeda dengan gaji yang harus dibelanjakan secara rutin. Oleh karena itu, mindset sebagian besar masyarakat Indonesia akan THR perlu diubah.

Adanya THR seharusnya tidak menjadikan diri sendiri memiliki kebiasaan untuk menghabiskan secara keseluruhan pada aspek-aspek yang tidak produktif. Lebih baik dana THR tersebut ditabung, diinvestasikan untuk kebutuhan di masa depan. Konsiderasi jangka panjang ini, akan membuat kita dapat mencegah uang THR habis lantaran budaya berbelanja konsumtif. 

  1. Mindset yang Salah

Maksud dari mindset yang salah di sini adalah ketika seseorang mendapatkan pemasukan yang lebih banyak dari biasanya mereka akan melakukan penghabisan/pengeluaran lebih banyak. Hal ini dinamakan sebagai "lifestyle inflation". 

Padahal semestinya jika memiliki pemasukan yang lebih banyak, kita perlu berpikir "How to create more from more income" atau bagaimana caranya kita dapat mengelola, memutar, dan menghasilkan yang lebih lagi dari pemasukan yang ada tersebut. 

Satu hal lainnya yang perlu diperhatikan adalah bahwa THR sebagai uang kaget yang stabil didapatkan tiap tahunnya sehingga munculah habit atau kebiasaan untuk menghabiskan segalanya secara konsumtif. 

  1. Mental Accounting

Ini merupakan salah satu behavioral finance yang cukup unik di dalam masyarakat. Hal ini dapat diilustrasikan sebagai berikut:

Ada dua kantung yang berisi sama-sama 100 ribu rupiah. Uang di kantong kanan merupakan hasil jerih keringat dan susah payah. Sedangkan kantong kiri adalah 100 ribu uang kaget yang didapatkan cuma-cuma. Nah dalam hal ini, mental accounting adalah bagaimana cara seseorang mengubah persepsi kita terhadap uang tergantung dari situasi yang berbeda. 

Jika kembali pada penggambaran sebelumnya, ketika seseorang tidak melihat uang tersebut didapatkan dengan kerja keras, maka akan dengan mudah untuk dikeluarkan. Mindset inilah yang perlu dipatahkan dengan mulai berpikir bagaimana caranya menghasilkan pemasukan yang lebih lagi dari uang THR tersebut. Jangan terjebak pada pemikiran dan mental orang miskin. 

Mulailah untuk melakukan budgeting 50% ditabung, 50% sisanya dihabiskan untuk kebutuhan produktif lainnya. Sisihkan, bukan sisakan. Perlakukan uang kaget (THR) tersebut sebagai uang yang dihasilkan dari kerja keras. Dengan hal ini, maka kita akan memiliki insting untuk menaruh uang pada hal-hal yang produktif dibanding menghabiskan untuk hal konsumtif. Bisa jadi uang tersebut dapat digunakan sebagai modal bisnis usaha baru. 

Semoga tulisan ini dapat menjadi refleksi bagi kita bersama hingga kita tidak terjebak dalam mental seorang pengemis. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun