"Biarkan para Pengamen berkumpul di tempat saya dan sibuk menggalang dana serta membagikan hasil keringat ngamennya. Karena hanya itu yang bisa mereka lakukan.
Biarkan para orang pinter sibuk berdebat. Karena memang pintar berdebat sebagai bahan perjuangan olah pikirnya."
Itu pesan chatting Mas Endar, sahabat saya, Â pagi ini. Ketua komunitas "Gerabah Mas" non-partisan ini memang selalu punya kepedulian terhadap kaum papa.
Tiap Minggu, dengan organ tunggal dan bersama kelompok penyanyinya, Mas Endar menggelar dangdutan. Di Pantai Widuri Pemalang Jawa Tengah, Mas Endar bisa kita saksikan aksinya yang menghibur.
Hasil ngamennya selalu diniatkan untuk kemanusiaan. Â Tak percuma, melalui "Gerabah Mas" mulai dari sedekah sembako, membangun jamban sehat bagi warga yang memang tidak memilikinya hingga bedah rumah para janda-janda miskin dilakukannya.
Manfaat
Mas Endar memberikan teladan. Itu simpulan saya mengamati kiprahnya. Beliau adalah sosok nirpamrih. Niatannya selalu berhasrat manfaat bagi sesama.
Memang, manusia yang paling bermartabat adalah mereka yang dapat memberikan manfaat. Mereka bisa datang beragam profesi.
Pasukan laskar mandiri alias pemulung yang sejak malam hingga pagi bebersih sampah bermanfaat bagi lingkungan tempat tinggalnya. Pasukan kebersihan lain, yang giat menata taman-taman kota, menyapu sepanjang jalanan bermanfaat bagi keindahan dan kebersihan warga.
Tukang sayur yang bermoda gerobak, speda motor dan menggendong sambil keliling perumahan bermanfaat bagi kelangsungan hidup warga. Bahkan, penjual sarapan yang menempati area pasar pun memberikan nilai guna buat kita.
Kehidupan penuh dinamika. Setiap kita menyumbang peran di dalamnya. Semua saling mengisi-melengkapi.
Seorang kepala daerah, tanpa kehadiran tukang sayur bisa jadi bukan siapa-siapa dan tak mampu melakukan aktivitas apa pun. Ia akan kelaparan, manakala kebutuhan makannya terhalang tersebab tak ada tukang sayur yang berdagang di pasar.
Seorang mahasiswa, tak mungkin mampu meraih kesarjanaannya tanpa kontribusi tukang foto kopi. Contoh sederhananya, saat si mahasiswa akan presentasi dalam ujian skripsi, tentu memerlukan sejumlah foto kopian buat para dosen pembimbing. Â
Alangkah elok, jika kita sadar peran. Memberikan komentar atas segala peristiwa adalah hak warga+62. Akan tetapi, jika bukan ranah atau ahlinya tak perlu kita berceloteh.
Betapa di zaman digital ini, kita membaca warganet dengan mudah mengumpat, mencaci, menyumpahserapahi sebuah peristiwa yang mereka tidak tahu duduk perkaranya. Â Sosok yang sudah diopinikan publik "bersalah" dijadikan sebagai perundungan tak berujung.
Menjadi manusia bermanfaat, memerlukan keterbukaan diri untuk selalu belajar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H