Aku tertawa terkikik saat membaca status Facebookmu. “Kau buang aku seperti sampah, bahkan lebih hina lagi”. Begitu bunyinya, aku tak bisa bayangkan wajah manja dan memelasmu saat menuliskan status itu. Aku memaki dalam hati, sekarang kau rasakan sendiri sakitnya dicampakkan.
Dia adalah mantan kekasihku. Bertahun kami jalani hubungan. Hingga akhirnya aku engkau campakkan. Sedih, hancur, dan aku menangis. Itu semua aku jalani dalam hari-hariku selepas kamu pergi bersama teman barumu itu.
Aku pandangi layar handphone Samsung milikku, aku menahan tawa lagi membaca statusmu. Apakah kau diputuskan pacarmu lagi, mantan kekasihku? Entahlah, aku tak tahu kabarmu di Jakarta sana.
Aku pandangi hujan di luar dari pintu kaca kafe milikku. Hujan turun deras sekali. Aku merasa rindu. Rindu pada seseorang. Seorang gadis yang indekos di sebelah Indomaret dekat kafeku. Gadis berambut pendek yang mempunyai senyum indah itu.
Hujan masih turun dengan derasnya. Sedang apakah kamu? Aku rindu.
Aku hampiri mesin espresso Vibiemme yang terletak di sudut kafeku, aku pejamkan mataku. Menunggu mesin siap untuk melakukan ekstraksi, aku menghela napas sembari membayangkan senyum itu.
Aku ambil biji kopi arabika terbaikku, Bali Inten Dewata. Aku siapkan susu pasteurisasi. Lalu dengan gerakan cepat, segera saja grinder Eureka milikku melakukan tugasnya menggiling biji kopi. Setelah aku rasa mendapatkan setting grinder yang tepat, bubuk kopi aku tempatkan pada portafilter, dengan konsistensi luar biasa yang urutannya sudah aku hapal di luar kepala, aku ambil tamper bergagang kayu favoritku, melakukan tamping untuk memadatkan bubuk kopi dalam portafilter. Menekannya dengan tekanan seberat 12 kilogram yang sudah tangan dan tubuhku hapalkan secara alamiah. Beralih ke mesin, sekarang lakukan ekstraksi, dan mesin espresso Vibiemme kini melakukan tugasnya. Ekstraksi espresso dalam tempo 20 detik, menghasilkan best shot espresso yang sempurna. Aku tuang susu dalam milk jug, sekarang steam susu. Mulai dari proses stretching hingga rolling saat steam, tanganku bahkan sudah menghapal saat suhu susu menyentuh 65 derajat celcius dan aku harus berhenti melakukan steam. Aku gedorkan milk jug di meja. Aku tuang pelan susu tersebut ke atas cangkir yang telah berisi espresso. Tanganku memutar dengan lincah, membentuk latte art bermotif cinta dengan sekali tuang saja. Manis. Paduan satu banding tiga antara espresso, susu, dan foam susu menghasilkan minuman di cangkir ini.
Cappucino ini untukmu Kinantie, hanya untukmu.
Aku bawa cangkir cappucino ke sudut meja. Hujan masih deras turun. Bahkan disertai angin. Aku menghela napas lagi, aku rindu sekali. Kinantie, sedang apakah kamu?
Kadang terasa sesak di dada, saat aku melihatmu berboncengan dengan pacarmu yang menjemputmu sepulang kau kerja, dimana saat turun dari sepeda motornya engkau selalu mengecup tangan pacarmu itu. Sesak. Dada ini terasa sesak setiap sore aku melihatnya dari balik pintu kaca kafeku.
Air mataku mengalir deras. Aneh. Bukankah aneh saat kita menangisi seseorang yang hanya bisa kita pandangi? Bahkan mengenalnya secara dekat pun aku belum pernah. Aku reguk cangkir cappucino, aku minum beberapa teguk. Cukup melegakan rasa sesak di dadaku.
Pikiranku menerawang, sambil memandang fotomu dari layar handphoneku aku masih memikirkan bagaimana dulu kita bertemu. Tiba-tiba kita menjadi teman, masih kuingat dimana kamu duduk di kafeku ini. Di kursi yang kini kosong di depanku ini. Matamu berbinar-binar ceria, senyum dan tawamu yang kau lepaskan di ruangan ini. Bicaramu yang riang dan tanpa henti seperti air mengalir. Aku hanya bisa mengagumi manisnya wajahmu Kinantie. Kamu cantik sekali.
Aku dongakkan kepalaku ke langit-langit. Mungkinkah suatu saat nanti engkau jadi milikku?
Sekali saja. Aku ingin melewati malamku bersamamu. Sekali saja, aku ingin memelukmu. Ingin mencium pipimu, ingin merangkulmu di tengah hujan deras seperti ini, dengan menggenggam cangkir cappucino di tangan mungilmu itu.
Aku ingin mengecup bibirmu.
Semakin frustasi aku acak-acak rambutku sendiri. Bayangan itu bahkan terlalu indah untuk terjadi dalam mimpiku sekalipun. Walau memang setiap malam, aku memimpikan kamu. Memimpikan binar indah matamu.
Aku tercenung lama, saat kudengar pintu kafeku terbuka. Aku sampai mengedipkan mata beberapa kali. Tak bisa percaya dengan pandanganku. Kinantie ada di depanku. Langkah cerianya bergegas menuju ke arahku, menarik kursi di depanku dan dia duduk di depanku. Rambut dan jumper abu abunya nampak sedikit basah terkena air hujan. Dia tersenyum menatapku sambil menyandarkan dagunya di tangan.
“I miss u”, katanya.
Aku tergeragap. Tak tahu harus berkata apa. Dan bagai sudah diatur secara alami, sama alamiahnya seperti tahapan-tahapan aku meracik cappucino buatanku yang sudah aku latih ratusan kali, tiba-tiba kedua bibir kami bertemu. Kami berciuman. Kinantie memejamkan kedua matanya.
Aku masih bingung dengan apa yang terjadi, Kinantie mengambil cangkir cappucinoku, dan meminumnya sedikit. Dia masih tersenyum dan membelai rambutku. Dadaku terasa sesak karena degup jantungku tak beraturan. Entah apa maksud semua ini.
Aku berdiri, dan memeluk Kinantie di kursinya, kurasakan tangan hangatnya menyentuh tanganku. Aku kecup pipinya dari belakang, dia tersenyum manja sekali. Wangi parfumnya membius pusat syarafku, aku memejamkan mata dan aku bisikkan, “Aku mencintaimu, Kinantie.”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H