dokpri
Â
Pengetahuan yang kita dapatkan bersumber dari langit dan bumi. Itu semua karunia. Anugerah tak terperi yang diberikan Allah kepada mahluk-Nya. Itu sebabnya, apa pun yang kita miliki semestinya dibagikan dengan ikhlas.
Bisa jadi yang kita bagikan, cuma secuil informasi. Bisa jadi yang dibagikan lewat saluran lisan. Bisa pula lewat tulisan. Â Tentu informasi yang dibagikan yang bernilai guna.
Bernilai guna, berarti bukan hoaks. Dengan informasi yang kita sampaikan, pendengar atau pembaca tambah tercerahkan wawasannya. Nalarnya semakin terasah.
Informasi yang disampaikan pun bisa berupa apa saja. Anda mampu menyampaikan berisi ilmu pengetahuan? Boleh, kok. Informasi yang disampaikan berupa puisi dan prosa? Juga tak keliru.
Dalam perkembangan terkini, ilmu pengetahuan disampaikan melalui riset atau penelitian dan disebarluaskan melalui media jurnal ilmiah. Akan tetapi, menyadari terbatasnya media ini, sebagian ilmuwan menyadari pentingnya menggandeng awak media massa daring (online).
Secara masif, melalui laman situs para akademisi disajikan sejumlah riset, temuan, dan peneitian, serta kajian dengan  gaya populer. Ada yang mengistilahkan melalui situsnya dengan moto "disiplin ilmu, gaya jurnalistik."
Ihwal kutip-mengutip, kopasus atau kopi paste ubah sedikit dari sumber ilmu pengetahuan sebagaimana disebutkan, sah-sah saja jika akan diambil sebagai penyebarluasan ilmu. Asalkan patuh dengan kesantunan keilmiahan.
Kesantunan yang dimaksud adalah jika mengutip ide atau karya orang lain, ya menyebutkan sumbernya. Dilarang mendaku, bahwa ide tersebut adalah karyanya. Sehingga tak ada satu pihak pun yang menuding bahwa artikel Anda bernilai plagiat.
"Tak ada yang baru di kolong langit" demikian seorang filsuf  menyatakan. Apabila dikaitkan dengan ayat-ayat suci, kita semakin cengo. Sebab, memang apa yang diaku ilmuwan adalah temuannya sebenarnya sudah tersedia oleh alam.
Alam sebagai sumber inspirasi memang tak habis digali. Kisah penemuan pondasi Cakar Ayam yang khas Indonesia. Menurut sebuah sumber, temuan ini terinspirasi saat Sedijatmo akan merancang sebuah konstruksi bangunan yang kokoh.
Ketika sedang berjalan-jalan menyusuri pantai, ia terpaku melihat pohon kelapa yang berada di sekitar pantai. Betapa kokohnya pohon tersebut walau diterjang angin dan badai yang dahsyat.
Padahal, pohonnya tidak harus dijaga dengan pinggiran semisal peluran. Akar-akarnya pun tumbuh secara alami. Â
Sebagaimana diketahui, pondasi "Cakar Ayam" merupakan sebuah metode pemikiran yang ditemukan oleh Prof. Dr. Ir. Sedijatmo pada tahun 1961. Beliau saat itu berkarier sebagai pejabat di Perusahaan Listrik Negara (PLN). Ketika itu, PLN harus mendirikan 7 menara listrik tegangan tinggi di daerah berawa-rawa sekitar Ancol, Jakarta.
Dua menara berhasil didirikan dengan pondasi konvensional. Namun, Â lima menara sisanya belum bisa dibangun. Semua menara tersebut nantinya akan menyalurkan listrik dari Tanjung Priok ke Gelanggang Olahraga Senayan,karena pada tahun 1962 diselenggarakan pesta olahraga Asian Games.
Pembaca yang Budiman. Apa yang ingin disampaikan melalui tulisan singkat ini? Apa yang Anda miliki, mari berbagi!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H