Mohon tunggu...
Supartono JW
Supartono JW Mohon Tunggu... Konsultan - Menulis di berbagai media cetak sejak 1989. Pengamat Pendidikan Nasional dan Humaniora. Pengamat Sepak Bola Nasional. Praktisi Teater.

Bekerjalah dengan benar, bukan sekadar baik

Selanjutnya

Tutup

Bola

Kata-Kata Akademis dalam Wadah Sepak Bola Akar Rumput +62 (Sekolah, Akademi, Diklat, Beasiswa)

2 Desember 2024   13:22 Diperbarui: 2 Desember 2024   14:18 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Shin Tae-yong (STy), adalah satu-satunya pelatih Timnas Indonesia, sepanjang sepak bola Indonesia berproses sejak 1930, lalu menjamur wadah sepak bola akar rumput berembel-embel akademis, yang berani menyimpulkan bahwa pemain yang dipanggil masuk Timnas, banyak yang belum LULUS TIPS, teknik, intelegensi, personality, dan speed.

(Supartono JW.02122024)

Layaknya pendidikan formal, wadah sepak bola akar rumput di Indonesia yang menggunakan kata-kata akademis seperti: sekolah/soccer, akademi, hingga diklat yang ditempelkan dengan kata sepak bola, apakah selama ini, stakeholder terkait ada yang peduli? Terutama peduli kepada keberadaan, standarisasi, dan kelayakannya?

Akademis adalah kata sifat yang berarti bersifat ilmiah, teoritis, dan berorientasi pada pengetahuan yang berhubungan dengan pendidikan.

Apakah PSSI tahu, berapa persen wadah yang menggunakan embel-embel akademis itu berperilaku akademis dan melahirkan manusia terdidik yang berkarakter tahu diri, tahu berterima kasih. Pendek kata melahirkan manusia beretika dan bermoral hingga rendah hati, baik pengurus, orang tua, dan siswanya? 

Nama wadah pakai embel-embel akademis, tapi perilaku tidak akademis, karena sekadar gaya-gayaan?

Akademis urusan siapa?

Semua hal terkait sepak bola, ada di bawah naungan PSSI, sebab itu, sewajibnya PSSI-lah yang membuat aturan/regulasi tentang kelayakan lahirnya wadah-wadah sepak bola akar rumput yang menggunakan embel-embel akademis.

Secara pasti pula, hal terkait akademis, PSSI pun tidak memiliki kewenangan apalagi melakukan supervisi hingga akreditasi atas kelayakan wadah sepak bola berembel-embel akademis. Karena, yang memiliki wewenang adalah stakehildor terkait pendidikan di negeri ini.

Sampai pada persoalan embel-embel akademis dan siapa yang punya wewenang menertibkan, paham, ya? Wahai pegiat sepak bola akar rumput di Indonesia.

Kata-kata akademis seperti "sekolah" sepak bola, lalu ada yang memakai bahasa Inggris, "soccer shcool", ada yang lebih hebat, pakai kata "akademi" sampai kata "Diklat". Apakah hingga saat ini, Erick Thohir tahu apa yang dilakukan oleh wadah-wadah itu, sudah sesuai standarnya?

Apakah "mereka" paham tentang 5W + 1H (What, Who, When, Why, Where, dan How) atau Apa, Siapa, Kapan, Mengapa, Di mana, dan Bagaimana tentang sekolah/akademi/diklat, yang ditempelkan kata sepak bola?

Mecomot adalah prestasi

Saya yakin, Erick Thohir sebagai Ketua Umum PSSI, tahu persoalan ini. Tapi yang sekarang terjadi dan lebih diprioritaskan, Erick justru sedang mengejar prestasi Timns Indonesia ke ranking 100 FIFA dengan cara instan.

Tidak berbeda dengan para pegiat sepak bola akar rumput yang masih belum atau bahkan tidak paham persoalan akademis, tetapi membuat wadah sepak bola dengan menggunakan embel-embel akademis.

Lucunya, mencomot/menarik siswa dari wadah sepak bola akar rumput lain dengan embel-embel beasiswa, tanpa etika dan moral. Persis seperti keteladanan elite politik di Indonesia yang hanya mementingkan diri sendiri, untuk keuntungan pribadi, dinasti, oligarki, kelompok, dan golongannya.

Cara-cara Erick mencari prestasi untuk Timnas, sama dengan cara-cara elite politik demi tahta, kedudukan, dan jabatan. Cara-cara Erick mengambil pemain pun sudah lazim dilakukan oleh para pemilik wadah sepak bola berembel-embel akademik demi prestasi timnya.

Tetapi tidak menghormati dan menghargai wadah sepak bola lain, yang telah mendidik, melatih, dan membina siswa. Sebab mencomot/menarik siswa dengan cara-cara yang tidak beretika dan bermoral.

Bedanya, Erick melakukan sesuai regulasi FIFA, tetapi tetap ada pihak yang dibuat tidak nyaman dan tidak menerima cara instan itu.

Setali tiga uang, para orang tua, yang bermimpi anaknya menjadi pesepak bola hebat, masuk tim elite, masuk klub, hingga Timnas, pun menerabas etika dan moral, meninggalkan wadah  sepak bola yang terlebih dulu telah menempa anaknya dalam pendidikan, pelatihan, pembinaan, hingga disertakan dalam turnamen/kompetisi sepak bola.

Bahkan, para orang tua "yang sombong", merasa anaknya sudah lebih hebat dari anak-anak lain, merasa anaknya adalah emas di antara bebatuan atau merasa berlian di antara emas, plus punya uang/kaya harta, maka lebih memilih wadah lain yang lebih nampak hebat. Lucunya, wadah yang nampak hebat itu, pun berkompetisi di level yang sama dengan wadah yang ditinggalkan. Miris, merasa anaknya emas/berlian, begitu masuk wadah lain yang katanya lebih hebat, berubah status menjadi bebatuan.

Lalu, bagaimana mungkin wadah sepak bola yang hanya merekrut atau mencomot pemain hebat tidak memasang tagline "sang juara?" Lawannya kan wadah-wadah sepak bola yang berjuang secara mandiri, setelah ada siswa/pemain yang nampak emas/berlian, pemainnya direkrut dan dicomot. Iming-imingnya pakai kata-kata "beasiswa".

Luar biasa, kan? Kisah sepak bola akar rumput di Indonesia ini? Wadah yang mendidik siswa sesusia anak PAUD di sekolah formal, di wadah sepak bola yang juga pakai embel-embel akademis, banyak pembina/pelatih yang kompetensinya tidak memenuhi standar "Kompetensi Guru".

Shin Tae-yong (STy), adalah satu-satunya pelatih Timnas Indonesia, sepanjang sepak bola Indonesia berproses sejak 1930, lalu menjamur wadah sepak bola akar rumput berembel-embel akademis, yang berani menyimpulkan bahwa pemain yang dipanggil masuk Timnas, banyak yang belum LULUS TIPS, teknik, intelegensi, personality, dan speed. Karena apa?

Karena wadah sepak bola akar rumput di Indonesia yang seharusnya menjadi fondasi pemain Timnas, hanya gaya-gaya-an menggunakan embel-embel akademis. Mencari prestasinya pun pakai iming-iming beasiswa, comot-comot pemain, menerabas etika dan moral.

Melukai pikiran dan hati para pegiat sepak bola akar rumput yang tulus dan ikhlas membantu masyarakat dalam sepak bola untuk perantara menuju kehidupan nyata, namun terus diganggu oleh pihak-pihak yang tidak beretika dan tidak bermoral.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun