Mohon tunggu...
Slamet Bowo Sbs
Slamet Bowo Sbs Mohon Tunggu... Jurnalis - Sarana Berbagi

Bukan siapa-siapa namun bertekad memberikan yang terbaik untuk sesama, pernah 7 tahun menjadi "pekerja" media . Saya bisa dihubungi di wa/call 085245208831, email : slametbowo83@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Politik Hapus Kesantunan Kita

31 Januari 2019   11:33 Diperbarui: 31 Januari 2019   11:33 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Akhir-akhir ini, kita bangsa Indonesia seperti kehilangan budaya sopan santun yang dulu kita banggakan ketika disejajarkan dengan bangsa lain. Proses politik nasional akhir-akhir ini membuat kita seperti mengesampingkan warisan leluhur yang terus ditanamkan secara turun menurun. Baik di dunia nyata terlebih di dunia maya, kesantunan seperti tak lagi menjadi pedoman hidup sehari-hari.

Kita masih ingat betul, dulu sebelum hingga era 90-an, kita sering merasa tidak enak hati ketika ditegur orang tua kita atau orang yang lebih dewasa tentang suatu hal. Teguran itu pun terus kita ingat dalam benak kita sehingga tidak kita ulangi lagi nantinya. Kini semuanya seperti pudar begitu saja, derasnya arus informasi teknologi seperti mengubah kebiasaan baik bangsa ini.

Hari-hari terakhir, kita sering melihat anak-anak sekolah memukuli gurunya, dokter bercanda padahal ia sedang menjalankan operasi pasiennya, karyawan mendebat pimpinannya, jamaah mendebat bahkan mengolok-olok tokoh agamanya dan seterusnya. Semua tidak yang tidak lazim pada waktu dahulu kini menjadi kelaziman. 

Jika ini terus terjadi, bisa dibayangkan yang akan terjadi 10 hingga 20 tahun yang akan datang, di mana saat itu yang akan menguasai arus teknologi informasi adalah generasi yang hari ini baru lahir dan biasa disebut generasi milenial.

Pokok bahasan di atas, adalah bahan diskusi panjang tentang "Sosialisasi Politik Santun" yang diadakan oleh Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Sintang melalui Komisariat UMPKS yang dihelat di Gedung Cadika, Sintang, Kalimantan Barat, 26 Januari 2019, akhir pekan lalu. 

Kegaduhan politik khususnya politik nasional menjadi kambing hitam atas apa yang terjadi. Media menjadi bahan bakar hilangnya kesantunan tersebut. Kegiatan ini dihadiri unsur KPU Kabupaten Sintang, Bawaslu dan Kantor Kesbangpolinmas Sintang.

Bagaimana tidak, hampir setiap malam kita disajikan perdebatan yang penting bagi orang tertentu saja dan disajikan secara langsung alias live. Uniknya, mereka yang berdebat pun tak pernah melahirkan gagasan yang riil dan disepakati bersama. Kondisi ini tentu berbanding terbalik dengan kelimuan yang ditekuni mahasiswa di perguruan tinggi, mereka selalu memegang prinsip keilmuan sebagai solusi atas permasalahan yang terjadi di masyarakat.

"Kami seperti disuguhi perdebatan tanpa solusi oleh para petinggi di negeri ini, padahal tujuannya sama yakni kepentingan politik elit dan golongan tertentu saja. Padahal yang kami pelajari sehari-hari adalah menemukan masalah, menemukan solusinya dan menjalankannya, bukan terus memperdebatkan. Untuk itulah kami berorganisasi dan belajar menjadi pemimpin," ujar seorang peserta, Doniman.

Doniman mencontohkan, akhir-akhir ini banyak terjadi termasuk di Kabupate Sintang aparat pemerintah yang masuk dalam politik praktis dengan ikut-ikutan kampanye untuk Calon tertentu. Anehnya, belum ada teguran keras sehingga terkesan pemerintah melakukan pembiaran. Padahal netralitas ASN menjadi harga mati.

"Hukum menjadi tajam ke bawah jika itu masayarakat biasa penyebar hoaks misalnya namun tumpul ke atas untuk aparat negara yang terlibat kampanye. Padahal harusnya hukum tidak pandang bulu dan melakukan tindakan tegas kepada semua yang melanggar hukum," ujarnya.

Pembiaran oleh pemerintah, hanya akan menjadi preseden buruk bagi penegakan aturan di negeri ini. Satu kasus tak ditangani dengan segera, maka akan muncul banyak kasus serupa. Terlepas siapa yang melakukan kesalahan dan ke mana arah dukungan diberikan, aturan tetap aturan dan harus dipegang dengan keras.

Rance, mahasiswi UMPKS meminta ketegasan pemerintah ketika melakukan pengawasan aparatnya. Kerjasama lintas instansi terkait diperlukan agar tak ada celah melakukan kesalahan. Karena jika tanpa solusi, akan semakin banyak yang melakukan kesalahan sejenis yang berimbas akan semakin sulit melakukan tindakan.

"Dari beberapa kali diskusi sejenis, mereka tidak memberikan gambaran solusi apalagi melakukan tindakan nyata. Semua hanya berhenti pada permainan kata-kata. Bagaimana kami yang masih mahasiswa bisa belajar menjadi aparat yang baik, jika hari ini yang diberi amanah justru melanggar sendiri aturan yang ada," katanya.

Sementara perwakilan Kesbangpolinmas Kabupaten Sintang, Leni, membenarkan runtuhnya nilai-nilai kesantunan masyarakat hari ini. Di dunia maya seperti facebook, twitter, intagram dan lainnya, orang dengan sangat mudah membully orang lain baik itu pejabat negara, tokoh agama dan tokoh panutan lain yang seharusnya tidak dilakukan.

Kondisi ini, perlu diperbaiki segera karena menyangkut tatanan kehidupan masyarakat yang berkelanjutan. Momen suksesi kepemimpinan baik daerah maupun nasional tidak boleh mencabik-cabik kebersamaan sesama anak bangsa. Suksesi kepemimpinan justru seharusnya menjadi titik terang arah kemajuan bangsa. Ia tak boleh mencerai-beraikan anggota keluarga, ia tak boleh membubarkan persatuan umat.

Komisioner Bawaslu Sintang, Romadon, menganggap mahasiswa adalah kaum intelektual yang seharusnya bisa menjadi pioner gerakan politik santun di masyarakat. Mahasiswa tidak seharunya ikut-ikutan menjadi penyebab semakin tergerusnya nilai-nilai kesantunan tersebut. Ini karena mahasiswa adalah intelektual terdidik.

"Laporkan jika ada ASN tidak netral misalnya, karena dari mahasiswa lah masyarakat berharap banyak. Dari 10 orang mahasiswa saja, bisa memberikan banyak hal kepada masyarakat. Jika mahasiswanya diam, maka tatanan masyarakat yang akan terganggu," ujarnya.

Dari diskusi hangat di atas, akhirnya kita harus menyadari sepenuhnya bahwa apapun yang hari ini kita lakonkan. Sedang ada anak-anak kita yang menonton apa yang terjadi. Mereka adalah generasi yang 20 hingga 30 tahun akan datang memegang tonggak kendali kepemimpinan. Jika dulu kita diajarkan kesantunan secara ketat oleh bapak ibu kita dan hasilnya seperti sekarang, maka terbayang pula 30 tahun yang akan terjadi jika kita mengajarkan dengan cara yang keliru.

Mari menjadi teladan kesantunan bagi diri kita sendiri dan keluarga, mari benahi pemahaman sejak dini agar kelak kita melihat anak-anak kita menjadi pemimpin yang terbaik di masanya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun