Mohon tunggu...
Salma Aulia
Salma Aulia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Program Studi Jurnalistik Universitas Padjadjaran

"Work hard in silence. Success be your noise"

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Antara Euforia Sambut Bulan Ramadhan dan Fenomena Naiknya Harga Kebutuhan Pokok

26 April 2022   16:20 Diperbarui: 26 April 2022   16:24 667
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar sembako yang dijual di pasar (sumber: Salma Aulia)

Bagi masyarakat Indonesia, khususnya Muslim bulan Ramadhan merupakan salah satu momen yang paling ditunggu-tunggu kehadirannya. Euforianya sangatlah terasa jika Ramadan datang, dari semangatnya untuk menjalani ibadah lebih antusias dari bulan biasanya, lalu berbagai macam produk menyesuaikan diri dengan pernak-pernik Ramadhan hingga diskon besar-besaran pun sering ditemui dalam dalam berbagai produk. Namun, euforia tersebut tidak sepenuhnya menutupi kesengsaraan masyarakat akan adanya fenomena naiknya barang kebutuhan pokok di Indonesia. Terlebih ketika menjelang dan memasuki bulan Ramadhan ini. 

Di setiap momen-momen tertentu adakalanya harga bahan kebutuhan pokok melonjak naik, ketika Natal, tahun baru, termasuk pula pada momen bulan Ramadhan. Hal ini tidak perlu diragukan lagi, karena memang sudah menjadi sebuah tradisi bahwa harga kebutuhan pokok akan naik ketika menjelang dan memasuki bulan Ramadhan. 

Setelah sebelumnya masyarakat dihebohkan karena kelangkaan minyak goreng hingga alami kenaikan harga, lalu harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng dicabut oleh pemerintah, kini masyarakat kembali dihantui oleh lonjakan harga kebutuhan pokok.

Memasuki bulan Ramadhan, harga gula, cabai rawit hijau, bawang merah, telur di pasaran naik. Menurut beberapa pedagang di Pasar Kranggan Bekasi yang saya tanyai mengenai kenaikan harga beberapa bahan pokok adalah sebagai berikut, gula pasir naik menjadi Rp 15.000 per kilogram. Cabai rawit hijau menjadi Rp 50.000-60.000 per kilogram, dan bawang merah menjadi Rp 37.000 per kilogram. Sedangkan telur naik menjadi Rp 25.000 per kilogram. Minyak goreng berada di sekitaran harga Rp 50.000-52.000 per kemasan dua liter.

Barang serta jasa-jasa yang lain pun menyusul harganya melonjak naik akibat adanya kebijakan pemerintah per tanggal 1 April lalu mengenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang dinaikkan menjadi 11 persen dari yang awalnya 10 persen. Perubahan tarif PPN tersebut berdasarkan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang ditetapkan jelang akhir tahun lalu. Dampak dari kebijakan ini tentu secara otomatis adalah pada kenaikan harga sejumlah barang atau produk.

Selain harga sembako, PPN, dan produk lainnya yang naik, kini disusul pula dengan naiknya Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis non-subsidi gasoline RON 92 (pertamax) dengan harga Rp 12.500 per liternya. Sebelumnya pertamax dihargai sebesar Rp 9.000 per liter. Pemberlakuan harga tersebut pada daerah yang pajak bahan bakar kendaraan bermotornya (PBBKB) capai 5 persen. Pemerintah berdalih bahwa Pertamina akan alami kerugian besar atau bangkrut jika harga BBM pertamax tersebut tidak dinaikkan harganya. Acuan yang diambil oleh Pertamina sendiri dalam menaikkan harga BBM adalah dengan mempertimbangkan daya beli masyarakat dimana harga yang diberikan oleh Pertamina tetap kompetitif dengan harga BBM sejenis di operator pemasok BBM lainnya. Alasan lainnya adalah pertamax belum pernah naik harga semenjak tahun 2019.

Mengutip dari Kompas.com, BBM Pertalite pun disinyalir akan alami kenaikan dengan melihat adanya tiga menteri yang menyuarakan wacana penyesuaian harga pertalite, yaitu Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan, Menko Bidang Perekonomian Airlangga Hartanto, serta Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrin. Menko Perekonomian mengatakan, pemerintah sedang mengkaji secara lebih lanjut terkait kenaikan harga pertalite juga gas elpiji 3 kilogram.

Tak hanya itu, daftar produk atau barang yang alami kenaikan masih berlanjut. Gas LPG juga menjadi daftar barang selanjutnya yang alami kenaikan. Produk hasil industri minyak dan gas alami penyesuaian harga pada produk LPG nonsubsidi. Hal ini sesuai dengan nilai Contract Price Aramco (CPA) pada tahun 2022 yang harga rerata CPA-nya naik sebesar 21 persen dari tahun sebelumnya, atau setara dengan 775 USD per metrik ton. Harga yang dibuat ini mempertimbangkan kemampuan pasar LPG nonsubsidi.

Gambar sembako yang dijual di pasar (sumber: Salma Aulia)
Gambar sembako yang dijual di pasar (sumber: Salma Aulia)

Perlu Adanya Keberpihakan

Lebih dari sedekade berlalu, organisasi dunia yang bernama United Nations Development Programme (UNDP) menerbitkan sebuah annual report yang di dalamnya berisi tentang himbauan yang diberikan UNDP pada setiap pemerintahan di negaranya masing-masing untuk dapat mewujudkan keberpihakan pada rakyat dalam membuat sebuah kebijakan pembangunan. Dimana setiap kebijakannya harus disediakan pilihan guna peningkatan nilai atau values yang bermanfaat agar lebih sejahtera lagi kehidupan masyarakatnya. Laporan tersebut terbit di tahun 2010/2011 dengan judul "People-centred Development in Action: Empowered Lives, Resilient Nations". 

Pertumbuhan ekonomi sebuah negara itu sangat penting, dan UNDP menyadari hal itu. Namun hal tersebut hanya dijadikan sekadar sarana untuk perluasan pilihan dalam menciptakan nilai kehidupan warga yang lebih berkualitas, karena pertumbuhan ekonomi bukanlah tujuan dari adanya pembangunan. Dalam menciptakan nilai, hal terpenting adalah membangun individu manusianya supaya dapat menentukan masa depannya dengan pilihan yang terbaik. Hal ini tentu perlu adanya dukungan dari pemerintah dan masyarakat dengan cara terlibat aktif di dalamnya agar perwujudan kesejahteraan dan kualitas hidup berhasil dicapai sebagai ukuran pembangunan. 

Paradigma people centered development ini memperhatikan keseimbangan antara ekologi manusia yang didukung oleh sumber pembangunan utamanya, yakni informasi dan inisiatif kreatif yang tak ada habisnya. Hal ini bertujuan untuk mengembangkan manusia dengan pengaktualisasian optimal potensi manusianya itu sendiri. People centered development ini penting sebagai wadah bagi prakarsa juga keanekaragaman lokal dan menegaskan pentingnya masyarakat lokal yang mandiri. Jika dilihat dari manajemen pembangunannya, birokrasi pemerintah diubah peranannya menjadi aktor yang menciptakan suatu keadaan atau kondisi yang memantik munculnya kemandirian rakyat, dengan arti lainnya yaitu sebagai katalis yang mempercepat proses pembangunan yang berfokus pada kemandirian lokal.

Upaya pengembangan kebijakan perlu difokuskan atau dipusatkan pada individu atau kelompok manusianya sebagai subjek dan sebagai objek penerima dari manfaatnya. Maka dari itu, sikap mengabaikan adanya manusia (masyarakat) dalam membentuk sebuah kebijakan sama dengan pengingkaran nilai luhur kebijakan. Paradigma people centered development perlu diterapkan karena tak hanya bermanfaat tetapi juga turut mendukung pemerintah dalam penguatan resiliensi menghadapi berbagai tantangan. 

Masyarakat ditempatkan sebagai aktor utama yang memiliki kekuatan dalam perencanaan, perumusan, dan pelaksanaan pembangunan yang disesuaikan dengan potensinya masing-masing. Lalu menciptakan keterkaitan yang tepat antara alam dan aspek sosio-ekonomis juga kultur yang melihat masa kini juga masa mendatang. Hal ini tentu dilakukan dengan adanya pendekatan pembangunan desa terpadu dengan menitikberatkan pada multi sektoral. Partisipasinya dilakukan secara lokal dan direncanakan dari bawah. Partisipasi masyarakat perlu ditingkatkan dan dikedepankan dalam pengambilan keputusan adalah reaksi, dimana selama ini masyarakat hanya berpartisipasi pada tahap mobilisasi dan implementasi saja.

Lalu yang dilakukan pemerintah saat ini adalah melihat namun mereka cenderung tak memihak, apakah pemerintah sedang memainkan peran antagonis yang memperlemah negara? Berlakon sebagai antagonis yang berwatak buruk dan dijadikan sebagai antitesis lakon protagonis. Mereka berlakon dengan membuat kebijakan-kebijakan antagonis yang tak bersahabat itu dapat memicu sederet masalah baru yang menjadikan beban hidup masyarakat kian berat.

Misalnya dalam masalah penyesuaian tarif PPN. Hal ini dinilai tidak memihak kepentingan masyarakat, melainkan bertujuan untuk mencapai target penerimaan pajak sektor konsumsi. Pemerintah memiliki kekuatan yang besar dan kuat untuk memungut pajak dari kelompok masyarakat yang berkemampuan konsumsi tinggi. Perubahan kebijakan tarif PPN ini meski dikatakan sebagai pilihan rasional untuk kontribusi pemerintah dalam pemerataan ekonomi, tetapi masyarakat menganggap bahwa hal ini adalah keputusan sepihak yang diputuskan dalam waktu yang tidak tepat yaitu ketika kebutuhan sedang tinggi-tingginya. Sehingga masyarakat memiliki penilaian pada pemerintah bahwa mereka menaruh keberpihakan pada para pengusaha yang mengambil keuntungan pada momen Ramadan dimana konsumsi masyarakat sedang memuncak.

Ego defense mechanism yang dimiliki oleh pemerintah sendiri diperkuat secara komparatif. Dimana telah PPN selama puluhan tahun diterapkan berlaku tarif tunggal sebesar 10 persen. Dibandingkan negara lain, tarif PPN 10 persen tergolong rendah, sehingga kenaikan tarif menjadi 11 persen dianggap wajar. Padahal diksi "wajar" ini bersifat subjektif.

Kenaikan tarif PPN dipertimbangkan dengan maksud untuk memelihara momentum pertumbuhan ekonomi Indonesia, karena di tahun 2021 pertumbuhan ekonomi hanya berkisar pada 3,69 persen sehingga pada tahun 2022  pemerintah ingin mengejar target hingga 5,2 persen. Maka dari itu, kenaikan PPN kembali disebut wajar tanpa memperhatikan dan mengikutsertakan adanya pertimbangan kepentingan bersama.

Pemerintah pun menggadaikan kewibawaannya dalam implementasi kebijakan HET. dalam Permendag 7/2020, gula diatur dengan harga acuan HET sebesar Rp 12.500 per kilogram. Namun realitanya di pasaran bisa mencapai Rp 14.000 per kilogram, bahkan lebih mahal dari itu ditemukan di tempat lainnya. Wibawa yang dimiliki oleh pemerintah telah runtuh karena pencabutan HET minyak goreng kemasan yang membuat ibu rumah tangga menjerit setelah mengetahui meski stok melimpah tetapi harga minyak goreng melambung. Upaya peredaman jeritan rakyat oleh pejabat negara dengan pemberian alternatif cara memasak justru menambah absurd situasi ini, bukan memberi solusi efektif.

Gambar sembako di pasar (sumber: Salma Aulia)
Gambar sembako di pasar (sumber: Salma Aulia)

Kesedihan yang dirasakan masyarakat akibat banyaknya barang kebutuhan pokok yang naik dapat terobati kemudian hari dengan iming-iming pemerintah izinkan masyarakat mudik Lebaran. Tetapi, mudik pun mengeluarkan biaya yang cukup mahal sebab tarif sejumlah ruas tol pun alami kenaikan sejak akhir Februari. Hal ini sesuai dengan keputusan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Namun lagi-lagi dalam hal kenaikan tarif ini hanya mempertimbangkan pengejaran pengembalian investasi sesuai rencana bisnis Badan Usaha Jalan Tol serta penjagaan iklim investasi jalan tol nasional supaya lebih kondusif, dan sebagai peningkatan mutu layanan di jalan tol.

Maka sejauh ini dapat kita lihat bahwa masyarakat pada dasarnya tidak hanya berpuasa menahan lapar dan haus, tetapi juga berpuasa terhadap kenaikan harga kebutuhan pokok. [SA]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun