Mohon tunggu...
Supartono JW
Supartono JW Mohon Tunggu... Konsultan - Pengamat pendidikan nasional dan sosial. Konsultan pendidikan independen. Prakitisi dan Narasumber pendidikan. Praktisi Teater. Pengamat sepak bola nasional. Menulis di berbagai media cetak sejak 1989-2019. Ribuan artikel sudah ditulis. Sejak 2019 rehat menulis di media cetak. Sekadar menjaga kesehatan pikiran dan hati, 2019 lanjut nulis di Kompasiana. Langsung meraih Kompasianer Terpopuler, Artikel Headline Terpopuler, dan Artikel Terpopuler Rubrik Teknologi di Akun Pertama. Ini, Akun ke-Empat.

Bekerjalah dengan benar, bukan sekadar baik

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Berdampak Buruk, Pendidikan di Finlandia Tinggalkan Perangkat Digital, Kembali ke Pena dan Kertas

13 September 2024   23:09 Diperbarui: 13 September 2024   23:19 385
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Konsentrasi meningkat

Setelah sekolah meninggalkan perangkat digital, siswa kelas delapan Miko Mantila dan Inka Warro, keduanya berusia 14 tahun, mengatakan konsentrasi mereka meningkat sejak buku kembali tersedia. "Membaca, misalnya, jauh lebih mudah dan saya dapat membaca lebih cepat dari buku," kata Mantila, meskipun ia menambahkan bahwa menulis lebih mudah dilakukan pada perangkat digital.

Warro menambahkan bahwa: "Jika Anda harus mengerjakan pekerjaan rumah larut malam, akan lebih mudah untuk tidur jika Anda tidak hanya menatap perangkat."

Pernyataan Mantila dan Warro, diamini oleh Minna Peltopuro, seorang ahli saraf klinis yang bekerja di kota tersebut yang mengiringi perubahan pola pendidikan tersebut, menjelaskan bahwa total waktu yang dihabiskan di depan layar harus dikurangi hingga minimum.

Remaja Finlandia saat ini menatap layar hingga enam jam per hari rata-rata. Karena penggunaan digital yang berlebihan menimbulkan risiko fisik dan mental, seperti masalah mata dan meningkatnya kecemasan.

Selain itu, Peltopuro menjelaskan bahwa mengerjakan banyak tugas sekaligus, otak sangat rentan terhadap pekerjaan yang banyak dan terutama di usia muda, seseorang tidak dapat mengelolanya dengan baik.

Merdeka Belajar?

Maaf Mas Nadiem, sebelum lengser, di hadapan DPR, kan pamit dan nitip Merdeka Belajar. Apakah sudah ada penilitian dampak perangkat digital yang dijadikan ujung tombak Program Merdeka Belajar?

Finlandia saja, kini malah kembali ke pena dan kertas. Sadar bahwa dunia digital malah membuat belajar tidak konsentrasi. Menjadi celah para siswa, untuk mengelabui guru dan orang tua, padahal bermain game hingga bermedsos ria, bukan belajar atau mengerjakan tugas.

Dari sisi kesehatan, peggunaan perangkat digital berlebihan, menimbulkan risiko fisik dan mental, seperti masalah mata dan meningkatnya kecemasan, dll.

Sekali lagi, lihatlah Finlandia, sistem pendidikannya telah memperoleh pengakuan global atas hasil-hasilnya yang baik dalam beberapa dekade terakhir dan kesiapannya untuk mencoba teknik-teknik pengajaran baru. Tetapi, agar tidak terus berdampak buruk, demi kebaikan dan kebenaran, pendidikan di Finlandia kembali ke pena dan kertas.

Sekaligus menghentikan budaya tidak jujur/kebohongan siswa kepada guru dan orang tua dari penggunaan perangkat digital yang diselewengkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun