Prolog: Cerita ini saya ambil kejadian di desaku di wilayah Cilacap sana. Latar belakang kejadian pertengahan 1980-an. Saat itu era kebangkitan informasi massa bernama Intercom juga belum lahir.
Kondisi di desaku saat itu masih sunyi malam hari. Ada saja cerita hantu bergentayangan. Pocong, kuntilanak, gendurwo, kemamang, dll. Di desaku juga ada beberapa penembahan, kuburan dan pinggir kali. Cerita mistis dan seram tak pernah sepi dengan penampakkan yang aneh-aneh.
Pasca ada warga meninggal dunia, keadaan dusun ikut mencekam. Penduduk tidak berani keluar rumah malam hari. Apalagi meninggal tidak wajar, selalu ada isu arwah almarhum keluyuran mengganggu. Tetapi cerita itu buatku kurang seru walau tetap seram.
Sebab aku punya cerita spesial yang dialami Kadimin saat ketemu pocong. Seramnya pocong gede tinggi itu sampai mau merangkulnya. Padahal melihat dari jauh saja kalau pocong tetap menakutkan. Lha ini jaraknya hanya sejengkal.
Cerita itu dimulai saat Kadimin keluar rumah jam 3 pagi untuk memetik pandan berduri bahan baku tikar. Produk kearifan lokal dusun Pejaten yang sudah turun-temurun menjadi perajin tikar.
Meski menempuh jarak belasan kilometer Kadimin jalan kaki. Ia ingin jam 6 pagi sampai ke lokasi tempat bertumbuh pandan. Sebelum-sebelumnya ia pergi ada teman, kalau tidak sama Parto ya Karya. Cuma keduanya sudah punya sepeda. Jadi  kemana-mana tak jalan kaki lagi. Termasuk untuk petik pandan. Berangkat tidak perlu dini hari cukup habis subuh waktunya pun masih longgar.
Kadimin juga sudah berkali-kali melakukan kegiatan itu. Hanya cara itu yang bisa dilakukan untuk dapat penghasilan. Pasca lahan pertanian selesai ditanami pad untuk menafkahi istri dan ketiga anaknya. Â
Baru berjalan dua kiloan meter menembus gelap malam. Situasi begitu sepi dan sesekali terdengar suara burung hantu. Malam pun makin menambah mistis. Lampu-lampu minyak pinggir jalan banyak yang padam kehabisan minyak tanah.
Kadimin cekatan susuri jalan yang kanan kirinya ditumbuhi pohon-pohon tinggi. Juga pohon-pohon pisang yang lebat. Perasaan ganjil sebenarnya sudah dirasakan, tetapi tak digagas pikiranya. Bau kembang orang meninggal cukup menyengat hidungnya sejak berangkat.
Batin dia lega setelah melewati perempatan jalan ke arah makam. Soalnya di situ juga sering nongol memedi jeroan. Yakni medi tanpa perut. Jadi jeroannya kelihatan. Kalau jalan "kelulur kaprok. Hal itu dikaitkan mitos terbunuhnya janda cantik Mijem saat jaman Belanda jadi rebutan beberapa lelaki. Di antara perebut si janda itu ada yang kalap dan membunuh hingga isi perutnya terburai. Tapi hantu aneh itu nggak muncul. Cuma Kadimin agak tersedak, arah di depannya juga akan lewati pertigaan angker dekat pohon besar penunggunya Gendurwo. Lagi-lagi plong tempat itu nihil hantu.
Hanya bau kembang makin santer rongrong hidungnya. Bahkan berkombinasi bau kemenyan. Tapi sebagai perokok yang suka melinting sendiri rokoknya dan pakai kemenyan. Jadi tak membuatnya risau. Bisa jadi kemenyan di sakunya yang bau. Saat mau pergi pun sempat melinting rokok dan mengihisap di perjalanan.
Makin dekat benda itu makin meninggi. Hingga pas badan Kadimin sejajar benda putih itu, tingginya pocong sudah melebihi posturnya yang sekitar 165 cm. Ia sadar sedang di "wedeni" istilah dusun Pejaten untuk sebutan orang diganggu hantu atau memedi. "Aduh biyung kiye ana medi pujungan tulungi yung (aduh ibu ini ada pocong tolong saya bu)," rontanya dalam hati.
Pocong itu makin tinggi. Sial mulutnya bagai dibekap kuat-kuat. Kakinya pun sulit digerakan. Jangankan lari sekedar jalan juga tak bisa. Kadar ketakutannya sudah melampaui batas. "Ya gusti Allah nyuwun pangapura, tulung dilungakna aja ganggu pujungan kiye ya Alloh (Ya Tuhan mohon ampun, tolong suruh pergi jangan ganggu pocong ini)," rontanya dengan mulut bagai terkunci.
