Pertanyaan saya, khususnya medmas, mengapa justru tetap membuka kolom komentar yang sudah dapat diterka, akan membuat gaduh. Mirisnya, medmas yang justru terus menyajikan berita aktual terkait perkara dunia, terutama hal politik, adalah media mainstream (arus utama) di Indonesia.
Sementara ada medmas mainstream yang memang sejak awal tidak menyediakan kolom komentar. Karena tahu dampaknya hanyalah kemudaratan.
Tidak berbeda dengan medmas mainstream dan medmas yang mungkin "pesanan", di berbagai medsos, manusia-manusia yang begitu hebat rasa mencintai dan rasa memiliki tuan dan junjungannya, Â pun mengunggah atau menyiarkan konten yang tidak mendidik. Tujuannya memantik komentar yang pada ujungnya, kolom komentar pun akan dihujani komentar yang isi dan tujuannya tidak berbeda dengan komentar berita atau artikel di medmas.
Pertanyaannya, mengapa sampai detik ini, pemerintah tidak pernah menertibkan hal ini. Seolah malah menjadikan medmas dan medsos sebagai sarana mendidik, menanam, dan merawat manusia Indonesia agar berkarakter rendah etika dan moral?
Bukankah cara untuk menertibkan agar tidak melahirkan komentar dari para manusia pecinta dan perasa pemilik tuan dan junjungannya yang berkarakter rendah etika dan moral itu, mudah?
Atau jangan-jangan, justru inilah program andalan dalam bentuk pendidikan karakter budi pekerti merendahkan manusia yang memang sedang ditanam dan dirawat oleh para pemimpin di negeri ini? Mencintai dan merasa memiliki kepada sesama manusia yang didewakan, berbicara tidak sesuai hati nurani, demi kepentingan dan keuntungan mereka?
Menjadikan pikiran dan hati nurani rakyat yang cerdas dan bodoh, dan miskin hati. Merasa dibantu dari kemiskinan dan pendiritaan lahir dan batin oleh tuan dan junjungannya yang sama-sama manusia, tetapi  sesaat dan sesat. Padahal,  tuan dan junjungannya hanya menjadikan para manusia ini, "alat bantunya" untuk menggapai maksud dan tujuan kepentingan duniawinya.
Mencintai dan rasa memiliki
Berat untuk setiap manusia dapat memenuhi ciri sebagai wali Allah, meski sangat terbuka jalan untuk ke sana. Namun, meski berat dan tidak mustahil, minimal saya, kita, juga jangan sampai terjerumus menjadi musuh-musuhnya wali Allah, yang dalam mencintai dan merasa memiliki kepada Allah mau pun sesama manusia hanya sekadar drama. Bukan dari pikiran dan hati nurani yang bersih, ikhlas.
Pasalnya, selain contoh betapa polusinya komentar netizen di medmas dan medsos terkait mencintai dan merasa memiliki tuan dan junjungannya sampai menabrak nilai-nilai agama, etika, dan moral, dalam persoalan lain, juga sangat lazim, para manusia hanya berdrama saat mencintai dan merasa memiliki saat menjadi anggota dari kegiatan instansi, institusi, hingga kegiatan masyarakat dalam berbagai bidang.
Selain mencintai, sense of belonging, menjadi suatu kebutuhan dasar yang perlu dimiliki manusia, karena sense of belonging terkait dengan keadaan psikologis dan kesehatan mental, bahkan juga kesehatan fisik seseorang.