Mohon tunggu...
Slamet Arsa Wijaya
Slamet Arsa Wijaya Mohon Tunggu... Guru - Tak neko-neko dan semangat. Sangat menyukai puisi dan karya sastra lainnya. Kegiatan lain membaca dan menulis, nonton wayang kulit, main gamelan dan menyukai tembang-tembang tradisi, khususnya tembang Jawa.

Sedang berlatih mengaplikasikan kebenaran yang benar, ingin lepas juga dari ketergantungan kamuflase dan kecantikan berlipstik yang mendominasi di lingkungan kita. Sisi lainnya, ingin jadi diri sendiri dan wajib mencintai tanah air sepenuh hati dan jiwa.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kadimin Hampir Pingsan Dipeluk Pocong Gang Makam

7 Oktober 2020   01:39 Diperbarui: 7 Oktober 2020   03:51 575
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Prolog: Cerita ini saya ambil kejadian di desaku di wilayah Cilacap sana. Latar belakang kejadian pertengahan 1980-an. Saat itu era kebangkitan informasi massa bernama Intercom juga belum lahir.

Kondisi di desaku saat itu masih sunyi malam hari. Ada saja cerita hantu bergentayangan. Pocong, kuntilanak, gendurwo, kemamang, dll. Di desaku juga ada beberapa penembahan, kuburan dan pinggir kali. Cerita mistis dan seram tak pernah sepi dengan penampakkan yang aneh-aneh.

Pasca ada warga meninggal dunia, keadaan dusun ikut mencekam. Penduduk tidak berani keluar rumah malam hari. Apalagi meninggal tidak wajar, selalu ada isu arwah almarhum keluyuran mengganggu. Tetapi cerita itu buatku kurang seru walau tetap seram.

Sebab aku punya cerita spesial yang dialami Kadimin saat ketemu pocong. Seramnya pocong gede tinggi itu sampai mau merangkulnya. Padahal melihat dari jauh saja kalau pocong tetap menakutkan. Lha ini jaraknya hanya sejengkal.

Cerita itu dimulai saat Kadimin keluar rumah jam 3 pagi untuk memetik pandan berduri bahan baku tikar. Produk kearifan lokal dusun Pejaten yang sudah turun-temurun menjadi perajin tikar.

Meski menempuh jarak belasan kilometer Kadimin jalan kaki. Ia ingin jam 6 pagi sampai ke lokasi tempat bertumbuh pandan. Sebelum-sebelumnya ia pergi ada teman, kalau tidak sama Parto ya Karya. Cuma keduanya sudah punya sepeda. Jadi  kemana-mana tak jalan kaki lagi. Termasuk untuk petik pandan. Berangkat tidak perlu dini hari cukup habis subuh waktunya pun masih longgar.

Kadimin juga sudah berkali-kali melakukan kegiatan itu. Hanya cara itu yang bisa dilakukan untuk dapat penghasilan. Pasca lahan pertanian selesai ditanami pad untuk menafkahi istri dan ketiga anaknya.  

Baru berjalan dua kiloan meter menembus gelap malam. Situasi begitu sepi dan sesekali terdengar suara burung hantu. Malam pun makin menambah mistis. Lampu-lampu minyak pinggir jalan banyak yang padam kehabisan minyak tanah.

Kadimin cekatan susuri jalan yang kanan kirinya ditumbuhi pohon-pohon tinggi. Juga pohon-pohon pisang yang lebat. Perasaan ganjil sebenarnya sudah dirasakan, tetapi tak digagas pikiranya. Bau kembang orang meninggal cukup menyengat hidungnya sejak berangkat.

Batin dia lega setelah melewati perempatan jalan ke arah makam. Soalnya di situ juga sering nongol memedi jeroan. Yakni medi tanpa perut. Jadi jeroannya kelihatan. Kalau jalan "kelulur kaprok. Hal itu dikaitkan mitos terbunuhnya janda cantik Mijem saat jaman Belanda jadi rebutan beberapa lelaki. Di antara perebut si janda itu ada yang kalap dan membunuh hingga isi perutnya terburai. Tapi hantu aneh itu nggak muncul. Cuma Kadimin agak tersedak, arah di depannya juga akan lewati pertigaan angker dekat pohon besar penunggunya Gendurwo. Lagi-lagi plong tempat itu nihil hantu.

Hanya bau kembang makin santer rongrong hidungnya. Bahkan berkombinasi bau kemenyan. Tapi sebagai perokok yang suka melinting sendiri rokoknya dan pakai kemenyan. Jadi tak membuatnya risau. Bisa jadi kemenyan di sakunya yang bau. Saat mau pergi pun sempat melinting rokok dan mengihisap di perjalanan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun