Aku menoleh. Kesal. “Tidak, tidak ada. Bisa tinggalkan kami sekarang? Saya sedang membicarakan masalah penting dengan kekasih saya.”
Kening si pelayan berkerut. Mulutnya mengerucut. Ia berlalu tanpa berkata apa-apa, pasti hatinya kecut.
Kuteguk segelas air putih beroksigen, tandas satu gelas. “Kamu memang jahat, Malka. Kamu pergi tanpa pamit, tanpa satu pun kata perpisahan, dengan cara paling konyol pula.”
Dia memandangi steak di depannya, tak mengeluarkan suara sama sekali seakan-akan yang aku katakan adalah angin malam yang menusuk-nusuk di luar.
“Kamu tahu? Setelah kepergian kamu, aku harus menanggung malu sendirian. Perutku kian mengembung seperti orang sakit lambung. Aku berhenti kuliah, aku diusir dari rumah. Aku mencarimu kemana-mana karena anak kita butuh seorang ayah dan aku membutuhkanmu. Tapi kemana kamu? Di mana kamu?”
Matanya berkaca-kaca, tapi mulutnya tak bersuara.
“Kamu tidak peduli, bukan? Buktinya kamu tidak kembali. Aku menunggu kamu sampai capek. Waktu aku keguguran karena kecelakaan, waktu aku mengangkang dan berteriak di depan dokter kandungan dengan rasa sakit tak tertahankan, waktu aku ditikam luka akibat kehilangan, waktu aku tidak memiliki siapa-siapa sebagai pegangan. Di mana kamu? Aku tanya sekali lagi, di mana kamu?” tanganku menggebrak meja.
Beberapa orang menoleh, mencibir, aku tak peduli. Pelayan berseragam batik tadi kembali datang. “Ada yang bisa saya bantu, Mbak?” tanyanya takut-takut.
“Kamu tidak lihat saya sedang berbicara dengan kekasih saya? Tolong jangan ganggu,” hardikku.
Si pelayan memandang kursi di depanku. Ia mengangkat bahu, kemudian berlalu.
Aku mendengus. “Kamu bodoh, Malka. Benar-benar laki-laki bodoh! “