Mohon tunggu...
Supartono JW
Supartono JW Mohon Tunggu... Konsultan - Menulis di berbagai media cetak sejak 1989. Pengamat Pendidikan Nasional dan Humaniora. Pengamat Sepak Bola Nasional. Praktisi Teater.

Bekerjalah dengan benar, bukan sekadar baik

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Terima Kasih Guru/Suhu dan Orang Tua SSB

26 November 2024   13:44 Diperbarui: 26 November 2024   15:43 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Supartono JW


Masih terkait dengan Hari Guru Nasional (HGN) ke-30 2024, melalui artikel ini, saya mengucapkan terima kasih dan selalu mendoakan tiga guru/suhu saya, semoga mereka senantiasa bahagia di SurgaNya. Aamiin. YRA.

Tiga Guru/Suhu

(1) Guru/suhu saya dalam perjuangan hidup di Jakarta adalah Jos Daniel Parera, yang memberikan saya nama tambahan Jawa menjadi Supartono Jawa, sebab saya sering terciduk beliau berada di Taman Kampus untuk berteater di saat jam kuliah.(1987-1990)

(2) Berikutnya, Guru/Suhu  saya dalam sepak bola hingga saya mampu melahirkan wadah sepak bola untuk masyarakat adalah Ronny Pattinasarany. (Sejak1998)

(3) Dan, Guru/Suhu saya dalam hal kehidupan panggung teater, humaniora, olahraga, vok pop (hukum, kebijakan, politik), dan Kekeluargaan adalah N. Riantiarno. N. Riantiarno pun meminta saya tidak menggunakan nama Supartono Jawa hadiah JD. Parera. Tetapi mengubah Jawa menjadi JW, saat nama saya pertama kali akan dimasukan dalam Buku Acara Pentas Teater Koma tahun 1994. Maka sejak saat itu, saya menggunakan nama Supartono JW dalam ruang teater. (Sejak 1993).

Ketiga guru/suhu saya tersebut, sangat berpengaruh dalam kehidupan saya, terutama jejaknya terus saya teladani dalam wadah sepak bola yang saya buat. Kata "suhu" dalam bahasa gaul memiliki arti "guru" atau "master".

Catatan benar dan baik

Terkait dengan HGN pula, maka saya pun mencatat hal-hal baik yang patut diteladani dari sikap, perilaku, dan karakter orang tua siswa dalam wadah sepak bola, di mana anaknya menjadi siswa/anggota.

Dari pengalaman nyata yang saya alami selama lebih dari 30 tahun mengelola wadah sepak bola (WSB) remaja dan akar rumput (usia dini dan muda) di +62, serta dari berbagai informasi dari wadah sepak bola remaja dan akar rumput lainnya, saya dapat menyimpulkan beberapa hal tentang perilaku dan karakter orang tua terhadap wadah sepak bola yang diikuti oleh anaknya.

Kesimpulan ini, bisa jadi juga dapat menggambarkan peta kecil masyarakat Indonesia dalam kehidupan kekeluargaan, bermasyarakat, dan kehidupan berbangsa dan bernegara, meski saya potret kisahnya dari wajah sepak bola.

Terlebih sepak bola akar rumput dan remaja di Indonesia, persentasenya sangat besar dalam pengaruh membentuk karakter manusia Indonesia yang berbudi pekerti luhur dan rendah hati.

Orang yang berbudi pekerti luhur dan rendah hati, PASTI menjunjung tinggi etika dan moral. Tahu diri. Tahu berterima kasih. Tahu dari mana asalnya. Dan tahu-tahu lainnya.

Pun tidak tuli dan buta pikiran serta mata hatinya.

Karena itu, sepak bola yang menjadi olah raga paling digemari di Indonesia, seharusnya lewat WSB akar rumput, orang tua dan siswa yang masih gagal "terdidik" di sekolah formal, di keluarga, di masyarakat, di tempat pekerjaan, dll, dapat terbantu terdidik di lingkungan WSB.

Sejak lahir dan diresmikannya WSB seperti Sekolah Sepak Bola (SSB) oleh PSSI tahun 1999, saya mencatat WSB-WSB telah berkontribusi menjadi tempat praktik sikap, perilaku, serta karakter orang tua dan siswa dalam kehidupan nyata.

Saya pun mencatat, sikap, perilaku, dan karakter orang tua siswa ini, sangat mendeskripsikan seberapa kualitas individu bersangkutan dalam perolehan pendidikan yang ditempa di dunia pendidikan formal dan pendidikan di lingkungan masyarakat sejak anak-anak hingga menjadi orang tua.

Meski orang tua berpendidikan formal tinggi, memiliki jabatan/kedudukan dalam pekerjaan, ternyata tetap tidak menggaransi yang bersangkutan menjadi berbudi pekerti luhur dan rendah hati dalam menjadi anggota WSB.

Tidak pula mengangkat derajat perikamenusiaannya, sebagai sesama sumber daya manusia (SDM) Indonesia yang seharusnya dapat membantu mencerdaskan bangsa.

Oleh sebab itu, meski kesimpulan ini saya tarik dari peristiwa nyata, lebih dari 30 tahun. Bukan dari hasil penelitian, perilaku orang tua terhadap WSB-WSB yang anaknya menjadi siswa di dalamnya, ada dua model.

(1) Model yang paham 5W+1H.
Yaitu paham luar dalam terhadap What (Apa), Who (Siapa), When (Kapan), Why (Mengapa), Where (Di mana), dan How (Bagaimana), wadah sepak bola yang diikuti.

Orang tua paham betul tentang apa, siapa, kapan, mengapa, di mana, dan bagaimana wadah sepak bola itu.

-Apa wadah sepak bola itu, untuk apa, untuk siapa? Dll.

-Siapa yang melahirkan mendirikan? Siapa yang mengelola? siapa siswanya? Siapa yang mendukung? Siapa yang membiayai? Siapa yang peduli? Siapa yang tahu berterima kasih? Siapa yang disiplin?  Siapa anggota/siswa? Dll.

-Kapan lahir? Kapan latihan? Kapan turnamen? Kapan kompetisi? Kapan membayar iuran? Kapan membayar sewa lapangan? Kapan prasarananya ada? Kapan menjadi sukarelawan? Kapan menjadi donatur? Kapan menjadi sponsor? Dll.

-Mengapa wadah sepak bola lahir? Mengapa menjadi siswa? Mengapa masih bertahan? Dll.

-Di mana lahirnya? Di mana bisa berdiri? Di mana latihannya? Di mana kotanya? Dll.

-Bagaimana cara lahir dan berdirinya? Bagaimana membiayai operasionalnya? Bagaimana membiayai turnamen dan kompetisi? Bagaimana orang tua dan siswanya? Bagaimana keuangannya? Bagaimana prasarananya? Bagaimana kontribusi orang tua? Bagaimana kontribusi stakeholder terkait? Bagaimana kontribusi sponsor/donatur? Dll.

Dari identifikasi tersebut, orang tua yang paham 5W + 1H terhadap wadah sepak bola (WSB) yang anaknya menjadi siswa, tentu berbudi pekerti luhur dan rendah hati, perilaku yang dapat saya identifikasi antara lain:

1. Selalu perhatian, menghargai, dan menganggap "ada" WSB.
2. Selalu hadir bila diundang rapat/diskusi WSB.
3. Selalu aktif memberikan masukan dan saran demi kebaikan dan kemajuan WSB.
4. Selalu tertib membayar iuran wajib, iuran turnamen/kompetisi, iuran tanding, dan iuran lainnya sesuai aturan.
5. Tidak pelit/kikir, sering melebihkan iuran secara sukarela.
6. Tahu kesulitan WSB.
7. Tahu kesulitan latihan.
8. Tahu kesulitan persiapan turnamen/kompetisi.
9. Tahu kesulitan anggaran turnamen/kompetisi.
10. Bila terlambat atau meleset dari waktu pembayaran iuran, memohon maaf atas keterlambatannya dengan menyampaikan alasan yang logis.
11. Tahu diri.
12. Tahu berterima kasih.
13. Menjadikan anaknya siswa WSB sampai lulus layaknya di sekolah formal.
14. Tidak terpengaruh/ikut-ikutan menjadikan anaknya  siswa seribu bendera. Pindah ke WSB di sana-sini.
15. Tidak memanfaatkan dan mencari enaknya sendiri di WSB.
16. Menyadari kedudukannya sebagai anggota/siswa, bukan pemilik WSB, maka bila anaknya  mau izin tidak latihan/tidak ikut turnamen/tidak ikut kompetisi, meminta masukan dan saran. Bukan memutuskan anaknya tidak apalagi sok tidak mengizinkan anaknya tidak ikut dengan berbagai alasan.
17. Tahu betul kondisi tim yang diikuti oleh anaknya.
18. Mampu membaca kesulitan tim, jumlah pemain yang ada, jumlah pemain yang harus ada dalam setiap laga turnamen/kompetisi.
18. Tahu WSB memfasilitasi, meski anaknya sering libur latihan/WSB libur latihan, iuran wajib tetap membayar.
19. Tahu setiap latihan, WSB butuh biaya berapa untuk operasional.
20. Tahu dan dapat mengkalkulasi, berapa biaya operasional WSB setiap bulan.
21. Tahu bila anaknya tidak datang latihan, pemasukan WSB akan tidak tertutup untuk biaya operasional hari itu.
22. Tahu Grup WA adalah sumber komunukasi utama WSB, maka menghargai setiap informasi dengan membaca sampai tuntas dan paham. Lalu, merespon, menanggapi, bersikap, dll.
23. Tahu malu.
24. Tahu "tidak enak".
25. Tahu "posisi/kedudukan".
26. Bersikap layaknya rakyat jelata. Bukan "ngebos/ngraja/ngratu". Dll.

(2) Model yang tidak paham, abai, meyepelekan 5W + 1H.

Orang tua yang tidak paham, abai, menyepelekan 5W + 1H atau yang tabiatnya egois, individualis, dan hanya mencari keuntungan sendiri, pribadi, dan anaknya, akan jauh dari perbuatan seperti No (1) s.d. (26).

Membaca ulang tulisan ini berkali-kali, meski pendidikan Indonesia terus tercecer bukan hanya di dunia dan Asia, tetapi juga di Asia Tenggara, saya yakin, kehadiran WSB seperti SSB dan nama lainnya, cukup signifikan bagi orang tua dan siswa dapat mempraktikan sikap, perilaku, dan karakternya di wadah ini, sebagai bentuk praktik di kehidupan nyata. Menuju manusia yang berbudi pekerti luhur dan rendah hati.

Bersyukur

Bersyukur, saya dapat terus andil mempertahankan WSB saya, awalnya BFC (1989) di Jakarta Timur. Berganti baju menjadi SSB Sukmajaya (1998), lalu saya lahirkan lagi Sukmajaya FC (2004) di Depok, bertahan sampai sekarang.

Sehingga saya pun dapat belajar untuk menjadi manusia yang berbudi pekerti luhur dan rendah hati. Berupaya menjadi orang yang selalu paham 5W + 1H dalam setiap wadah/kegiatan/kekeluargaa /pekerjaan/persoalan. Sehingga dapat meneladani (26) sikap, perilaku, dan karakter orang tua di WSB yang saya himpun dan catat. Prosesnya lebih dari 30 tahun.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun