Dari catatan itu, nama Marie Antoinette saya tulis "agak lain". Sebab, kisah Marie Antoinette, saya anggap sebagai sosok manusia yang hanya mementingkan dirinya sendiri.
Begitu di Indonesia terjadi "Peringatan Darurat", Marie Antoinette justru dijadikan analogi, sosoknya dikaitkan, disangkut-pautkan dengan seseorang dari +62, yang perilaku buruknya disejajarkan dengan dia, yaitu perilaku "tone deaf". Sangat tidak berperasaan dan tidak peka dengan apa yang terjadi di Indonesia, bahkan perilaku hedonnya pun dipublikasikan di medsos.
Persis dengan kisah Marie yang dikisahkan ulang dengan sangat terang benderang oleh Pemandu Wisata yang fasih berbahasa Indonesia di Museum Louvre.
Bahkan ucapannya: "Let them eat cake." Bagi masyarakat Prancis, menjadi salah satu pengingat betapa kejam dan kerasnya hati sang ratu itu.
Sikap Marie yang "agak lain" dan "tone deaf" pun melahirkan revolusi. Â Akibatnya, pada 16 Oktober 1793, Marie Antoinette dihukum mati. Dipenggal kepalanya dengan guillotine.
Guillotine, cermin keadilan
Keputusan untuk menggunakan guillotine dalam eksekusi Marie Antoinette, mencerminkan berbagai aspek sosial, politik, dan simbolik di akhir masa Revolusi Prancis.
Guillotine, adalah alat pemenggal kepala, diperkenalkan sebagai metode eksekusi resmi selama Revolusi Perancis. Didesain oleh Dr. Joseph-Ignace Guillotin.
Alat ini dimaksudkan untuk memastikan pelaksanaan hukuman mati yang cepat dan manusiawi, dan untuk menekankan kesetaraan keadilan di hadapan hukum.
Desain guillotine terdiri dari sebuah pisau besar yang dijatuhkan dari ketinggian untuk memenggal kepala dengan cepat. Lebih efisien dan kurang menyakitkan dibandingkan metode eksekusi lainnya, seperti gantung atau pemenggalan kepala dengan pedang.
Guillotine juga menjadi bentuk pernyataan revolusioner, menandai pengakhiran kekuasaan aristokrasi dan simbolisme dari kesetaraan, keadilan, di era revolusi.