Saya belum menjadi orang jahat.
Karena saya tetap menyebutnya sebagai lelaki dan suami hebat di depan semua orang. Sebab saya tetap mencium tangannya di depan semua orang. Saya tetap menggenggam tangannya ketika berjalan di depan semua orang. Saya tetap memujinya di depan semua orang.
Tapi saya ingin jadi orang jahat.
Saya tidak ingin lagi diam ketika dia memaksa saya mengangkang dan mengerang di pingggiran ranjang. Saya tidak ingin lagi diam ketika dia memaksa saya menari berahi sampai tiba waktu pagi. Saya tidak ingin lagi diam ketika dia memaksa saya merintih meski selangkangan saya letih dan perih.
Dan saya pun jadi orang jahat.
Saya balas melemparkan piring-piring dan gelas-gelas itu. Ke mukanya, ke dadanya, ke kepalanya, ke mulutnya. Saya balas menghunus pisau, yang lebih tajam, lebih kejam. Saya balas menyiraminya dengan serapah yang lebih sampah. Saya tidak lagi menangis, malah membuat dia menangis.
Sekarang saya jadi orang jahat.
Saya segera menolak mengangkang, mengerang, merintih dan menimbun perih. Saya menolak menari sampai pagi. Saya menolak diperbudak berahi. Saya menolak disentuh dan menyentuhnya lagi. Karena saya sudah jadi orang jahat yang tak punya hati. Karena hati saya sudah mati.
Sekarang saya bahagia.
Meski kebahagiaan saya tidak terasa penting dibandingkan merampas kebahagiaannya. Saya bahagia jika dia tidak merasa bahagia.
Saya masih bahagia.