Pertumbuhan Jawa sebagai lahan dan ladang pertanian yang subur tidak terlepas dari peran Sri Sultan Hamengkubuwono I (1755 - 1792) 2 dan putranya, Raden Mas Sundoro yang kelak menjadi Sri Sultan Hamengkubuwono II (1792 - 1828).Â
Dua sultan pertama rupanya merupakan pelopor dalam mendorong rakyatnya untuk membuka lahan baru di Yogyakarta. Tarik-menarik antara geografis wilayah dan sistem mata pencaharian hidup masyarakat Yogyakarta menghadirkan analogi kritis tentang menu-menu jamuan yang disuguhkan bagi para bangsawan kerajaan hingga masyarakat pribumi tidak terlepas dari hasil bumi maupun unggas.Â
Salah satu warisan keberagaman kuliner Indonesia yaitu Kersanan Ndalem yang memiliki banyak perjalanan sejarah, pertukaran budaya hingga semangat nasionalisme melawan penjajahan yang dibalut dengan cara yang elegan dalam sebuah pesta perjamuan makanan (Murdijati, 2010).Â
Kersanan Ndalem dalam bahasa Jawa memiliki arti sangat disukai dan istilah ndalem selalu terkait dengan yang sangat dihormati khususnya dikalangan masyarakat Jawa, yaitu sang Sultan. Jadi tentunya Kersanan Ndalem berarti yang sangat disukai oleh Sultan, karena menjadi istimewa apabila dikaitkan dengan kelezatan dan kenikmatan.Â
Seorang Sultan pasti diperlakukan istimewa oleh seluruh rakyat khususnya masyarakat bangsawan yang notabene adalah kerabat sang Sultan dan juga seluruh abdi dalem yang sepenuh jiwa mengabdi bekerja untuk sang Sultan.Â
Kersanan Ndalem secara sejarah pertama kali berkembang saat zaman kerajaan itu muncul, yakni mulai dari Mataram Islam sampai dengan penerusnya sekarang, yakni Keraton Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Namun sayangnya literasi soal Kersanan Ndalem baru mulai ditulis sejak masa pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono VII - Sri Sultan Hamengkubuwono IX.Â
Sehingga menu makanan kegemaran Sultan mulai dari Sri Sultan Hamengkubuwono VI ke belakang seterusnya tidak diketahui secara pasti.Â
Dalam hal dhahar dalem (santapan bagi raja) ini, ada dapur khusus di Keraton Yogyakarta disebut Pawong Ageng. Pawon Ageng ini 3 dikepalai oleh seorang ahli masak dibantu beberapa orang staf, yang secara keseluruhan tim masak ini disebut Boja. Setelah dimasak dan siap dihidangkan, maka kelompok petugas lain yang mengerjakan yaitu abdi dalem Keparakan.Â
Abdi dalem ini mengusung Jodhang berisi hidangan santapan para Sultan. Minuman yang akan dipersembahkan pada Sultan dibuat dan dihidangkan oleh abdi dalem Patehan. Demikian setiap hari, prosesi ini masih berlangsung di dalam Keraton Yogyakarta hingga saat ini.Â
Keraton diyakini sebagai role-model kebudayaan yang penuh estetika yang berbeda dari lingkungan masyarakat biasa. Kebudayaan keraton mencakup segala aspek kehidupan seperti salah satunya makanan. Kebudayaan keraton diyakini sebagai kebudaayan luhur karena mengandung filosofi - filosofi keyakinan hidup orang Jawa.Â
Dalam perkembangannya, berbagai bentuk kebudayaan tak lepas dari pengaruh kebudayaan yang berasal dari luar keraton. Kebudayaan yang masuk ke lingkungan keraton datang bersamaan dengan kehadiran masyarakat pendukungnya, pencampuran budaya merupakan salah satu hal yang sulit dihindari.Â
Kehadiran orang - orang Eropa maupun Tionghoa di pulau Jawa berpengaruh pada masuknya gaya hidup baru ke lingkungan keraton. Pada masa pemerintahan HB VIII, jamuan agung keraton untuk tamu-tamu kehormatan dari Belanda sering diselenggarakan.Â
Beragam pertunjukan seni seperti wayang wong, tari, penyajian minuman alkohol, dan beragam jamuan makanan mewah diperuntukkan bagi tamu-tamu Eropa sebagai bentuk penghormatan dan persahabatan.
 Sumber:
Afkar, M. (2021). Selidik Rijsttafel, Sajian Bersantap Kelas Atas di Hindia Belanda. Diakses dari https://nationalgeographic.grid.id/read/132838387/selidik-rijsttafel-sajianbersantap-kelas-atas-di-hindia-belanda?page=all
Amalya, Ayu. (2020). Diplomasi Kebudayaan antara Keraton Yogyakarta dan Pemerintah Kolonial Belanda pada Masa Pemerintahan Sultan Hamengku Buwana. Diakses dari https://ejournal3.undip.ac.id/index.php/historiografi/article/view/29768/24 959Â
Gardjito, Murdijati. (2017). Kuliner Yogyakarta Pantas Dikenang Sepanjang Masa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.Â
Herdahita, Risa. (2020). Makanan Kesukaan Sultan Yogyakarta. Diakses dari https://historia.id/kultur/articles/makanan-kesukaan-sultan-yogyakartaDOZQe/page/2Â
Karina, M. (2016). Pengertian Modifikasi Resep. Diakses dari http://eprints.poltekkesjogja.ac.id/1339/4/4.%20Chapter%202.doc.pdfÂ
Komariah, Kokom. (2019). Buku Saku Fusion Food. Yogyakarta: Pendidikan Teknik Boga Universitas Negeri Yogyakarta Kraton Jogja. (2019). Ladosan Dhahar Dalem. Author. Diakses dari https://www.kratonjogja.id/kagungan-dalem/28/ladosan-dhahar-dalemÂ
Priyatmoko, Heri. (2016). Tionghoa, Solo dan Timlo. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma Sarioglan, M. (2014). Pengertian Fusion Food. Diakses dari https://www.amesbostonhotel.com/pengertian-fusion-food/Â
Universitas Atma Jaya. (2019) Kersanan Ndalem Sebagai Keberagaman Kuliner Indonesia. Yogyakarta: Author. Diakses dari http://newslab.uajy.ac.id/2019/12/10/kersanan-ndalem-sebagaikeberagaman- kulinerindonesia/#:~:text=Kersanan%20Ndalem%20selalu%20berawal%20dari,S ultan%2 0secara%20disiplin%20sedari%20kecil. VIII, 1921-1939.Â
Wijarnako, Fajar (2021). Pistha Ageng: Perubahan Pola Jamuan Bangsawan Yogyakarta Tahun 1855 - 1939. 41 - 57. Diakses dari https://jurnalmuseum.kemdikbud.go.id/index.php/p/article/view/36/14
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI