Refleksi 2024 (7)
Apakah Saya, Orang yang Respek?
Bila sudah berupaya menjadi orang yang selalu membutuhkan, menjadi pribadi yang realistis dan rasional, tidak egois karena selalu menjaga dan merawat (jasmani, rohani, SQ, IQ, EQ), tidak sombong, berupaya low profile dengan terus belajar dan mengembangkan soft skill, Â terus membenahi diri menjadi makhluk sosial, tetapi tetap ada orang yang tidak respek/mengormati, maka teruslah bercermin, merefleksi diri, memperbaiki diri atau segera menyadari bahwa kita, ternyata sedang berhadapan dengan bukan makluk sosial tetapi "makhluk sakit", salah satunya berkarakter "tidak respek".
(Supartono JW.29122024)
Miskinnya keteladanan para pemimpin negeri dan yang merasa kelompok elite karena kedudukan, jabatan, dan kekuasaan, membuat rakyat bersikap antipati. Antipati adalah perasaan tidak suka atau penolakan yang kuat terhadap seseorang atau sesuatu.
Oleh sebab itu, sikap antipati ini pun berkembang menjadi sikap tidak respek, yang semakin mendarah daging pada sebagian besar rakyat +62. Sikal respek yang seharusnya ada dalam diri setiap manusia, menjadi barang langka di Indonesia.Â
Terlebih, dunia terlelap oleh zaman digital dan media sosial (medsos), yang semakin menggerogoti sendi-sendi kemanusiaan. Menjadikan manusia tidak lagi beradab, mengabaikan, bahkan menanggalkan etika dan moral.
Respek yang sakit
Kini, perbuatan manusia, meski sedang mengobrol atau berdiskusi, malah tetap asyik memainkan gawai/gadget, tidak ada respek kepada lawan mengobrol/diskusi, sudah menjadi pemandangan biasa. Â Dalam Grup WhatsApp (WA) pekerjaan, organisasi, kekeluargaan, kelompok, dan lainnya, yang fungsinya formal, karena Grup WA menjadi pusat informasi utama kegiatan, tetap saja ada anggota resmi grup yang mengabaikan pesan. Padahal pesan di grup sangat penting. Dishare oleh admin atau manajemen. Butuh respon, butuh jawaban anggota. Tetapi yang terjadi, anggota membaca informasi, tetapi tetap mengabaikan apa yang diharapkan dari informasi yang dishare. Sepertinya, anggota grup salah masuk grup dan kondisi mentalnya "sakit". Terlalu lemah kecerdasan spiritualnya (SQ), intelegensinya (IQ), dan personalitynya (EQ).
(Supartono JW.29122024)
Bagaimana dengan perilaku orang-orang yang nge-chat personal/jaringan pribadi (japri) bila di jaringan grup resmi saja tidak merespon/menjawab? He he...
Namun, bagaimana dengan persoalan respek yang mendampak keuntungan, khususnya bagi para pencari cuan dari dunia medsos dengan menyebut dirinya selebgram, konten kreator, youtuber, tiktoker, igmer, dll? Wow, yang ini lain ceritanya, bukan? Ini respek yang mana?
Respek yang sehat
Sesuai Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), respek
artinya rasa hormat. Memiliki respek, artinya memiliki rasa hormat pada orang lain/pihak lain. Terlepas orang lain/pihak lain itu siapa.
Terlebih bila orang lain/pihak lain adalah orang/pihak yang telah sangat berjasa pada perjalanan hidup kita, keberhasilan, dan kesuksesan kita. Menjadi perantara kehidupan awal kita saat masih belum apa-apa, belum menjadi siapa, dan belum-belum lainnya.
Respek juga diartikan sebagai kekaguman dan memberi perhatian kepada orang lain/pihak lain, karena telah melakukan sesuatu yang luar biasa atau memiliki kemampuan yang mengesankan.Â
Karena itu, respek adalah wujud kepedulian yang ditunjukan dengan perilaku benar dan baik kepada orang lain/pihak lain. Bukan tindakan yang berdampak menyakiti, jahat, merugikan, hingga hal yang membahayakan.
Respek itu saling. Bila kita tidak memperlakukan orang lain dengan benar dan baik, kita juga tidak bisa mengharapkan mereka membalasnya dengan benar dan baik.
Respek itu interpersonal, sering dipenuhi dengan konflik dan ketidakpuasan. Jika kita tidak menghormati dan menghargai orang lain, mereka tidak akan menghormati dan menghargai kita.
Respek selain berdampak dihormati dan dihargai, juga membawa seseorang aman, memiliki harga diri, jauh dari dihakimi, dihina, terjaga kesehatan mentalnya.
Respekkah saya?
Pertanyaannya, apakah selama ini, sepanjang hidup saya, atau minimal sepajang tahun 2024, saya sudah menjadi pribadi yang respek?
Respek kepada diri sendiri, kepada orang lain, norma sosial, alam, sifat-sifat orang lain, nilai-nilai kehidupan, aturan/hukum, budaya, keluarga, kekeluargaan, di lingkungan masyarakat, di lingkungan pekerjaan, di sekolah/kampus, hingga dalam kehidupan berbangsa dan bernegara?
Lihatlah, ada orang yang bahkan sampai duduk dan memegang kekuasaan di negeri ini, padahal awal mulanya hanya seorang rakyat jelata. Tetapi, setelahnya apakah respek kepada yang telah membantu mengangkat derajatnya?
Banyak orang-orang yang respek karena ada udang di balik batu. Ada keuntungan yang diharapkan demi kepentingan dirinya, keluarganya, dinastinya, kelompoknya, partainya, oligarkinya, hingga cukongnya.
Ada yang respek kepada pihak tertentu karena diiming-imingi beasiswa dan kemudahan, tetapi malah menghapus respek kepada pihak yang telah membantu, mendidik, membina dengan gratisan. Bahkan kasarnya, sudah mengentaskan dari comberan. Karena di lubuk hati dan pikirannya hanya ada naskah drama "memanfaatkan".
Berapa banyakkah, utang respek saya, kita, kepada orang lain/pihak lain/grup/lainnya, sepanjang hidup di dunia, atau minimal sepanjang tahun 2024?
Yang pasti, orang yang respek, tentu mumpuni dan "sehat" kecerdasan SQ, IQ, dan EQ. Kompeten pula soft skillnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H