Catatan kecil, sebelum Teater Tupat (SDN Tugu 4) pentas produksi ke-2, Sabtu, 22 Juni 2024, di GOR Gumilang, Depok, Jawa Barat.
Layak masuk MURI
Sepengetahuan saya, selama puluhan tahun menekuni kesenian teater di berbagai SD, SMP, SMA, Perguruan Tinggi, di Teater saya sendiri, menjadi aktor di Teater Koma, menjadi pengamat pendidikan nasional dan sosial, bekerja sebagai Konsultan Pendidikan Independen, inilah satu-satunya sekolah negeri, yang menyelenggarakan ekstrakurikuler teater dengan peserta kelas 1 sampai kelas 6, digabung menjadi satu, bernama Teater Tupat (Tugu Empat).
Bila Museum Rekor Indonesia (MURI) mau mencatat, Teater Tupat layak masuk MURI.
Bersyukur, bangga, teater "berat"
Saya bersyukur, senang, dan bangga, dapat menyumbangkan pikiran dan tenaga untuk regenerasi teater di Indonesia melalui SDN Tugu 4.
Mementaskan pertunjukan teater adalah berat. Butuh waktu, proses latihan yang intensif, menguras pikiran dan hati. Apalagi bagi anak-anak usia dini yang sebelumnya sama sekali tidak tahu apa itu teater. Mendidik, melatih, membina, hingga merawat hati dan pikiran mereka agar mulai mencintai dan mengakrabi teater, bagi siapa pun yang mengampunya, butuh suplemen ISEAKI (intelektual, sosial, emosional, analisis, kreatif-imajinatif, iman) yang mumpuni, agar peserta didik "tidak kabur" sebelum pentas.
Orang Tua peserta didik yang sudah tahu atau belum tahu teater saja, ada yang berpikir, bila putra/putrinya kebagian peran yang mereka anggap kecil/sepele/figuran/dan sejenisnya, maka akan kecewa. Tidak memahami bahwa peranan sekecil apa pun, itu sama dengan peranan utama. Saling melengkapi dan keberadaannya dalam pertunjukan, nilai sama. Salah satu saja tidak ada, pertunjukan akan pincang, tidak berjalan sesuai target, dll.
Jaga, rawat pikiran dan hati
Peminat teater di sekolah ini luar biasa, tercatat ada 96 peserta didik dari kelas 1 sampai kelas 6. Karena itu, hati dan pikiran mereka, termasuk para orangtuanya wajib "dijaga dan dirawat" agar kesenian teater terus dapat dilestarikan. Khususnya di SDN Tugu 4, Depok, Jawa Barat.
Setelah produksi pertama di semester 1, kini di semester 2, produksi kedua adalah "Dongeng Jaka Tarub dan 7 Bidadari" yang diikuti oleh 48 peserta didik. Seluruh dari 48 peserta didik, naik panggung, alias menjadi pemain. Semua saya sebut sebagai pemain utama. Peran sekecil apa pun, adalah "Peran Besar".
Sejatinya, mengacu pada standar pementasan teater, sesuai proses latihan dan target pementasan, jangankan disebut pentas, disebut gladi kotor, apalagi gladi bersih pun belum layak. Sebab ekskul teater, waktunya hanya seminggu sekali.
Tapi faktanya, sekarang mereka sudah disebut pentas, dengan "apa adanya", adaptasi naskah dan penyutradaraan pun dari segi artistik dan nonartistik, ikut menyesuaikan situasi dan kondisi pemain belia dan sangat-sangat pemula, kondisi sekolah, kondisi tempat pementasan, yaitu dengan model pentas ala teater rakyat.
Kekuatan jiwa-raga, dan vokal
Bermain peran, akting itu, tidak mudah. Fondasi pertunjukan teater dalam berperan adalah kekuatan vokal/suara, raga, dan sukma para pemain. Untuk vokal pemain pun bukan dengan dubbing atau memakai bantuan pengeras suara.
Terima kasih
Terima kasih kepada SDN Tugu 4, terutama kepada Kepala Sekolah dan para Orang Tua Peserta Didik, serta Pembina/Pendamping Eskul Teater, yaitu Ibu Tutik, S.Pd, Â Ibu Siti Robiyah, S.Pd, dan Ibu Halimatus Sa'diyah, S.Pd.I.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H