Orang yang berbudi pekerti luhur dan rendah hati, PASTI menjunjung tinggi etika dan moral. Tahu diri. Tahu berterima kasih. Tahu dari mana asalnya. Dan tahu-tahu lainnya.
Pun tidak tuli dan buta pikiran serta mata hatinya.
Karena itu, sepak bola yang menjadi olah raga paling digemari di Indonesia, seharusnya lewat WSB akar rumput, orang tua dan siswa yang masih gagal "terdidik" di sekolah formal, di keluarga, di masyarakat, di tempat pekerjaan, dll, dapat terbantu terdidik di lingkungan WSB.
Sejak lahir dan diresmikannya WSB seperti Sekolah Sepak Bola (SSB) oleh PSSI tahun 1999, saya mencatat WSB-WSB telah berkontribusi menjadi tempat praktik sikap, perilaku, serta karakter orang tua dan siswa dalam kehidupan nyata.
Saya pun mencatat, sikap, perilaku, dan karakter orang tua siswa ini, sangat mendeskripsikan seberapa kualitas individu bersangkutan dalam perolehan pendidikan yang ditempa di dunia pendidikan formal dan pendidikan di lingkungan masyarakat sejak anak-anak hingga menjadi orang tua.
Meski orang tua berpendidikan formal tinggi, memiliki jabatan/kedudukan dalam pekerjaan, ternyata tetap tidak menggaransi yang bersangkutan menjadi berbudi pekerti luhur dan rendah hati dalam menjadi anggota WSB.
Tidak pula mengangkat derajat perikamenusiaannya, sebagai sesama sumber daya manusia (SDM) Indonesia yang seharusnya dapat membantu mencerdaskan bangsa.
Oleh sebab itu, meski kesimpulan ini saya tarik dari peristiwa nyata, lebih dari 30 tahun. Bukan dari hasil penelitian, perilaku orang tua terhadap WSB-WSB yang anaknya menjadi siswa di dalamnya, ada dua model.
(1) Model yang paham 5W+1H.
Yaitu paham luar dalam terhadap What (Apa), Who (Siapa), When (Kapan), Why (Mengapa), Where (Di mana), dan How (Bagaimana), wadah sepak bola yang diikuti.
Orang tua paham betul tentang apa, siapa, kapan, mengapa, di mana, dan bagaimana wadah sepak bola itu.
-Apa wadah sepak bola itu, untuk apa, untuk siapa? Dll.