"Culli....culllii...." suara si pocong. Â Â
Kadimin ingat mitos kalau sampai keludahan pocong, seluruh tubuh jadi bacin (bau sekali) sampai 40 hari. Sementara tubuh pocong sudah melengkung hampir menyentuh kepalanya. Karuan takutnya sangat over. Kadimin sepontan bisa berteriak sekuat tenaga. "Tuuuullluuuuuung, tuullluuunggg ana pujungan tuulluuung.... (tolong ada pocong tolong)," jeritnya keras sekali.
Suaranya yang bergetar dengan ketakutan dahsyat terdengar hingga ratusan meter. Beberapa penduduk sudah ada yang bangun dan terbangun kaget dengar teriakan keras di pagi buta. Mereka berlarian mendekati sumber lengkingan itu.
Karena masih satu desa Kadimin segera dikenali. Kadimin juga kenal siapa-siapa yang berempati itu. Ada Juman, Karto, Sawon dan Kirman, dll. "Lha rika kang Dimin?" sergah Juman heran.
"Iya Man, asem temenan koh kiye medi ganggu wong arep kasab," jawabnya dengan raut muka pucat dan suara masih gemetar. (Iya Man asem benar ini pocong menganggu orang mau cari nafkah).
Kadimin ceritakan semua kronologinya, bahwa pocong gede tinggi itu sudah mau merangkul badannya. Dari bermula setinggi batu kali hingga terus meninggi. "Aku ya kepengine mlayu sebanter-bantere mung angel Man. Sikil kaya dicekeli koh," ceritanya. (Aku ya ingin lari sekencang-kencangnya tapi gak bisa. Kaki seperti dipegangi kok).
"Iya pancen medi pujungan ciri khase molaih sekang cilik, bisa kaya kucing terus ngerti-ngerti wis duwur," timpal Karto. (Iya emang kalau pocong itu ciri khasnya muncul dari sangat kecil, misal seperti kucing tiba-tiba sudah tinggi).
Kadimin masih tampak gemetar. "Swaraku miki ora bisa metu mung mlebu metu nang gulu thok," Dimin masih tampak bingung. (Suaraku nggak bisa keluar ke mulut hanya naik turun di leher saja).
"Geh, tulih ngidohi soten nek kowe mau tali pujunge diuculi. Nek ora ya ora bakalan ngidohi. Jane nek wani rebut bae taline tulih bisa go jimat. Dadi nek tuku buntutan nembus, haha," Wirkantha menengahi. (Gini, dia mau meludahi juga kalau tali pocongnya dibuka, kalau tidak ya nggak meludahi. Malah kalau berani tali pocongnya direbut bisa buat jimat. Lumayan bisa tembus kalau beli buntutan nomor).
"Alah rika maning wedine pol ya ora mikir buntutan. Tapi pancen aku miki krungu poconge moni culi culi lho Kang." (Alah kakang ada-ada aja, takutnya saja sudah memuncak, ya nggak mikir nomor buntut segala. Tapi emang tadi aku dengar pocongnya bersuara culi culi).
"Iya kae agi jaluk tulung pujunge kon diuculi," timpal Wir. (Ya dia lagi minta tolong agar tali pocongnya dilepas).
Untuk menenangkan diri, Kadimin mau diajak mampir ke rumah Karto dan disuguhi teh hangat oleh Mbok Sapeni istrinya. Setelah hilang rasa takut dan waktu sudah terpotong banyak. Kadimin bergegas karena jarak tempuh masih jauh. Kadimin pun pamitan."Tapi urung kidohan kowe kan Min?" potong Juman penasaran. (Tapi kamu belum diludahi pocong kan Min?).
"Kayane tah urung Man, wong aku bisa jerit pujungane wis ilang," jawabnya. (Sepertinya belum, begitu aku menjerit pocongnya sudah hilang).
""Kirman, nek Dimin wis kidohan kita kabeh ora kuwat ambune, mesti wong jerene bacin lecit koh,"ulas Karto. (Kalau Dimin sudah keludahan pocong, kita semua sudah nggak tahan sama Kadimin yang jadi bau busuk sangat menyengat).
"Idihh serem amat ya, pantas pocong medi rangking satu yah di kene?" Kirman masih heran. Â
"Tenangna atimu disit Min, ngko tek jujugna aring gon kira-kira wis perek karo tujuanmu nang kana," Karto menawarkan kebaikan. (Sudah tenangin dulu bantinmu Min, ntar aku antar sampai kira-kira kamu tidak terlalu jauh tiba di sana).
"Suwun ya To jadi ngerepotin," ujar Kadimin lega.
"Ya tenang bae, kowe dina kiye kudu ulih kasil kanggo ngempani anak bojo (Kamu hari ini harus punya penghasilan buat nafkahi anak istri)," Karto masih menenangkan.
Benar adanya, setelah ketenangan jiwa pulih, Kadimin di bonceng Karto dengan sepedanya. Saat itu adzan subuh sudah berkumandang terdengar dari masjid di Maos dan sekitarnya. Tidak sampai setengah jam, Karto dan Kadimin sudah sampai Sampang. Dari Sampang Kadimin pun masih harus jalan lagi ke arah Kebasen hingga ke tujuan.***
Bekasi, 05/10/20
##Slamet Arsa Wijaya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H