Apakah "mereka" paham tentang 5W + 1H (What, Who, When, Why, Where, dan How) atau Apa, Siapa, Kapan, Mengapa, Di mana, dan Bagaimana tentang sekolah/akademi/diklat, yang ditempelkan kata sepak bola?
Mecomot adalah prestasi
Saya yakin, Erick Thohir sebagai Ketua Umum PSSI, tahu persoalan ini. Tapi yang sekarang terjadi dan lebih diprioritaskan, Erick justru sedang mengejar prestasi Timns Indonesia ke ranking 100 FIFA dengan cara instan.
Tidak berbeda dengan para pegiat sepak bola akar rumput yang masih belum atau bahkan tidak paham persoalan akademis, tetapi membuat wadah sepak bola dengan menggunakan embel-embel akademis.
Lucunya, mencomot/menarik siswa dari wadah sepak bola akar rumput lain dengan embel-embel beasiswa, tanpa etika dan moral. Persis seperti keteladanan elite politik di Indonesia yang hanya mementingkan diri sendiri, untuk keuntungan pribadi, dinasti, oligarki, kelompok, dan golongannya.
Cara-cara Erick mencari prestasi untuk Timnas, sama dengan cara-cara elite politik demi tahta, kedudukan, dan jabatan. Cara-cara Erick mengambil pemain pun sudah lazim dilakukan oleh para pemilik wadah sepak bola berembel-embel akademik demi prestasi timnya.
Tetapi tidak menghormati dan menghargai wadah sepak bola lain, yang telah mendidik, melatih, dan membina siswa. Sebab mencomot/menarik siswa dengan cara-cara yang tidak beretika dan bermoral.
Bedanya, Erick melakukan sesuai regulasi FIFA, tetapi tetap ada pihak yang dibuat tidak nyaman dan tidak menerima cara instan itu.
Setali tiga uang, para orang tua, yang bermimpi anaknya menjadi pesepak bola hebat, masuk tim elite, masuk klub, hingga Timnas, pun menerabas etika dan moral, meninggalkan wadah  sepak bola yang terlebih dulu telah menempa anaknya dalam pendidikan, pelatihan, pembinaan, hingga disertakan dalam turnamen/kompetisi sepak bola.
Bahkan, para orang tua "yang sombong", merasa anaknya sudah lebih hebat dari anak-anak lain, merasa anaknya adalah emas di antara bebatuan atau merasa berlian di antara emas, plus punya uang/kaya harta, maka lebih memilih wadah lain yang lebih nampak hebat. Lucunya, wadah yang nampak hebat itu, pun berkompetisi di level yang sama dengan wadah yang ditinggalkan. Miris, merasa anaknya emas/berlian, begitu masuk wadah lain yang katanya lebih hebat, berubah status menjadi bebatuan.
Lalu, bagaimana mungkin wadah sepak bola yang hanya merekrut atau mencomot pemain hebat tidak memasang tagline "sang juara?" Lawannya kan wadah-wadah sepak bola yang berjuang secara mandiri, setelah ada siswa/pemain yang nampak emas/berlian, pemainnya direkrut dan dicomot. Iming-imingnya pakai kata-kata "beasiswa".