Imam yang kompeten, dipercaya, amanah, dan memenuhi syarat, tidak akan meresahkan hati rakyat atau Umat.
(Supartono JW.28032024)
Memasuki Ibadah Ramadan 1445 Hijriah hari ke-18, secara pribadi dan mewakili para jamaah Salat Tarawih di mana pun di negeri ini, sesuai doa ibadah Ramadan hari ke-18 yang diajarkan berbagai Ulama, yaitu tentang keberkahan dan cahaya Allah, maka dalam artikel ini saya khusus mengulas tentang Imam yang munaffir (meresahkan hati).
Dalam artikel ke-6, sejatinya saya sudah menulis tentang "Membuat Hati Nyaman, Bukan Meresahkan!". Untuk mewakili hati rakyat jelata/umat yang resah. Namun, dalam artikel ke-18 ini, khusus saya menulis, mengoreksi, menyoal Imam yang meresahkan rakyat/Umat.
Imam kepala (negara)
Sesuai Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), makan Imam di antaranya adalah pemimpin salat (pada salat yang dilakukan bersama-sama), pemimpin, Â kepala (negeri dan sebagainya), penghulu, mahdi, pastor, padri.
Terkait makna Imam sebagai pemimpin atau kepala negeri, yang meresahkan rakyat, sudah tidak terhitung artikel yang saya tulis. Bahkan, terkait Imam (kepala negeri) yang perilakunya dianggap menodai etika dan moral, meresahkan hati rakyat, sudah dengan tegas diingatkan oleh para cerdik pandai, cerdik cendekia, dan para akademisi.
Tetapi, nampaknya, hingga Ramadan ke-18, belum ada tanda-tanda pemimpin ini, Â mendapat hidayah dan cahaya dari Allah. Mungkin tetap menganggap apa yang dilakukan dan diperoleh dari perilakunya adalah berkah. Walau sebenarnya pembawa masalah dan dekat dengan ancaman musibah bagi negeri ini.
Imam (pemimpin)
Selain kepala negara, juga pemimpin masyarakat tingkat RT sampai Provinsi, pemimpin juga ada diberbagai kehidupan sosial masyarakat. Mulai pemimpin institusi, instansi, perusahaan, kelompok, kekeluargaan, grup kesenian, grup olah raga, partai, dan lain-lain.
Semua anggota yang menjadi bagian dari kepemimpian tersebut, akan dengan mudah dapat mengidentifikasi apakah pemimpinnya kompeten, amanah, dan memenuhi syarat menjadi pemimpin.
Seringkali, diberbagai kehidupan sosial masyarakat, siapa yang menjadi pemimpin juga tidak berdasarkan kompetensi dan syarat, karena pemimpin ditentukan dengan cara yang tidak benar. Bahkan akhirnya banyak yang jadi pemimpin karena dinasti, kolusi, Â nepotiseme, dan kepentingan.