Mohon tunggu...
Supartono JW
Supartono JW Mohon Tunggu... Konsultan - Menulis di berbagai media cetak sejak 1989. Pengamat Pendidikan Nasional dan Humaniora. Pengamat Sepak Bola Nasional. Praktisi Teater.

Bekerjalah dengan benar, bukan sekadar baik

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Antara +62, Revolusi Prancis, Guillotine, Marie Antoinette, dan Tone Deaf

26 Agustus 2024   11:59 Diperbarui: 26 Agustus 2024   12:25 313
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saat Guillotine beraksi, kehadiran rakyat yang menyaksikan eksekusi mencerminkan sekaligus menegaskan atas kemenangan Revolusi dari sistem lama yang dianggap korup dan tidak adil.

Lebih dari itu, eksekusi Marie Antoinette dengan guillotine, berdampak mendalam bagi masyarakat Prancis dan sejarah dunia. Bagi pendukung Revolusi,
Guillotine adalah cermin penegakan hukum yang tidak pandang bulu dan representasi dari keadilan yang dituntut oleh rakyat.

Sebaliknya, bagi lawan-lawan revolusi dan pengikut monarki, eksekusi dengan Guillotine menjadi simbol kekejaman dan ekstremisme Revolusi.

Namun, penggunaan guillotine terus berlanjut selama periode Reign of Terror. Ribuan orang dieksekusi dengan alat yang sama. Sebab, guillotine dikenal sebagai metode eksekusi yang efisien dan 'humanis' pada zamannya, tetapi sekaligus menjadi simbol dari teror dan kekacauan yang melanda Prancis pada saat itu.

Dikaitkan dengan +62

Yang pasti, saat dikaitkan dengan keadaan +62 sekarang, kisah Ratu Marei yang "tone deaf", di Prancis hukumannya penggal kepala. Bagaimana dengan hukuman perilaku orang di Indonesia yang "tone deaf", bahkan sampai tombol "Peringatan Darurat" bergema di seluruh nusantara, (baca: bukan IKN), ada yang masih tetap tone deaf, maka jelas, rakyat pun marah dan membahasnya di medsos.

Di Prancis, ketika rakyat sudah muak dengan ketidak-adilan, keserakahan, kepongahan, pembangkangan, kekuasaan, politik, dinasti, hedonis, perilaku itu ada pada Ratu Marie Antoinette, Ratu itu pun dihukum mati. Dipenggal kepalanya dengan guillotine.

Berdasarkan informasi pemandu wisata saat di Museum Louvre, Guillotine yang digunakan selama Revolusi Prancis, tidak dipajang di museum untuk umum mana pun di Paris. Guillotine asli yang digunakan selama Revolusi Prancis tidak dipajang di museum untuk dilihat publik. Tetapi Guillotine sungguhan, asli, disimpan di
Muse de la prfecture de polisi.

Peringatan Darurat=Guillotine +62

Akankah tombol "Peringatan Darurat" menjadi Guillotine di +62? Bila berikutnya ada lagi pembangkangan? Bagaimana dengan perilaku manusia yang masih tone deaf? Di tengah situasi rakyat marah hingga disamakan dengan sosok Marie
Antoinette, yang ujungnya di penggal kepalanya?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun