Lihatlah di dunia politik. Siapa yang terus bancakan berjuang dengan menghalalkan segala cara, sampai menanggalkan etika dan moral, demi langgengnya mereka, dinastinya, oligarkinya, terus ada di dalam jabatan/kedudukan/tahta/kursi. Amanah rakyat hanya jadi slogan. Setelah mereka mendapat suara untuk kursi jabatan dan kekuasaan, siapa yang "mereka" pikirkan.
Kasus RUU Pilkada pun ricuh. Ini lebih parah dari kericuhan sepak bola PON. Kasus Vina, Jet Pribadi, pembunuhan demi pembunuhan, korupsi, sampai Fufufafa.
Dalam kehidupan sehari-hari, di rumah, di lingkungan keluarga, masyarakat, di jalanan, di kehidupan berbangsa dan negara, sampai, apa yang tidak dibuat ricuh?
Peta kecil ricuh dalam sepak bola, sejatinya adalah peta besar bangsa ini dalam seluruh aspek kehidupan, hingga rakyat terus didera kemiskinan dan ketidakadilan.
Wasit dalam PON Aceh yang membuat kontroversi, lalu pelatih dan ofisial tim yang merasa dirugikan tetapi tidak mampu menunjukkan kualitas dan kompetensi dirinya cerdas I/IQ dan P/EQ, bahkan menjadi pemicu yang menyulut pemain yang juga rendah I/IQ dan P/EQ, ikutan terprovokasi.
Analogi
Coba bila dianalogikan, wasit di sepak bola yang bikin ricuh itu, kira-kira siapa dalam kehidupan nyata Indonesia terkini? Lalu, pelatih dan pemain yang tidak mampu mengendalikan I/IQ dan P/EQ, kira-kira model pejabat/politikus/elite/rakyat jelata yang seperti apa?
Acung jempol untuk Sumut
Kembali ke tragedi PON Aceh-Sumut. Seandainya, pelatih dan pemain Sulteng, bersikap legawa seperti Ofisial dan pemain Sumut yang tidak memperpanjang masalah, apalagi membawa ke ranah hukum atas kasus pemukulan kapten tim Sumut, yakin kericuhan laga Aceh vs Sulteng tidak akan menciderai sepak bola nasional.
Ingat-ingat! Apa tujuan Pekan Olahraga Nasional? Bagaimana janji wasit, ofisial, dan pemain. Untuk apa PON digelar.
Pengalaman mengalah