Mohon tunggu...
Supartono JW
Supartono JW Mohon Tunggu... Konsultan - Pengamat pendidikan nasional, sosial, dan pengamat sepak bola nasional. Ini Akun ke-4. Akun ke-1 sudah Penjelajah. Tahun 2019 mendapat 3 Kategori: KOMPASIANER TERPOPULER 2019, ARTIKEL HEADLINE TERPOPULER 2019, dan ARTIKEL TERPOPULER RUBRIK TEKNOLOGI 2019

Bekerjalah dengan benar, bukan sekadar baik

Selanjutnya

Tutup

Bola

Memetik Pelajaran, Gagal 3 Kali oleh Sebab yang Sama

10 Mei 2024   17:18 Diperbarui: 10 Mei 2024   17:20 249
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Bila jatuh ke lubang yang sama sampai tiga kali karena kebodohan sendiri, seperti pepatah keledai kisahnya. Tetapi jatuh ke lubang yang sama sampai tiga kali karena "dikerjai", bijaknya mawas diri.

(Supartono JW.10052024)

Menurut KBBI, mawas diri berarti melihat diri sendiri secara jujur. Mawas diri pun bermakna memeriksa atau mengoreksi diri sendiri secara jujur dari apa yang dilihat, dirasakan, dan dilakukan tanpa mempertimbangkan aspek lainnya.

Terkait kekalahan Timnas Indonesia U-23 untuk kali ketiga dalam rangka meriah tiket Olimpiade Paris sebagai wakil Asia, memang secara kasat mata, berdasarkan fakta dan data, ada faktor wasit yang ikut berperan menyingkirkan Indonesia, tiga kali beruntun.

Tanpa harus mengulang fakta dan datanya, faktor wasit ikut menyingkirkan Indonesia dari arena Olimpiade Paris 2024, diawali dari laga semi final Piala Asia U-23 2024 versus Uzbekistan. Kolaborasi wasit utama dan wasit VAR, sampai sekarang pun masih layak untuk diinvestigasi, bagaimana "mereka" membuat keputusan yang merugikan Indonesia.

Kolaborasi kedua adalah saat perebutan juara empat versus Irak. Kolaborai wasit utama dan wasit VAR pun, setali tiga uang. Sangat terlihat, Indonesia tidak boleh menang.

Lebih parah, bila dua kesempatan tiket ditutup oleh wasit utama dan wasit VAR, artinya ada "sesuatu" dari yang menugaskan, dalam hal ini AFC. Lebih tragis, saat kesempatan ketiga, wasit pun seperti sudah diberikan job description untuk menyingkirkan Indonesia dengan cara kasih hadiah pinalti.

Pasalnya, bagaimana mungkin, laga playoff sekelas turnamen terbesar di dunia bernama Olimpiade, justru dalam laga penentuan meraih tiket antara wakil Benua Asia dan Afrika, tanpa ada wasit VAR. Padahal di  laga ini, sudah ada campur tangan FIFA.

Bahkan, sebelum laga berlangsung, media Vietnam Dan Tri, menyebut laga Indonesia versus Guinea sebagai duel yang aneh. Karena laga tersebut tidak masuk ke dalam kalender FIFA meski hasilnya akan menentukan tiket Olimpiade.

Akibatnya, klub tidak memiliki kewajiban untuk melepas pemainnya ke tim nasional. Selain itu, Dan Tri pun mengungkap keputusan janggal yang dibuat oleh FIFA untuk pertandingan tersebut, menyoal wasit yang memimpin laga, tidak dipublikasikan oleh AFC mau pun FIFA.

Akhirnya terbukti, wasit yang memimpin laga ternyata dari Prancis. Memberikan dua hadiah penalti untuk Geinea. Tanpa ada bantuan VAR. Dalam tayangan ulang, bila Witan di anggap melakukan pelanggaran, maka pelanggarannya tendangan bebas. Karena terjadi di luar kotak penalti.

Karena tanpa VAR, maka keputusan wasit mutlak. Guinea pun dapat hadiah kemenangan gratis. Tidak berhenti di situ. Wasit pun memanfaatkan momentum untuk kasih hadiah penalti kedua ke Guinea karena Dewangga dianggap melakukan pelanggaran di dalam kotak penalti. Dalam tayangan ulang, tekel Dewangga bersih. Tapi bukannya wasit mengubah keputusan, wasit justru melayangkan kartu merah untuk Shin Tae-yong (STy) yang melakukan protes keras.

Lucunya, atas upaya-upaya yang dilakukan, seolah tidak rela Indonesia masuk Olimpiade, AFC pun membuat narasi dengan menerbitkan sebuah artikel berjudul "Guinea mengakhiri impian Indonesia di Paris 2024".

Dalam artikel yang dimuat di laman resminya itu, AFC menyoroti soal kegagalan Timnas Indonesia U-23 yang tampil sangat impresif di Piala Asia U-23. Sebagai tim debutan, mampu mengalahkan tim kuat seperti Australia, Yordania, hingga Korea Selatan. Sayang, saat menghadapi Uzbekistan di laga semifinal, Indonesia menelan kekalahan.

Di pertandingan perebutan tempat ketiga, Indonesia pun harus menelan kekalahan dari Irak. Hasil ini membuat Garuda Muda menjalani laga playoff melawan Guinea.

Pada akhirnya laga Timnas Indonesia U-23 versus Timnas Guinea U-23 yang tersaji di Clairefontaine, Paris, Prancis, Kamis (9/5/2024) pukul 20.00 WIB, pun melanjutkan drama yang sepertinya sudah terstruktur, tersistem, dan masif (TSM), untuk menyingkirkan Indonesia.

Petik pelajaran

Bila jatuh ke lubang yang sama sampai tiga kali karena kebodohan sendiri, seperti pepatah keledai kisahnya. Tetapi jatuh ke lubang yang sama sampai tiga kali karena "dikerjai", bijaknya mawas diri.

Sejatinya, bila benar, sudah ada skenario TSM untuk menyingkirkan Indonesia agar tidak lolos ke Olimpiade, apakah otaknya AFC atau FIFA, atau mafia, maka upaya benar dan baik secermat apa pun, tentu akan tetap "kalah".

Sudah bukan rahasia bahwa apa  pun bentuk kecurangan yang TSM, sulit untuk siapa pun dapat memenangkan pertarungan. Pun akan sulit memenangkan bila menggugat kecurangan.

Bila kita tahu, dapat membaca, dalam turnamen/kompetisi/pertarungan dll, ada tanda-tanda kecurangan, maka kita harus mawas diri.

Sebagai contoh, untuk Timnas Indonesia U-23, sudah dicurangi saat melawan Qatar. Saat itu, tujuan curang, hanya demi meloloskan Qatar ke fase berikut. Ternyata, dengan mawas diri, Timnas Indonesia U-23 mampu bangkit. Malah melibas Australia dan Yordania.

Di luar nalar dan dugaan, Witan cs pun malah mampu menekuk Korea Selatan di delapan besar. Sepertinya, pihak "itu" tidak perlu mencurangi Indonesia, karena yakin akan kalah dari Australia, Yordania, dan Korea Selatan.

Nah, agar jangan sampai lolos Olimpiade, pihak "itu" pun membuat skenario untuk laga semi final dan perebutan tempat  ketiga. Dilanjutkan skenario di babak playoff.

Andai Witan dan Dewangga mawas diri, cerdas, tentu tidak akan melakukan pelanggaran yang memang momentumnya ditunggu oleh wasit.

Andai para pemain juga mawas diri, tentu akan memaksimalkan diri untuk bermain kolektif dan tim demi memenangi laga. Sayang, beberapa pemain tetap tampil tidak mawas diri. Baik saat lawan Uzbekistan, Irak, mau pun Guinea. Beberapa pemain mempersulit dirinya dan Indonesia karena hukuman kartu kuning dan merah.

Saya setuju dengan pernyataan beberapa pihak, pasukan Garuda Muda U-23 ini adalah generasi emas. "Mereka adalah buah dari pembinaan, pendidikan, pelatihan, dan kompetisi yang tidak instan. Entah berapa tahun lagi akan lahir generasi emas model Timnas U-23 ini.

Namun, yang pasti, apresiasi layak ditujukan untuk STy dan Witan cs, karena sudah membuat takjub Asia dan Dunia. Sepak bola Indonesia menjadi perbincangan dunia.

Selalu mawas diri. Sulit melawan kecurangan. Bila tahu ada pihak yang akan curang, apalagi secara TSM, maka siapkan diri dengan cerdas. Hindarakan diri dari momentum yang akan menghukum diri kita karena kesalahan dan kebodohan yang kita buat. Sebab, momentum kesalahan dan kebodohan itu, sedang ditunggu atau sengaja dipancing oleh pihak yang "curang".

(Supartono JW.10052024)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun