Saya sendiri, saat itu cukup intens berdiskusi dengan Ronny di PSSI, di ruang kerjanya. Yang ujungnya, PSSI meresmikan nama SSB berlaku di Indonesia dalam event Matahari Kid's Soccer Tournamen (MKST), Juli 1999, yang diikuti oleh 16 SSB perwakilan dari Jabotabek, Â belum lahir akronim Jabodetabek. Dan, 16 SSB tersebut, disebut sebagai SSB Pelopor di Indonesia. Sebab kesertaannya dalam MKST dipilih dan ditunjuk langsung oleh Ronny.
16 SSB Pelopor di Indonesia: ASIOP, Bina Taruna, Mutiara Cempaka, Sukmajaya, Gala Puri, Bekasi Putra, Pelita Jaya, Jayakarta, BIFA, Pamulang, Harapan Utama, Bintaro Jaya, Bareti, Camp 82, Depok Jaya dan Kemang Pratama.
Selepas MKST, apa yang terjadi? SSB langsung menjamur di seluruh Indonesia. Event SSB pun beraneka ragam. Tetapi, penyelenggaranya bukan lagi PSSI, tetapi pihak swasta.
MKST sebagai event meresmikan nama SSB diakui PSSI di Indonesia, ternyata menjadi event SSB resmi pertama dan terakhir yang dihelat oleh PSSI.
Dari titik resminya nama SSB digaungkan, saya pun mencatat perkembangan SSB di Indonesia  dalam artikel saya di berbagai media cetak nasional. Terutama saya tuangkan di Tabloid GO dan Harian TopSkor, tempat saya menjadi kolumnis sepak bola nasional.
Setelah media cetak ditelan zaman, beralih ke media online, saya pun intens mencatat khususnya perkembangan SSB di media online. Ribuan artikel sudah saya tulis. Isinya kisah nyata betapa sejak tahun 1999, selepas MKST, ternyata, PSSI tidak pernah serius mengurus, mengelola, dan membina sepak bola akar rumput Indonesia.
Bahkan wadah bernama SSB pun tidak pernah dibuatkan regulasi, apalagi akreditasi dan kompetisi resmi. Berbanding terbalik dengan pihak swasta dan para orang tua siswa SSB, yang justru semakin tidak dapat terkendali.
Setiap saat, di Indonesia, sangat mudah muncul SSB baru yang tanpa proses lahir apalagi berdiri. Tahu-tahu nama SSB baru sudah terdaftar di suatu event. Sangat "ngawur" karena antara yang membuat SSB baru dan penyelenggara event SSB juga sama-sama pihak yang tidak memahami aturan organisasi, syarat dan tata cara penyelenggaran event, dll.
Lebih hebatnya, pihak-pihak yang sok gaya-gaya-an, sok tahu, tapi tidak tahu, malah coba menaikan derajat kelas SSB dengan sebutan lain seperti Soccer School, Akademi, Diklat, dan sejenisnya. Tidak berpikir apa itu SSB, Diklat, Akdemi, dll harus memenuhi syarat apa saja. Mirisnya, ada SSB, Kepala Sekolahnya, maaf, hanya lulusan pendidikan SMA.
Yang pasti, kelucuan-kelucuan yang lebih tepatnya keprihatinan tentang keberadaan wadah sepak bola akar rumput ini, terus saya catat. Bila dilakukan penelitian, kalau PSSI sudah memiliki regulasi dan akreditasi tentang SSB, bekerjasama dengan Kemendikbudristek, dari 100 persen SSB yang kini berkiprah di seluruh Indonesia, saya yakin, tidak akan mencapai 20 persen SSB yang lulus akreditasi.
Di mana yang paling membuat SSB gagal lulus akreditasi? Letaknya pada pelatih=guru, yang tidak memenuhi syarat untuk mengampu dan mendidik anak usia dini (PAUD). Sebab, di sekolah formal, syarat menjadi guru PAUD saja minimal berpendidikan Sarjana.