makan malam, makan bakso. Setelah Pilpres ada makan malam lagi. Drama ini sepertinya tidak dipahami oleh lebih dari 70 persen rakyat Indonesia yang memiliki hak pilih. Sementara, memenangi Pilpres, minimal hanya butuh 51 persen suara.
Sebelum Pilpres ada(Supartono JW.19022024)
Setelah disebut berbagai pihak sebagai aktor utama antagonis (tidak meneladani etika dan moral sebagai pemimpin bangsa), usai Pemilu, aktor utama yang sangat berambisi menjegal calon pemimpin "perubahan", kembali beraksi.
Setelah yakin, yang mengusung perubahan berhasil dijegal dengan terstruktur, tersistem, dan masif. Maka, pihak pengusung perubahan pun didekati lagi, diundang makan ke istana.
Skenario licik yang usang. Tetapi itulah politik. Mau muka satu, muka dua, tidak tahu etika, tidak tahu moral, tidak tahu malu, itu semua tidak penting bagi pelaku, bagi aktornya.
Prek omongan orang/rakyat yang cerdas pikiran dan hati yang jumlahnya tidak lebih dari 30 persen dari seluruh rakyat yang memiliki hak pilih, toh rakyat yang masih bodoh, miskin, dan menderita, yang memiliki hak pilih dalam Pilpres 2024, jumlahnya lebih dari 70 persen.
Apakah pihak pengusung perubahan memiliki rasa risih? Sementara datang dan menghadiri undangan makan malam dari aktor penjegal perubahan sama dengan tidak memperhatikan pikiran dan perasaan semua pihak di gerbong perubahan? Ini sama sekali tidak ada sensitifnya.
Dan, itulah politik. Mau muka satu, muka dua, tidak tahu etika, tidak tahu moral, tidak tahu malu, itu semua tidak penting bagi pelaku, bagi aktornya. Yang penting adalah keuntungan, kedudukan, bisnis, hingga kekuasaan yang langgeng bagi diri, dinasti, ologarki, kelompok, golongan, sponsor (baca: cukong), dll.
Ibarat pertunjukan drama
Ibarat sebagai sebuah pertunjukan drama panggung yang getir, bila dianalisis. Misalnya di sektor artistik.
Siapa sebenarnya aktor utama Pilpres 2024? Apakah pasangan Capres-Cawapres 1, 2, dan 3? Lalu, siapa penulis naskah Pilpres 2024? Apakah tim pemenangan Capres-Cawapres 1, 2, dan 3? Kemudian, siapa  siapa sutradaranya? Apakah dari Capres-Cawapres 1, 2, dan 3? Siapa stage managernya, penata artistiknya, musiknya, geraknya, riasnya, kostumnya, dll?
Di bagian nonartistik. Siapa pemimpin produksinya, siapa sponsornya, siapa-siapa tim produksi sesuai bagiannya? Siapa stakeholder yang menjadi  bagian dari pendukung pentas drama mendapat izin pentas?
Sejatinya, bila Pilpres 2024 dianalogikan sebagai sebuah proses ptoduksi sebuah pementasan drama, sangat mudah dibaca siapa yang berperan di semua bagiannya.
Bahkan sangat jelas pula rangkaian prosesnya, sejak perencanaan, proses produksi, hingga jatuh di tanggal dan hari pementasannya.
Bagian proses ini, tentu sudah sangat diperhitungkan dengan detail kelemahan dan kekuatannya, kerugian dan keuntungannya.
Di sinilah, dari rencana, proses, hingga pertunjukan dapat disebut sebagai pekerjaan yang wajib terstruktur, tersistem, dan masif. Semua bagian adalah penting. Saling terkait. Saling mendukung. Bila tidak masif, bila siapa yang pentas tidak memiliki nama besar, mana mungkin kursi di gedung pertunjukan akan dipenuhi penonton.
Sayangnya, semua hal terkait Pilpres 2024 yang sudah dilakukan persiapan, perencanaan, dan prosesnya secara terstruktur, tersistem, dan masif ini, bisa jadi oleh ketiga kubu peserta Pilpres, yang mampu memenangkan, tentunya, adalah kubu yang memiliki stakeholder terkait dan mengait.
Lebih miris lagi, penonton (baca: rakyat jelata) yang menjadi bagian dari pertunjukan, yang memiliki hak pilih, yaitu pertunjukan politik (baca: Pilpres 2024), yang tahu bahwa pertunjukan ini sudah ada yang mengatur dengan terstruktur, tersistem, dan masif tidak kurang dari 30 persen.
Sementara ada lebih dari 70 persen rakyat jelata yang memiliki hak pilih, tetapi masih belum cerdas pikiran dan hati. Tidak dekat dengan dunia pengusung perubahan.
Untuk memenangi Pilpres hanya butuh suara minimal 51 persen untuk menang. Jadilah yang 70 persen rakyat pemilih suara ini, makanan empuk yang dapat digarap dengan mudah dengan skenario, penyutradaraan, serta aktor yang mumpuni. Strategi klasik pun digunakan, yaitu terstruktur, tersistem, dan masif.
Berhasil dengan strateginya. Kini, strategi berikutnya, pun sudah berhasil menggaet pengusung utama perubahan, bisa menghadiri undangan makan. Siapa berikutnya?
Sebagai rakyat jelata, saya melihat dan menonton pertunjukan drama politik ini, sebagai hal yang biasa saja. Ada pihak yang masih menggebu, mencari dan mengumpulkan bukti kecurangan Pemilu.
Saya pikir, itu hanya menghabiskan waktu, energi, dan uang. Tetapi, bisa jadi, ini hanya bagian dari skenario politik pula. Sebab, sepertinya, masalah curang nanti juga akan hilang berganti dengan rekonsiliasi. Ha ha ... .
Lihatlah, setiap kali ada yang berpendapat dan bertanya kepada pihak yang "itu", jawabnya: "Silakan laporkan kecurangan. Kan ada mekanismenya. Ada jalurnya. Laporkan saja".
Apakah selama ini, dari pengalaman yang ada, pihak pelapor dan memenangi laporan dan gugatannya? Capai deh ... .
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H