Apalagi dapat dipastikan bahwa penentuan posisi menteri  dilakukan dengan cara negosiasi politik dengan partai pendukung, dibanding dengan analisis cermat dan objektif latar belakang keahlian.
Akibatnya, akan banyak menteri dan wakil menteri berperan sebagai wakil partai politik, bukan sebagai pembantu presiden yang harus mengedepankan profesionalisme.
(3) Tantangan lima tahun ke depan sangat kompleks. Ada de-industrialisasi, lalu menggenjot daya saing di tengah minimnya keahlian/keterampilan SDM (menjamurnya SDM rendah), rupiah yang melemah, transisi energi ke EBT dan sebagainya.
(4) Kementerian baru yang terbentuk, pasti tidak dapat langsung bekerja karena membutuhkan waktu untuk beradaptasi dan menyusun program-program kerja. Pada akhirnya menjadi sumber inefisiensi tersendiri, mengingat kemungkinan duplikasi tugas pokok dan fungsi yang akan terjadi.
(5) Akan ada konflik kewenangan yang tidak perlu di antara para pejabat birokrasi pada kementerian/lembaga.
(6) Berpotensi menciptakan tumpang tindih kewenangan.
Contoh:
Saat ini, persoalan kelestarian lingkungan melibatkan tiga kementerian, yaitu Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian ESDM dan Kementerian PPN/Bappenas.Bagaimana kalau kementerian semakin banyak? Bagaimana koordinasinya?
Bagaimana dengan struktur ke bawahnya, ke provinsi, kabupaten/kota (daerah).
(7) Kementerian gemuk jelas tidak sejalan dengan semangat reformasi birokrasi yang selama ini gencar dikampanyekan pemerintah. Dengan bertambahnya jumlah kementerian otomatis membuat sejumlah aturan atau regulasi bertambah. Resikonya, tercipta lapisan-lapisan administrasi baru karena beberapa kementerian yang dipecah-pecah. Meja birokarsi tambah melingkar-lingkar dan akan menjadi "celah lagi untuk itu".
(8) Pemaduan data dan informasi menggunakan digitalisasi, progresivitasnya masih dipertanyakan, kabinet malah digemukan.
(9) Efisiensi pelayanan publik yang sebelumnya belum tuntas akan semakin tidak terselesaikan dengan penamabahan kementerian baru.