Drama pendididikan buruk untuk generasi akar rumput sepak bola Indonesia terlanjur dipanggungkan, demi ambisi.Seharusnya, bila sudah sanggup "berdiri" karena hasil pendidikannya mengantar menjadi manusia yang sopan, tahu adab, tahu etika, tahu moral, tahu diri, tahu berterima kasih, pandai bersyukur, dan rendah hati, maka mengejar mimpi tidak harus dengan cara berlari dan menabrak perikemanusiaan.
(Supartono JW.09012025)
Pengamat pendidikan nasional
Pengamat sepak bola nasional
Masalah pelatih mau dipecat, diganti yang baru. Karena Erick yang sedang berkuasa dan memiliki "dukungan" uang, itu silakan saja. Terserah Erick dan kroninya.
Sumbangsih pendidikan buruk
Demi berlari mengejar prestasi dunia, yang sudah terbaca pula, tujuan utama dan kepentingannya untuk apa, PSSI=Erick Thohir, akhirnya menunjukan wajah aslinya.
Tidak peduli ada ranah sepak bola akar rumput dan wadahnya, yang notabene adalah PONDASI SEPAK BOLA NASIONAL. Di sana ada jutaan generasi Indonesia, yang seharusnya diberikan contoh dan keteladanan yang benar dan baik. Tapi, sepertinya Erick tidak peduli atau pura-pura lupa.
Liga 1, 2, dan 3 juga hanya dijadikan sekadar "hiasan" sepak bola nasional. Demi ambisi pribadinya, dengan uang dan kekuasaan baik dari pribadi atau cukong, Erick Thohir malah membantu mendidik rakyat Indonesia dengan pendidikan yang tidak beradab, beretika, dan bermoral.
Tapi, bila benar Erick lebih membela pemain diaspora yang   dibenarkan saat melawan atau menentang pelatih, maka ini adalah sumbangsih pendidikan terburuk dari Erick untuk rakyat Indonesia, khususnya bagi pesepak bola akar rumput.
Pendidikan Indonesia terpuruk
Padahal, pendidikan Indonesia selama ini terus terpuruk, juga karena tidak adanya keteladan dari orang-orang yang dianggap pemimpin dan kaum elite di negeri ini. Sebab, ada seorang pemimpin yang diangkat dari rakyat jelata, pada akhirnya malah menerabas etika dan moral. Tidak tahu diri, tidak tahu berterima kasih kepada pihak yang telah "mengangkat" derajatnya. Lupa diri, demi ambisi pribadi, dinasti, oligarki, dan cukongnya.
Apa yang kini dilakukan Erick dalam sepak bola adalah setali tiga uang dengan junjungannya. Erick malah membela pemain yang melawan dan menentang pelatih. Justru demi ambisi pribadinya, bukan memberikan solusi dan menangani masalah pemain yang kurang ajar, tidak beretika, dan tidak bermoral. Tetapi malah menendang pelatih. Di mana letak jiwa kepemimpinan yang amanah dan bermaslahat.
Konsumsi publik +62 dan Korea
Mirisnya, kisah pemain diaspora yang melawan dan menentang Shin Tae-yong (STy) dan justru lebih dibela oleh Erick, kini sudah menjadi konsumsi publik sepak bola Indonesia, bahkan rakyat Indonesia, dan rakyat Korea Selatan.
Bahkan, saat STy dikabarkan mengunfollow semua akun Instagram semua pemain diaspora, kecuali Jordy Amat, malah ada pihak yang berkomentar "ketahuan aslimu Korea".
Sedih, ternyata orang-orang yang tidak tahu bagaimana sulitnya mendidik anak-anak di sekolah formal dan kampus, lalu betapa sulitnya mendidik, melatih, dan membina pesepak bola akar rumput (usia dini dan muda) di wadah sepak bola akar rumput, agar mereka menjadi sumber daya manusia (SDM) Indonesia yang berkarakter, cerdas spiritual (SQ), intelegensi (IQ), personality (EQ), hanya bisa berkomentar "dangkal".
Sebabnya, orang-orang yang demikian juga masih gagal dalam kecerdasan SQ, IQ, dan EQ, plus lemah soft skillnya.
Sadarkah, tidak menyesalkah, Erick?
Maaf, apakah Erick Thohir menyadari, bahwa dia sudah memberikan pendidikan yang mencerminkan lemahnya SQ, IQ, Â EQ, dan soft skill? Ini apa bedanya dengan pendidikan di sekolah formal yang masih berkutat menghasilkan generasi tawuran, pengangguran, tidak berbekas hasil pendidikannya karena tetap menjadi manusia yang tidak sopan, sombong, besar kepala, tidak tahu etika, tidak tahu moral, tidak tahu diri, tidak tahu berterima kasih, tidak bersyukur.
Jauh dari karakter manusia Indonesia yang diharapkan, yaitu manusia yang berbudi pekerti luhur dan rendah hati.
Ternyata, bangsa yang dulu menjajah Indonesia, kini melalui para pemain sepak bolanya, kembali menunjukan watak aslinya, menjajah siapa saja yang menghalangi keinginannya, tidak peduli apakah dia orang Indonesia atau Korea Selatan.
Mohon maaf Pak Erick, apakah Anda menyadari, bahwa Anda sedang memberi contoh pendidikan budi pekerti yang salah melalui sepak bola dan ditonton, diikuti, disimak, oleh seluruh lapisan rakyat Indonesia yang di dalamnya calon pondasi penerus Indonesia di semua bidang termasuk sepak bola. Pun, melukai masyarakat Korea Selatan?
Apakah Anda tidak menyesal, telah memberikan contoh pendidikan yang buruk, yang tidak jauh berbeda dengan membiarkan dan malah membela anak yang tawuran karena menguntungkan Anda?
Bila visi, misi, dan tujuan Anda di sepak bola mulia, demi kemaslahatan sepak bola Indonesia, saya yakin, karena memakai pikiran dan hati, kejadian tidak beradab ini tidak akan tercatat dalam sepak bola Indonesia.
Apalah artinya lolos Piala Dunia, dipuji-dipuja, dan dianggap hebat oleh dunia, tetapi harus melampaui batas perikemanusiaan?
Dan, saya yakin, orang-orang yang setuju dengan "cara" Anda, boleh dites sisi perikemanusiaannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H