Akhir-akhir ini, kita bangsa Indonesia seperti kehilangan budaya sopan santun yang dulu kita banggakan ketika disejajarkan dengan bangsa lain. Proses politik nasional akhir-akhir ini membuat kita seperti mengesampingkan warisan leluhur yang terus ditanamkan secara turun menurun. Baik di dunia nyata terlebih di dunia maya, kesantunan seperti tak lagi menjadi pedoman hidup sehari-hari.
Kita masih ingat betul, dulu sebelum hingga era 90-an, kita sering merasa tidak enak hati ketika ditegur orang tua kita atau orang yang lebih dewasa tentang suatu hal. Teguran itu pun terus kita ingat dalam benak kita sehingga tidak kita ulangi lagi nantinya. Kini semuanya seperti pudar begitu saja, derasnya arus informasi teknologi seperti mengubah kebiasaan baik bangsa ini.
Hari-hari terakhir, kita sering melihat anak-anak sekolah memukuli gurunya, dokter bercanda padahal ia sedang menjalankan operasi pasiennya, karyawan mendebat pimpinannya, jamaah mendebat bahkan mengolok-olok tokoh agamanya dan seterusnya. Semua tidak yang tidak lazim pada waktu dahulu kini menjadi kelaziman.Â
Jika ini terus terjadi, bisa dibayangkan yang akan terjadi 10 hingga 20 tahun yang akan datang, di mana saat itu yang akan menguasai arus teknologi informasi adalah generasi yang hari ini baru lahir dan biasa disebut generasi milenial.
Pokok bahasan di atas, adalah bahan diskusi panjang tentang "Sosialisasi Politik Santun" yang diadakan oleh Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Sintang melalui Komisariat UMPKS yang dihelat di Gedung Cadika, Sintang, Kalimantan Barat, 26 Januari 2019, akhir pekan lalu.Â
Kegaduhan politik khususnya politik nasional menjadi kambing hitam atas apa yang terjadi. Media menjadi bahan bakar hilangnya kesantunan tersebut. Kegiatan ini dihadiri unsur KPU Kabupaten Sintang, Bawaslu dan Kantor Kesbangpolinmas Sintang.
Bagaimana tidak, hampir setiap malam kita disajikan perdebatan yang penting bagi orang tertentu saja dan disajikan secara langsung alias live. Uniknya, mereka yang berdebat pun tak pernah melahirkan gagasan yang riil dan disepakati bersama. Kondisi ini tentu berbanding terbalik dengan kelimuan yang ditekuni mahasiswa di perguruan tinggi, mereka selalu memegang prinsip keilmuan sebagai solusi atas permasalahan yang terjadi di masyarakat.
"Kami seperti disuguhi perdebatan tanpa solusi oleh para petinggi di negeri ini, padahal tujuannya sama yakni kepentingan politik elit dan golongan tertentu saja. Padahal yang kami pelajari sehari-hari adalah menemukan masalah, menemukan solusinya dan menjalankannya, bukan terus memperdebatkan. Untuk itulah kami berorganisasi dan belajar menjadi pemimpin," ujar seorang peserta, Doniman.
Doniman mencontohkan, akhir-akhir ini banyak terjadi termasuk di Kabupate Sintang aparat pemerintah yang masuk dalam politik praktis dengan ikut-ikutan kampanye untuk Calon tertentu. Anehnya, belum ada teguran keras sehingga terkesan pemerintah melakukan pembiaran. Padahal netralitas ASN menjadi harga mati.
"Hukum menjadi tajam ke bawah jika itu masayarakat biasa penyebar hoaks misalnya namun tumpul ke atas untuk aparat negara yang terlibat kampanye. Padahal harusnya hukum tidak pandang bulu dan melakukan tindakan tegas kepada semua yang melanggar hukum," ujarnya.
Pembiaran oleh pemerintah, hanya akan menjadi preseden buruk bagi penegakan aturan di negeri ini. Satu kasus tak ditangani dengan segera, maka akan muncul banyak kasus serupa. Terlepas siapa yang melakukan kesalahan dan ke mana arah dukungan diberikan, aturan tetap aturan dan harus dipegang dengan keras.