Sebuah studi yang diterbitkan dalam JAMA Pediatrics mengemukakan bahwa penggunaan ponsel yang berlebihan dikaitkan dengan tingkat kesejahteraan psikologis yang lebih rendah di antara anak-anak dan remaja. Studi ini menganalisis data dari lebih dari 40.000 anak dan menemukan bahwa mereka yang menghabiskan lebih banyak waktu dengan ponsel memiliki tingkat keingintahuan, pengendalian diri, stabilitas emosional, dan kompetensi sosial yang lebih rendah.
Sementara, studi yang diterbitkan dalam Journal of Child Psychology and Psychiatry menemukan bahwa paparan media kekerasan, termasuk video game, dikaitkan dengan peningkatan risiko perilaku agresif pada anak-anak. Studi ini meneliti sekelompok anak-anak selama periode dua tahun dan menemukan bahwa mereka yang terpapar media yang lebih kejam memiliki tingkat agresi fisik dan agresi verbal yang lebih tinggi.
Selain itu, ada studi yang diterbitkan dalam Computers in Human Behavior yang menemukan bahwa penggunaan media sosial yang berlebihan dikaitkan dengan tingkat kecemasan dan depresi yang lebih tinggi pada remaja. Studi ini mensurvei lebih dari 1.700 remaja dan menemukan bahwa mereka yang menghabiskan lebih banyak waktu di media sosial memiliki tingkat kecemasan sosial dan gejala depresi yang lebih tinggi.
Tetapi, penting juga untuk dicatat bahwa teknologi dapat memiliki banyak manfaat positif bagi anak-anak ketika digunakan dalam kurun waktu yang cukup, dan dengan pengawasan yang tepat dari orang tua. Misalnya, aplikasi dan game pendidikan yang dapat membantu anak-anak belajar dan mengembangkan keterampilan baru, dan media sosial dapat membantu anak-anak tetap terhubung dengan teman dan keluarga.
Sayangnya, rasa penasaran saya belum juga bisa dipecahkan. Saya kembali bertanya-tanya: Kalau orang tua dan internet memiliki andil dalam mengonstruksi perilaku anak-anak, bagaimana dengan ekonomi?
Ya, saya menemukan bukti yang menunjukkan bahwa faktor ekonomi dapat berdampak pada perilaku anak. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa anak-anak yang tumbuh dalam keluarga berpenghasilan rendah lebih mungkin mengalami berbagai kesulitan sosial dan emosional, termasuk masalah perilaku, dibandingkan dengan teman sebaya mereka dari latar belakang yang lebih kaya.
Salah satu alasannya, mungkin karena keluarga dengan penghasilan rendah mengalami tingkat stres dan kekhawatiran yang lebih tinggi, yang dapat menumbuhkan lingkungan yang kurang kondusif untuk perkembangan sosial dan emosional yang positif pada anak-anak. Ketidakamanan finansial, kehilangan pekerjaan atau pengangguran orang tua, dan perumahan atau perawatan kesehatan yang tidak memadai semuanya dapat berkontribusi pada peningkatan stres dan hasil negatif bagi anak-anak.
Selain itu, anak-anak dari keluarga yang berpenghasilan rendah mungkin memiliki lebih sedikit akses ke sumber daya dan peluang yang dapat mendukung perkembangan sosial dan emosional mereka, seperti pendidikan anak usia dini yang berkualitas, kegiatan ekstrakurikuler, dan layanan kesehatan mental yang otomatis menciptakan kerugian yang sulit diatasi, dan mengarah ke tingkat masalah perilaku yang lebih tinggi dan hasil negatif lainnya.
Sebuah studi yang diterbitkan dalam jurnal Child Development mendapati bahwa anak-anak dari keluarga berpenghasilan rendah lebih memungkinkan mengalami masalah perilaku dibandingkan dengan teman sebaya mereka dari latar belakang yang lebih berada. Studi ini menganalisis data dari studi longitudinal anak-anak dan menemukan bahwa kerugian sosial ekonomi dikaitkan dengan peningkatan tingkat perilaku eksternalisasi, seperti agresi dan melanggar aturan.
Sementara studi yang diterbitkan dalam jurnal Developmental Psychology menemukan bahwa pendapatan keluarga adalah prediktor signifikan dari keterampilan dan perilaku sosial anak-anak. Studi ini menganalisis data dari lebih dari 5.000 anak dan menemukan bahwa anak-anak dari keluarga berpenghasilan rendah lebih mungkin mengalami masalah sosial dan perilaku, seperti kesulitan dengan pengaturan diri dan hubungan interpersonal.
Dan ada juga studi yang diterbitkan dalam Journal of Child and Family Studies yang menemukan bahwa tekanan keuangan dan stres orang tua dapat dikaitkan dengan peningkatan tingkat masalah perilaku pada anak-anak. Studi ini mensurvei orang tua lebih dari 1.000 anak dan menemukan bahwa stres ekonomi adalah prediktor signifikan dari perilaku internalisasi dan eksternalisasi anak-anak.