Kami dari SLAM Indonesia, Suara Laras Anak Muda, berkunjung ke Yayasan Bung Karno. Di ruang ini, dasar negara bernama Pancasila dirumuskan. Cerita dan cita-cita tentang perjuangan para pendiri bangsa ini terarsip dengan jelas. Bulan Desember lalu adalah pertemuan kami dengan mas Sigit Lingga yang dengan sabar bercerita tentang Bung Karno. Mas Sigit aktif dalam dunia arsip mengarsip dokumen sejarah republik. Kami lantas melemparkan pertanyaan mengenai sejarah, juga memaknai diri kita sendiri sebagai Manusia Indonesia, dan lainnya. Berikut hasil obrolan SLAM Indonesia dengan Mas Sigit Lingga.
Mas Sigit kenapa sih anak muda harus belajar sejarah atau belajar masa lalu bangsa Indonesia?
Belajar sejarah sebenarnya tuh bukan belajar masa lalu, menurut kita, kita mempelajari pola. Pola hidup. Nasib sosial masyarakatnya. Politik, sosial, ekonomi, kebudayaan. Saya liatnya lebih begitu, itu lebih menarik. Bagaimana transformasi itu terjadi. Itu sejarah dan lebih menarik.
Kalau misalnya pemusik bicara mengenai sejarah. Yang membuat saya keliatan, mestinya pemusik mengetahui pola musik yang berkembang di Indonesia. Tujuannya membentuk musik unik yang bernama musik Indonesia. Kita nggak bisa bersaing kalau warna musik kita amrik banget.
Jadi, anak muda harus start dari mana jika belajar sejarah?
Memang sih, mundurnya agak panjang. Bagaimana Indonesia terbentuk? Siapa orang Indonesia? Kayak Pak Presiden (Jokowi) beberapa kali 17 Agustus kan mencoba menghadirkan kembali kan. Kolektif kita. Bahwa kita ini berbeda-beda dengan memakai kostum (adat). Itukan paling tidak memberikan gambaran 'ini baju apa ya' yang mungkin generasi sekarang, nggak pernah tau. Jadi ada baiknya sekarang.
Jadi sebetulnya Pak Jokowi nih, kalau kerangkanya dia nawacita bilang tentang kebudayaan. Sementara ini dia baru bicara Nusantara nih. Harapan saya dia masuk ke modern. Ini ada satu perjalanan yang harusnya dikenalkan presiden lagi. Jadi next Agustus 2019, saya harap warnanya sudah Indonesia.
Mudah-mudahan Presiden sadar, bahwa ke-Nusantaraan kita itu ya benar ada. Tapi modal ini untuk maju ke depan. Ada (frame pidato di Yayasan Bung Karno) yang bercerita bagaimana sebetulnya perubahan atau proses dari Nusantara menjadi Indonesia.
Tugas dan fungsi dan Yayasan Bung Karno ini menghimpun semuanya dan menghadirkan kembali arsip itu dalam arsip kontemporer (buku, film, lagu). Jadikan nggak mungkin semua orang baca arsip.
Ya, beberapa orang kan doyan (baca arsip).
Ya memang harus ada, Sejarawan kita dikit lho.
Modal apa yang dibutuhkan anak muda untuk belajar tentang sejarah?
Untuk dapat belajar sejarah modalnya adalah niat atau keinginan. Sebenarnya untuk mendapat intisari harus effort nih. Dengan membaca. Bung Karno dulu effortnya gede banget baca buku. Membaca itu sebuah kegiatan yang melibatkan banyak hal. Berbeda dengan mendengar orang ngomong. Jadi ada proses di mana, di situ, secara psychology, dia masuk ke dalam sebuah alur pemikiran.
Apa yang salah dari persepsi jika belajar sejarah itu belajar tentang masa lalu?
Kita nggak ngomong tentang masa lalu. Kalau kita ngomong itu, kita terjebak. Kita bicara mengenai pola, mengenai sebuah pengalaman akan sebuah perjalanan, perubahan, tatanan, perubahan nilai. Saya sih lihatnya begitu. Kalau bahasanya kita rubah, semoga kita tidak terjebak.
Apa maksud saya terjebak?
Kadang kala kita itu, mungkin seperti yang dibilang pak Mochtar Lubis, ciri khas orang Indonesia itu adalah melankolik. Sukanya yang jadul-jadul. Itu bagian dari melankolis. Yang akhirnya lupa akan esensi, bahwa sebetulnya mundur setapak untuk maju ke depan berapa langkah terlupakan.
Karena mundurnya enak nyender-nyender ya?
Gausah anak muda deh, orang tua. "Pak orang mana? Mas orang mana? Orang sunda? Gue orang jawa nih. Gua orang batak nih. Nggak ada yang bilang orang Indonesia?
Artinya tidak ada kesadaran bahwa kita sudah menjadi entitas baru. Dengan cita-cita baru. Atas dasar latar belakang kita ini.
Tahun 1928 katanya para pemuda bikin sumpah. Si Ambon, si Jawa, si Cina, si Siapapun dia yang berkelompok secara komunal. Atas dasar politik pengkotak-kotakan Belanda. Jadi Belanda memang membuat sekat-sekat, bahwa suku ini, orang Melayu tinggalnya di Kampung Melayu, orang Ambon tinggalnya di Kampung Ambon. Jadi sekat-sekat itu, untuk ternyata secara sosiologis mereka mendapatkan keuntungan, yaitu mengkerdilkan atau apa namanya membuat sebuah bungkus sehingga orang-orang ini tidak bisa berhubungan dengan baik satu sama lain. Sehingga instabilitas terjaga. Instabilitas bukan stabilitas ya. Sampai sekarang kan?
Karena kita nggak pernah sadar. Tahun 1928 mereka tuh sadar. Ini nggak bisa gini gini terus. Orang Ambon berjuang sendiri enggak dapet apa-apa. Perang Jawa kurang apa? Nggak selesai.
Kita harus, orang yang sependeritaan sepenanggungan ini kemudian tercerahkan di tahun 1928. Pencerahan itu karena pendidikan. Sehingga keluarlah Sukarno, Hatta, Syahrir akibat pendidikan. Tercerahkan mereka. Termasuk orang-orang yang menamai Jong Java, Jong Celebes bersatu, berikrar, berbangsa yang satu. Perjuangan kita satu, Indonesia.
Bagaimana melihat sekarang?
Misalnya, kebudayaan batak dengan rumah adanya. Kebudayaan batak itu sebetulnya itu bukan kebudayaan yang stop pada satu masa. Kebudayaan batal itu harus berkembang. Kita nggak bisa. Kadang kita sering kali kembali ke roots. Itu jadi akarnya puritanism. Puritanism kadang-kadang mengecoh dan menyesatkan. Puritanism itu kembali ke nilai awal atau keaslian.
Makanya Soekarno berkali-kali bilang, Kenapa namanya Indonesia?
Karena, kita ini orang-orang suku ini, bukan orang asli. Orang Jawa bukan orang asli. Orang Jawa itu hasil perkumpulan dari berbagai macam pendatang. Kemudian membentuk Jawa. Aslinya siapa?
Kalau kita baca semua tulisan yang ada sebelum tahun 60 tentang ke-Indonesiaan. Itu sudah menjelaskan itu. Makanya kita namanya, Indonesia. Indo itu artinya campuran. Nesia itu artinya kepulauan (archipelago). Atas kesadaran itu, the founding fathers itu, kita ini nggak ada yang asli. Kita ini menjadi satu, unsurnya apa? Bahasa, the very basic. Kita sepakati bahasa Melayu. Sebetulnya bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia karena dipakai di kancah perdagangan. Jadi yang banyak dipakai bahasa Melayu. Kemudian kita merdeka ada Pancasila dan sebagai-sebagainya. Itu semua disusun atas dasar kepengetahuan mereka terhadap latar belakang mereka.
Sukarno sendiri sudah nggak bisa bilang namanya Jawa. Sukarno sendiri namanya Sanskrit. Karna, itu bukan nama Jawa. Karna itu Sanskrit.
Jadi tugas kita apa sekarang?
Jadi sebetulnya tugas kita banyak. Suku-suku itu harus mengembangkan dirinya untuk mengisi. Mengisi apa? Mengisi ke-Indonesiaan. Semua menuju satu titik.
Kembali ke masalah ke-Indonesiaan, keaslian. Tidak ada pretensi saya untuk mengaburkan atau meniadakan para suku itu. Karena suku-suku adalah roots kita. Tapi harus diingat roots yang dimaksud itu harus berkembang atau berevolusi.
Jadi tarian bedoyo, serimpi yang sekian ratus tahun, hendaknya menjadi satu bentuk baru. Musik batak. Mestinya berkembang ke satu step yang baru. Begitupun dengan suku-suku lain di Indonesia. Mereka selalu mandek di situ. Dan mengatakan, "ini asli", antara mereka sendiri masih berantem.
Padahal bisa dilihat itu hidup ya.
Ya itu sesuatu yang berjalan dan berproses.
Apa yang dibutuhkan tokoh atau pemimpin Indonesia?
Harus punya karakter ke-Indonesiaan. Punya karakter akan cita-cita sebuah bangsa baru yang akan dibangun. Dia hanya jadi pekerja, operator, dan agent. Pak SBY sering ngomong agent. Mestinya kan Leader of Change. Kita harus ciptakan Leader of Change. Pemimpin-pemimpin pencipta perubahan. Masa iya agent? Dia kan sering bilang, bangsa kita harus menciptaka dan jadi Agent of Change. Salah di situ. Karena mestinya yang disebutkan adalah kita harus menjadi bangsa yang menciptakan para pemimpin perubahan. Bahasanya yang disampaikan (Agent of Change) tendensius. Kita harus kritis terhadap hal itu.
Ini permainan kata-kata yang digunakan yang bisa kita lihat perbedaannya. Sehingga untuk menjelaskan apa itu Indonesia. Kita mulai dari situ. Penyimpangan sejarah. Pembelajaran sejarah kepada anank-anak bangsa, itu tidak terjadi. Bahkan merusak.
Pemuda yang kritis saat ini?
Kurang. Karena tidak ada yang memprovokasi. Kalau saya yang memprovokasi buku. Alur cerita buku itu mengalami pikiran itu memprovokasi saya. Buku seperti itu, konstruksi yang dibangun oleh peradaban manusia modern yang mencatut dan menceritakan apapun juga. Yang mengajak para pembacanya fokus dalam hal itu mengalami apa yang dimaksud oleh penulis. Kita jarang baca buku.
Catatan ini merupakan cerita yang kami publikasikan di podcast 'SLAM Indonesia' di kanal Spotify, Google Podcast, Apple Podcast, Castbox dll. Jika ada pertanyaan bisa kita diskusikan lebih lanjut. Terimakasih.
Link Spotify:
CATATAN SLAM INDONESIA. 2019.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H