Air mata di pipinya menggenang.
Kuletakkan garpu dan pisau karena tiba-tiba merasa sangat kenyang. “Sudah kubilang kan, jangan suka sok pahlawan deh. Coba kalau kamu ada, aku tak harus keguguran, aku tak harus menanggung malu karena hamil di luar nikah, aku tak harus berada di sini dan ngomong sama kamu dengan cara seperti ini,” kini aku ingin menangis, ada banyak beban yang ingin aku tumpahkan.
Dia menunduk. Tak berani menatap mataku yang berlinang amarah.
“Aku mencintaimu…. Aku ingin kamu tahu itu. Tapi aku tidak pernah habis pikir. Ternyata bagi kamu, cintaku saja tidak lah penting. Kamu merasa berkumpul dengan teman-temanmu yang brengsek itu adalah suatu panggilan jiwa, solidaritas. Solidaritas keparat! Teman-teman kamu juga keparat!” aku menggertakkan gigi.
Matanya menyapu pintu, seperti mencari sesuatu.
“Sudahlah… ini malam ulang tahunmu, kan? Maafkan aku, sebetulnya aku tidak ingin merusak suasana,” aku bersandar di kursi, menangkupkan tangan di dada.
Matanya kembali jelalatan ke arah pintu.
“Kamu harus pergi sekarang?” tanyaku pelan, mulai ketakutan.
Ia mengangguk. Mulutnya mengatup.
Kuulurkan tangan ke seberang meja, ingin meraih tangannya. Aku menyentuh udara. “Dengar…” suaraku melembut. “Aku sudah merelakan kamu pergi, hanya caranya yang kusesali. Bagaiman bisa kamu begitu bodoh. Bergabung dengan geng motor, terlibat perkelahian hanya karena hal konyol, dan mayatmu dibuang begitu saja ke dalam selokan kotor.”
Pipinya kembali berlinang air mata. Ia bangkit, tapi tak mengucapkan kata-kata untuk pamit.