Sebagai praktisi dan pengamat sepak bola, saya sering mengalami situasi yang sama, ketika mendampingi tim bermain. Bahkan pernah terjadi, tajuknya adalah partai final kompetisi resmi yang dihelat PSSI "daerah". Setelah kick off, kejadian demi kejadian pun nampak sudah ada  skenario yang dilakukan oleh wasit. Tujuannya akhirnya untuk membantu tim lawan menang meski dengan cara yang kasat mata tidak fair, sebab tidak ada  VAR.
Dari pada pemain banyak yang cidera, pertandingan terus berjalan dalam tensi panas. Dari  pada timbul kerusuhan pemain dan penonton, maka saya setop laga, meski babak 2 masih menyisakan waktu panjang. Saya tarik pemain ke luar. Saya mohon maaf kepada panitia. Bahwa tim saya menyatakan mundur dari laga alias mengalah. Kejadian itu sampai sekarang tentu masih yang membekas bagi para pelakunya. Piala Runner Up, sampai sekarang masih terawat di ruang sekretariat. Setiap kali memandangi Piala itu, selalu mengingatkan bahwa, mengalah itu bukan kalah. Sikap mengalah juga bagian dari wujud dan upaya untuk terus belajar menjadi cerdas I/IQ , P/EQ, dan SQ.
Pengalaman di jalan
Selain hal yang saya ungkap, masyarakat tentu banyak yang memiliki pengalaman kericuhan di jalan raya, baik yang menimpa diri sendiri atau orang lain. Banyak contoh kejadian yang terjadi di jalanan, diviralkan di medsos oleh netizen. Coba lihat, saat terjadi peristiwa, bila salah satu pihak "mengalah", apakah akan terjadi kericuhan?
Pihak yang mengalah, meski seringkali masalah justru dipicu oleh pihak lain, atau pihak yang mengalah memang benar menjadi pemicu masalah, maka dapat dipastikan, yang mengalah itu adalah SDM yang cerdas IQ, EQ, dan ES.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H