Mohon tunggu...
Sutanto Kosasi
Sutanto Kosasi Mohon Tunggu... Guru - Teacher

To infinity and beyond...

Selanjutnya

Tutup

Politik

Terpana dengan Kesuksesan Formula E

3 Juni 2022   22:38 Diperbarui: 3 Juni 2022   22:40 270
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sirkuit balapan selesai pada waktunya? Check.

Tiket penonton terjual ludes? Check

Bikin Giring dan para penentang Formula E nyesek? Check

Heboh kan karena akhirnya Formula E bisa diselenggarakan? Terpana nggak? Terpana nggak? Terpana nggak?

Mustinya iya dong, terpana sampai klepek-klepek.

Narasi yang dibangun Anies Baswedan kali ini boleh dibilang sukses besar. Kita semua sudah paham sifat Anies yang suka bernarasi. Namun, narasi yang dibangun seseorang – meskipun dibangun oleh orang sekaliber Anies yang sudah sangat terkenal sebagai narator ulung – belum tentu bisa terasa gurih dan nikmat kalau tidak ada bumbu-bumbunya. Ibarat makanan, narasi juga sama, butuh bumbu-bumbu penyedap.

Masuklah Giring sang politikus PSI yang menambah bumbu pada narasi Anies. Kita tentu ingat bagaimana Giring sampai merasa perlu mengadakan inspeksi ke Ancol untuk melihat sejauh apa development sirkuit balapan Formula E ini. Dengan senang hati dia lalu membagi-bagikan “kabar buruk” di social media bahwa (mungkin) sirkuit takkan selesai pada waktunya dan disana sini masih terlihat kambing berkeliaran.

Maka hebohlah jagad raya dunia internet di Indonesia. Silih berganti para non-pendukung Anies menghujat kesiapan Formula E. Padahal sesungguhnya, kalau saja Giring dan para non-pendukung Anies ini mau menggunakan logika, 3-4 bulan untuk membangun sirkuit sepanjang kurang lebih 3 km bukanlah hal yang mustahil sama sekali. Istilahnya, itu bukan rocket science.

Membangun sirkuit balapan memang tidak bisa dibilang gampang karena ini bukan hanya sekedar membangun jalanan aspal biasa, tapi juga tidak sulit karena dengan teknologi dan perlengkapan yang ada di zaman sekarang sangat memungkinkan semuanya selesai dalam waktu 1/3 atau 1/4 tahun. Toh hanya kurang lebih 3 km kok. Kalau 10 km mungkin tak bisa selesai dalam waktu semepet itu. 3 km? Diributkan juga? Akhirnya jadi kelihatan bodoh sendiri, kan?

Begitu juga halnya dengan keraguan banyak orang tentang “apakah ada yang mau nonton?” dan “apakah tiketnya akan terjual habis?”. Tentu kita semua masih ingat, saat-saat kehebohan tentang “siapa yang nonton?” dan “siapa yang mau beli tiket?” itu muncul, tribun penonton bahkan belum selesai dibangun dan pihak panitia sudah menawarkan tiket. Jadi bahan cerita, kan? Heboh lagi jagad raya internet, kan? Dan lagi-lagi, seandainya saja pihak-pihak yang meributkan hal-hal ini mau menggunakan logika, tentunya mereka sadar bahwa Anies memiliki banyak pendukung dan para pendukung Anies tentu saja akan meramaikan perhelatan akbar ini.

Para pendukung Anies, yang aslinya mungkin sama sekali tidak tahu menahu soal balapan mobil, bisa tiba-tiba saja berubah menjadi pakar-pakar yang sangat ahli dalam bicara soal balapan, tiba-tiba saja menjadi pecinta balapan jet darat dan seterusnya dan seterusnya. Semestinya faktor ini sudah diperhitungkan oleh para kritikus dan nyinyirus, apapun itu sebutannya, sehingga mereka tak perlu segampang itu mencurahkan keraguan mereka. Kenyataannya? Mereka malas berlogika, malas memperhitungkan, akhirnya malah kelihatan bodoh sendiri.

Namun Anies butuh bumbu-bumbu penyedap seperti ini, supaya narasinya semakin seru. Itulah sebabnya dia membisu seribu bahasa terhadap kritikan dan nyinyiran di luar sana, sehingga dengan demikian, akan semakin banyak pula orang-orang yang menyerangnya dan demikian pula bumbu penyedap akan semakin banyak untuk melengkapi narasinya.

Narasi Anies Tentang Formula E

Boleh dibilang narasi ini dimulai dengan gagasannya untuk menjadi pioneer dalam “promosi penggunaan kendaraan listrik” yang pada gilirannya akan membuat Indonesia menjadi negara yang peduli lingkungan, peduli pada peniadaan polusi udara dan sebagainya.

Masalahnya, Anies mungkin lupa (atau pura-pura lupa), harga mobil listrik masih lumayan mahal saat ini, sehingga kalaupun ada penggunanya, hampir bisa dipastikan mereka adalah orang-orang kaya. Jadi sesungguhnya, walaupun gagasannya pada dasarnya baik, tapi tidak tepat sasaran, setidaknya untuk saat ini. Jangankan di Indonesia, di negara-negara maju dan kaya saja pun penggunaan mobil listrik masih termasuk segelintir. Jadi, apabila orang-orang kaya di Indonesia beralih ke mobil listrik, jumlah mereka juga hanya akan segelintir dan tentu tak akan berpengaruh signifikan terhadap apa yang namanya “peduli lingkungan”. Akhirnya, gagasan ini malah terdengar seperti bullshit karena efeknya nggak seberapa.

Tapi dasar Anies sang narator ulung, dengan mahirnya dia menyetir pendukungnya untuk mempercayai bagaimana dia sangat memperdulikan masa depan Indonesia ke depannya. Maka lahirlah ide untuk menggelar Formula E dan semuanya percaya bahwa ini adalah awal dari “kebangkitan dan kemajuan Indonesia” di tangan Anies. Padahal kalau saja pendukungnya mau menggunakan logika, untuk mencapai Indonesia yang “go green” nggak harus dengan menyelenggarakan balapan mobil listrik kok.

Yang perlu dibenahi duluan untuk mempersiapkan Indonesia yang siap menggunakan kendaraan listrik, tentunya SDM Indonesia yang pertama-tama harus dibenahi. Bayangkan, seandainya dana yang dikucurkan untuk Formula E digunakan untuk menyekolahkan putra putri Jakarta yang terbaik ke negara-negara yang sudah memproduksi mobil listrik dan penduduknya sudah menggunakan kendaraan ramah lingkungan tersebut, ada berapa banyak SDM kita yang bisa dikirim dan berapa banyak ilmu yang bisa disedot sebelum kita bisa menyatakan “siap go green”?

Pendukung Anies, bukan rahasia lagi, adalah salah satu yang bersuara paling keras terhadap kegagalan Presiden Jokowi dalam proyek ESEMKA. Bukankah itu sangat luar biasa apabila suatu hari nanti ternyata Anieslah yang berhasil membina para generasi penerus untuk memproduksi kendaraan listrik kita sendiri? Lalu untuk apa habis ratusan milyar rupiah hanya untuk kelihatan keren dan peduli pada masa depan Indonesia?

Benarkah Formula E Tidak Bernilai Politis Bagi Anies?

Omong kosong kalau dibilang tidak ada. Pengaruh Formula E ini terhadap kesiapan Indonesia untuk “go green” jujur saja, menurut saya, nol besar. Apakah gara-gara ada Formula E lantas masyarakat tiba-tiba sadar bahwa mereka harus beralih ke kendaraan listrik? Apakah setelah penyelenggaraan Formula E selesai lantas masyarakat berbondong-bondong pergi membeli kendaraan listrik? Kalaupun benar begitu, belinya dimana? Sanggup beli nggak?

Formula E ini hanyalah sarana untuk menaikkan citra politis Anies. Kalau memang Anies seorang penggagas yang mumpuni, masih banyak hal yang bisa dilakukan selain menyelenggarakan Formula E. Tapi yah begitulah....Anies itu bukan penggagas, dia tak lebih dan tak kurang adalah seorang narator. Dan terima kasih pada banyak pihak, narasi Formula E ini menjadi semakin bagus dan menarik.

Di masa lalu, para pemimpin dunia menggunakan orasi untuk mempengaruhi rakyatnya. Saat ini, kita punya seorang Anies Baswedan yang menggunakan narasi dan mungkin dia bisa menjadi trend-setter untuk para pemimpin berikutnya, baik di Indonesia maupun dunia. Untuk urusan orasi, tentu lebih bijak bagi Anies untuk menyerahkan tugas itu pada Riziek, Somad atau Amin Rais.

Dan apabila tak ada yang mengikuti cara Anies, alasannya hanya satu: mereka tahu dan sadar, narasi tidak menghasilkan infrastruktur, narasi tidak membuat ekonomi tiba-tiba membaik, narasi tidak membuat suatu negara tiba-tiba menjadi negara maju. Hanya Anies dan pendukungnya yang merasa begitu. Kita cukup tersenyum simpul saja deh dengan tingkah laku mereka.

Tidakkah Kita Patut Berbangga Dengan Pergelaran Formula E Yang Berkelas Intenasional Ini?

 

Bangga iya, karena bagaimanapun ini pergelaran akbar berkelas internasional, tapi tak usah diglorifikasi. Bagi pendukung Anies, tentunya mereka melihat ini sebagai prestasi Anies. Tapi seharusnya mereka sadar, sebagai seorang pejabat yang punya kuasa dan punya duit, Formula E bukanlah hal yang sulit untuk diwujudkan oleh Anies. Ini sama seperti menyematkan label “prestasi” kepada seorang miliarder yang membangun rumah mewah pribadinya yang bernilai puluhan milyar. Toh dia punya duit untuk melakukan itu, punya power untuk melakukan itu, prestasi dimananya ya?

Formula E (FE) sendiri pamornya nggak seberapa dibanding saudaranya, Formula 1. Tingkat kepopuleran FE masih sangat rendah dan ini mengindikasikan bahwa Indonesia tidak akan tiba-tiba dianggap keren dan maju hanya karena sanggup menyelenggarakan FE. Mungkin di masa depan FE bisa menyaingi atau bahkan menggantikan F1 sebagai ajang balapan nomor satu di dunia, tapi untuk saat ini, boleh dibilang mendekati kepopuleran F1 saja masih agak-agak impossible.

Salah satu indikasi tentang seberapa populernya FE ini bisa anda cari di BBC.co.uk. Ketik saja “Formula E” di kolom “search” dan anda akan mendapati bahwa ternyata artikel-artikel tentang FE sangat sedikit sekali. Bahkan artikel tentang juara FE isinya tak lebih dari selusin kalimat (baca: https://www.bbc.com/sport/motorsport/58215182). Bayangkan, itu artikel tentang juara loh. Bandingkan dengan artikel tentang Lewis Hamilton dan Jos Verstappen, satu artikel saja bisa panjang berbelit-belit (contoh: https://www.bbc.com/sport/formula1/59269846).

Saya menggunakan BBC sebagai barometer karena BBC sangat rutin memberitakan hal-hal yang berkaitan dengan olahraga internasional dan tentunya BBC adalah media yang bisa dipercaya dan bisa dijadikan referensi dan juga dibaca oleh ratusan juta orang di seluruh dunia. Jadi bila reporter BBC aja malas menulis artikel tentang Formula E, bagaimana bisa Formula E disebut populer dan pada gilirannya ikut mempopulerkan dan mengangkat harkat dan martabat negara yang menyelenggarakannya? Coverage media sekelas BBC aja sedikit sekali, apalagi coverage dari media lain. Kalau coverage-nya begitu minim, lantas siapa yang tahu dan peduli bahwa Jakarta menyelenggarakan FE tahun ini?

Mungkin anda sekalian sudah tahu bahwa Mercedes, Audi dan BMW sudah menarik diri dari FE, (baca: https://www.bbc.com/sport/motorsport/58260921). Ini mengindikasikan FE tidak terlalu menarik bagi mereka untuk menginvestasikan dananya di sana. Sementara di sini, di Jakarta, malah ada yang kebelet harus mengadakannya, dengan alasan demi mempromosikan masa depan Indonesia yang lebih hijau, untuk mengangkat harkat dan martabat negara, untuk mempromosikan pariwisata di Jakarta dan segudang alasan lainnya. Apakah memang benar sedemikian efektifnya FE ini untuk menggenapi semua alasan-alasan baik tersebut?

Yang pasti, sebagai warga Indonesia, dan walaupun bukan pendukung Anies, saya tetap akan berbangga ada pergelaran FE ini. Tapi untuk urusan glorifikasi dan label prestasi, biarlah pendukungnya saja yang memberikan itu pada sang narator.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun