Mohon tunggu...
Hukum Pilihan

Mengupas Secercah Harapan untuk Keadilan Hukum yang Lebih Optimal

13 November 2018   08:40 Diperbarui: 13 November 2018   09:28 555
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Perlindungan hukum terhadap saksi dan korban perlu mendapat perhatian serius dari aparat penegak hukum. Hal ini dikarenakan dalam sebuah kasus kekerasan, saksi dan korban adalah pihak-pihak yang paling rentan dan paling membutuhkan perlindungan.

Menjadi saksi memang menjadi beban sendiri bagi seseorang, selain memang dikenal ribet dan membuang banyak waktu, mereka juga ogah terlibat dengan proses hukum. Sikap ini pun dinilai sudah menjadi budaya dalam kehidupan hukum di Indonesia.

Keengganan masyarakat untuk menjadi saksi atas peristiwa kejahatan yang diketahuinya lantaran takut dijadikan tersangka. Selain itu mereka juga enggan mengikuti proses hukum yang berbelat-belit.

Kita menyadari bahwa tak sedikit keadaan dimana saksi dan korban ditindas dan diancam untuk mengakui perbuatan yang tidak diperbuatnya. Contohnya saja pada tahun 2012 lalu seorang buruh pabrik Krisbayudi dijebloskan dalam tahanan Polda Metro Jaya karena tuduhan terlibat kasus pembunuhan. Ia dianiaya dan disiksa untuk mau mengakui dan menceritakan scenario cerita pembunuhan, yang bukan dia pelakunya.

Tidak hanya itu Kris juga disiksa dalam tahanan. Tapi, pada akhirnya, Pengadilan Negeri Jakarta Utara (PN Jakut) membebaskan Krisbayudi pada awal 2012. Sebab pembunuh sebenarnya adalah teman Krisbayudi, Rahmat Awafi.

Dari kasus tersebut pasti timbul pertanyaan, Kenapa tidak melapor kepada Lembaga Perlindungan? Ini dikarenakan ketidak tahuan seseorang mengenai lembaga perlindungan yang ada di Indonesia. Mereka juga kadang bingung, bagaimana prosedur pengaduan ke lembaga perlindungan tersebut. Sehingga membuat mereka enggan untuk melakukan pelaporan kepada lembaga perlindungan.

Namun, setelah LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) dibentuk pada bebarapa tahun lalu, muncul secercah harapan bagi seorang saksi dan korban untuk mendapatkan keadilan dan juga rasa nyaman dan aman, dalam menyampaiakn pendapat serta hal yang sebenarnya mereka lihat dan alami.

Di sinilah pentingnya LPSK, lembaga ini punya tanggung jawab untuk memberikan perlindungan dan bantuan kepada para saksi dan korban berdasarkan tugas dan kewenangannya yang diatur dalam Pasal 12 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014.

Sejak berdirinya LPSK beberapa tahun lalu, banyak perkembangan dan pemantapan yang dilakukan untuk menjamin para saksi dan juga korban agar mendapat pelayanan yang baik serta nyaman. Sehingga perlindungan yang didapat oleh saksi dan korban pun lebih luas. Sebelumnya subjek yang dilindungi oleh LPSK hanyalah saksi dan juga korban.

Setelah dilakukan revisi Undang-undang nomor 31 perlindungan menjadi lebih luas mulai dari pelapor, justice collaborator, dan juga ahli dilindungi oleh LPSK. Selain subjek perlindungannya, revisi UU tersebut juga memperluas jenis tindak pidana yang dilindungi LPSK. Sebelumnya, jenis tindak pidana yang dilindungi LPSK hanya sebatas korupsi, pelanggaran HAM berat, terorisme, narkotika psikotropika.

Namun kini, dalam undang-udang yang baru, perlindungan yang dilakukan LPSK juga diberikan kepada korban kekerasan seksual khususnya terhadap anak , dan kasus kerusakan lingkungan hidup seperti kebakaran hutan dan penambangan di Lumajang.

Dengan meluasnya cakupan perlindungan dan juga tindak pidana yang dilakukan memang sudah dapat meringankan beberapa beban masyarakat. Dengan begitu masyarakat tidak enggan lagi untuk meminta perlindungan kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban.

Meluasnya cakupan perlindungan dan juga tindak pidana bagi saksi dan korban, tidak selaras dengan jumlah dan cakupan daerah yang dapat dijangkau oleh LPSK sendiri. Padahal peluasan jangkauan daerah dapat meningkatkan pelayanan kepada masyarakat khususnya di wilayah daerah. Sejak dibentuk pada tahun 2008 hingga kini, LPSK baru berkantor di Jakarta saja. Hal ini akan menyulitkan permohonan perlindungan dari masyarakat yang ada diluar Jakarta.

Walaupun sudah ada ancang-ancang dibentuknya perwakiln di daerah, namun belum direalisasikan dengan merata. Hal ini dikarenakan jumlah dana yang diterima LPSK masih belum sepadan dengan pelayanan yang akan diberikan ke masyarakat.

Menurut Ketua Lembaga perlindungan Saksi dan Korban, anggaran yang diberikan untuk LPSK dirasa masih kurang untuk memenuhi program dan pelayanan kepada saksi dan korban. Dia menyebutkan anggaran yang diterima LPSK sekitar Rp 140 miliar. Jumlah itu sudah termasuk dana sebesar Rp 80 miliar untuk pembangunan gedung. Sisanya, baru digunakan untuk kebutuhan operasional.

Bayangkan jika anggaran kurang, maka layanan yang diberikan bagi permohon tidak dapat diberikan secara maksimal. Anggaran biasanya dimanfaatkan untuk pelayanan medis, psikologis, dan pendampingan. Ini juga berdampak pada pembangunan LPSK di daerah yang pengadaan kantornya sendiri belum dapat dilaksanakan.

Pihak LPSK menyatakan tidak akan membangun kantor baru karena akan membutuhkan anggaran yang besar, dan saat ini pemerintah masih menerapkan moratorium pembangunan bangunan baru.

Untuk kebutuhan anggaran, dijelaskan, satu kantor perwakilan daerah membutuhkan anggaran antara Rp 2 miliar -- Rp 3 miliar pertahunnya. Hingga jika 10 kantor perwakilan daerah disetujui maka membutuhkan anggaran operasional antara Rp 20-Rp30 miliar setahunnya.

Oleh karena itu, LPSK harus bekerjasama dengan institusi hukum yang ada didaerah, agar LPSK dapat melakukan tugasnya dengan optimal. Dengan diadakannya kerjasama dengan institusi hukum di daerah akan meminimalisir dana yang perlu dikeluarkan LPSK untuk menangani permohonan yang ada di daerah.

Selain itu, kerjasama antara intitusi hukum akan mempermudah perkerjaan para penegak hukum yang ada di Indonesia. Memang sudah ada upaya yang dilakukan LPSK untuk menjalin komunikasi dengan berbagai institusi seperti, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), PPATK, Mahkamah Agung, dan Kejaksaan Agung yang cukup berjalan mulus. Pihak LPSK sendiri akan melakukan MoU lebih banyak dengan para Institusi untuk mengoptimalkan pelayanan kepada masyarakat.

Dengan berkerjasamanya para institusi hukum maka akan menggaungkan dan memperkenalkan lebih luas lagi mengenai keberadaan LPSK sendiri. Sehingga kepercayaan masyarakat terhadap LPSK bisa terbangun lebih kuat. Apalagi dengan adanya masa peralihan jabatan di tahun ini. Para masyarakat pasti mengharapkan pemimpin yang mengutamakan anggotanya, bukan hanya sekedar mengutamakan kepentingan pribadinya.

Harapan besar akan dijatuhkan kepada Ketua LPSK yang baru. Semoga dengan adanya peralihan jabatan ini, kinerja LPSK dapat di tingkatkan lagi. Serta PR-PR yang belum rampung dapat di kerjakan dan diselesaikan dengan cepat. Sehingga LPSKmelayani dengan optimal.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun