Karena dia tidak bahagia.
Dia tidak bahagia.
Karena saya bahagia.
Saya semakin menjadi orang jahat, bisa disebut penjahat.
Saya jahat karena dia jahat. Saya jahat karena meniru dia yang menurut saya penjahat. Saya pun semakin jahat ketika dia mengatai saya jahat.
Sebagai penjahat, saya tidur dengan siapa saja yang saya suka. Membuat kelelakiaannya terluka. Untuk menggenapi kepenjahatan saya, saya mengangkang di depan laki-laki mana saja. Membuat dia semakin bermuram durja. Saya mengerang, dia meregang. Saya merintih, dia meretih. Saya semakin liar, dia semakin gusar.
Saya tidak lagi menjadi orang baik.
Setelah saya berubah jadi jahat, dia malah berniat menjadi orang baik. Gantian, saya perlakukan dia sebagai gundik. Setiap pagi, saya beri dia sarapan berupa segelas geleguk amarah paling pelik. Dia menerima tanpa banyak komentar lagi, karena kini dia jadi orang baik.
Sebagai orang yang tidak lagi baik, saya menyebut dia sebagai suami tak tahu diri di depan semua orang. Saya mencerca dia di hadapan semua orang. Saya mencaci maki dia di gedung pengadilan, di depan orang tuanya, di depan saudara-saudaranya, di depan teman-temannya. Saya tahu dia terluka, tapi dulu juga saya pernah memamah luka yang sama.
Saya semakin menikmati menjadi penjahat, orang yang jahat.
Sekarang, setelah saya berubah menjadi penjahat, dia berhenti menjahati saya. Giliran saya yang menjahati dia. Giliran dia yang berdoa kepada Tuhan untuk kematian saya. Atas penderitaan dia. Atas kejahatan saya.