Mohon tunggu...
Supartono JW
Supartono JW Mohon Tunggu... Konsultan - Menulis di berbagai media cetak sejak 1989. Pengamat Pendidikan Nasional dan Humaniora. Pengamat Sepak Bola Nasional. Praktisi Teater.

Bekerjalah dengan benar, bukan sekadar baik

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Saat Laki-Laki Menjadi Lelaki, Suami, dan Menantu yang Benar dan Baik

2 Oktober 2024   08:08 Diperbarui: 2 Oktober 2024   08:23 367
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apakah selama 79 tahun, pemerintah menyadari, bahwa selain pendidikan formal yang terus tertinggal dari negara lain, pendidikan untuk menjadi orang tua yang benar dan baik pun tidak pernah terpikirkan?Akibatnya, banyak orang tua yang gagal untuk dirinya sendiri. Banyak yang gagal dalam berkeluarga. Pun banyak pula yang gagal mendidik anak-anak yang mereka lahirkan. 

Parahnya lagi, hasil belajar di sekolah pun, sampai saat ini masih tergolong banyak  gagalnya. Akibatnya, rakyat Indonesia terus miskin dan menderita. Sementara para elite negeri hanya gemar bancakan uang rakyat, kekayaan alam Indonesia, sampai korupsi.

Menjadi orang tua?

Atas kondisi ini, puluhan tahun yang lalu, di media cetak Ibu Kota, saya pernah menulis artikel tentang perlunya calon orang tua, laki-laki dan perempuan memiliki Surat Izin Menikah (SIM) yang dikeluarkan oleh Lembaga/Institusi resmi pemerintah. SIM ini cara memperolehnya juga sama seperti siswa/mahasiswa memperoleh Ijazah SD, SMP, SMA, Perguruan Tinggi. Ada pendidikannya.

Tetapi jangan seperti cara guru memperoleh Sertifikasi Guru yang caranya justru dibikin mudah demi target kuantitas guru tersertifikasi. Tetapi, yakin tidak akan menghasilkan guru bersertifikasi yang kualitas.

Akibat para orang tua, sebelum menikah, tidak mengantongi SIM, sementara pendidikan formal para calon orang tua di sekolah dan pendidikan di rumah/dalam keluarga juga gagal. Maka secara turun-temurun, semakin banyak produk sumber daya manusia (SDM) Indonesia yang gagal.

Lihatlah, di level elite, apakah pemimpin negeri ini berhasil memberikan contoh kepada rakyat sebagai keluarga yang berhasil dalam pendidikan SDM dalam keluarga yang tahu etika dan moralitas? Orang tuanya saja tidak berhasil mejunjung etika dan moral, bagaimana anak-anaknya? Andai sebelum menikah memiliki SIM, pun tidak akan menggaransi melahirkan SDM berkualitas yang menjunjung etika dan moral, tahu diri. Dan punya rasa malu.

Panggung kegagalan

Lihatlah, betapa sepanjang waktu, sepanjang masa, +62 tidak pernah sepi dari berita tawuran pelajar/mahasiswa/warga, cermin dari panggung kegagalan. Terus ada geng-geng. Bahkan belakangan anak-anak yang masih bau kencur pun petantang-petenteng di jalan raya, bergerombol. Berboncengan motor tanpa helm, satu motor bertiga sambil mengacungkan senjata tajam rakitan. Tua muda, bermobil, bermotor, senggolan di jalan raya, sikap jagoan dan preman pun yang lebih banyak dapat kita saksikan.

Hampir di berbagai daerah di Indonesia, perilaku ini terjadi. Sangat meresahkan masyarakat. Tujuh mayat pun ditemukan di Sungai Bekasi. Mereka menjadi korban sia-sia. Siapa yang dalam hal ini harus bertanggung jawab? Apakah Polisi? Ke mana para orang tua, hingga anak-anak mereka berkeliaran tanpa kontrol. Gaya-gayaan dengan senjata tajam. Tetapi begitu diketahui menjadi mayat di Sungai, malah bertanya, mengapa anak-anak sampai mencebur ke sungai?

Sejauh ini, apakah kira-kira, Presiden, pemerimtah, DPR, dan stakeholder terkait pernah berpikir sampai sejauh ini?

Pendidikan hanya tempelan

Anak-anak bersekolah, kuliah, tetapi banyak yang sekadar formalitas demi mendapat ijazah. Prosesnya sekadar tempelan, ingatan, bukan paham, terampil, kreatif, inovatif.

Sebab, di sekolah dan kampus, guru dan dosen juga lebih banyak mengajar, bukan mendidik. Pun tidak berubah meski Kurikilum diganti Merdeka. Tapi gurunya disibukan dengan adminstrasi. Siswanya dibiarkan. Mendidik itu menghasilkan SDM yang tahu etika dan moral.  Bagaimana dengan SDM yang belajarnya formalitas dapat bersaing di dunia kerja? Bagaimana dapat menjadi pribadi SDM yang dapat diandalkan?

Menjadi orang tua?

Bagaimana menjadi orang tua? Mengurus, mengelola, mengendalikan dirinya sendiri saja gagal. Lihat, dalam timnas sepak bola Indonesia, di semua kelompok umur sampai senior. Juga olah raga lain? Berapa pemain yang cerdas dan berkualitas?

Lihat dalam kehidupan keluarga dan berumah tangga. Dari mana para lelaki yang tidak memiliki SIM, tahu apa keterampilan yang wajib dikuasi seorang laki-laki/suami/menantu? Dari pengalaman, fakta, dan kebutuhan, laki-laki itu wajib  memiliki berbagai keterampilan:
(1) Dalam bahasa (formal dan nonformal)
(2) Bekerja tetap, bekerja sampingan, dll.
(3) Mengelola keuangan
(4) Dalam pemahaman hukum
(5) Pengetahuan umum
(6) Bidang rumah tangga
(7) Memasak
(8) Mengelola dan merawat bangunan dan perabotan rumah.
(9) Seni Hidup Minimalis.
(10) Bierkomunikasi yang baik dan benar.
(11) Dalam tata Krama dan Sopan Santun.
(12) Bermediasi dan bermusyawarah yang efektif.
(13) Memahami orang lain.
(14) Spiritual
(15) Membangun kehidupan perkawinan.
(16) Dalam dasar parenting.
(17) Dalam psikologi anak.
(18) Manajemen Konflik Keluarga.
(19) Bidang akademik
(20) Olah raga
(21) Musik, seni, budaya, dll.

Dari indikator tersebut dapat dipilah dikembangkan apa keterampilan laki-laki bila sudah menjadi suami. Juga dapat dipilah bila hidupnya masih ikut numpang di keluarga istri.

Bila sudah menjadi suami, maka (21) indikator tersebut, laki-laki wajib terampil. Karenanya, akan ada garansi bila sudah memiliki anak, anaknya akan berkeliaran, ikut gerombilan geng/geng motir, ikut tawuran, menjadi preman. Hingga mati sia-sia.

Bila laki-laki sebagai menantu, hidupnya masih menumpang di keluarga istri. Menantu itu wajib dapat mengambil hati menantu (Bapak/Ibu), di antaranya:
(1) Bangun pagi lebih awal dari Bapak dan Ibu menantu.
(2) Membantu merapikan dan membersihkan rumah seperti bersih-bersih kamar mandi, menyapu, mengepel, menyiram tanaman, mencuci piring, membuang sampah, merapikan teras/halaman rumah, merapikan garasi dll.
(3) Bertanya, apa yang bisa dibantu lagi kepada Bapak/Ibu mertua, bila hal-hal dasar sudah dikerjakan.
(4) Selalu sopan dan santun.
(5) Menjadikan rumah mertua istana, bukan hotel yang hanya untuk sekadar numpang tidur dan makan.
(6) Tahu seluk beluk rumah mertua, sehingga semisal ada mati listrik, mati air, rumah bocor, dapat membantu mengatasi.
(7) Dan, tahu anggaran yang dikeluarkan oleh mertua untuk tagihan-tagihan bulanan demi operasional di rumah itu. Dll.

Dari ulasan tersebut, khususnya untuk laki-laki, bila terdidik di dalam keluarga dengan benar dan baik, terdidik oleh lingkungan masyarakat yang benar dan baik, pun dengan pondasi iman keluarga yang kuat, maka akan menjadi generasi penerus keluarga sebagai SDM yang berkualitas.

Secara turun-temurun, akan lahir anak cucu cicit yang dapat diandalkan. Akan menjadi laki-laki berkualitas. Suami berkualitas, dan menantu berkualitas. Meski pun pendidikan formal di sekolah dan kampus masih gagal. Sebab, pendidikan spiritual dan menjadi SDM unggul itu, awalnya, pondasinya adalah di dalam lingkungan keluarga.

Bila laki-laki sudah menjadi Laki-laki yang terampil sesuai standar laki-laki. Laki-laki sudah menjadi suami yang benar dan baik sesuai standar suami. Dan, bila laki-laki, sudah menjadi menantu yang sesuai standar menantu yang benar dan baik.

Bagaimana pemerintah? DPR? Mau tetap sibuk dengan kepentingan kalian sendiri? Membiarkan para laki-laki tidak layak sebagai laki-laki? Membiarkan para suami tidak layak menjadi suami? Tidak peduli para laki-laki menjadi menantu yang tidak tahu diri?

Dalam ajaran Agama apa pun, tugas laki-laki itu ada. Dalam ajaran Islam, peran dan tugas laki-laki adalah: sebagai pemimpin, mencari nafkah, memberikan perlindungan, memberikan mahar.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), mahar adalah pemberian wajib yang diberikan oleh mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan saat akad nikah. Mahar bisa berupa uang atau barang.
 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun