Mohon tunggu...
Supartono JW
Supartono JW Mohon Tunggu... Konsultan - Pengamat pendidikan nasional dan sosial. Konsultan pendidikan independen. Prakitisi dan Narasumber pendidikan. Praktisi Teater. Pengamat sepak bola nasional. Menulis di berbagai media cetak sejak 1989-2019. Ribuan artikel sudah ditulis. Sejak 2019 rehat menulis di media cetak. Sekadar menjaga kesehatan pikiran dan hati, 2019 lanjut nulis di Kompasiana. Langsung meraih Kompasianer Terpopuler, Artikel Headline Terpopuler, dan Artikel Terpopuler Rubrik Teknologi di Akun Pertama. Ini, Akun ke-Empat.

Bekerjalah dengan benar, bukan sekadar baik

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Makan Malam, Lagi?

19 Februari 2024   10:19 Diperbarui: 19 Februari 2024   10:19 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebelum Pilpres ada makan malam, makan bakso. Setelah Pilpres ada makan malam lagi. Drama ini sepertinya tidak dipahami oleh lebih dari 70 persen rakyat Indonesia yang memiliki hak pilih. Sementara, memenangi Pilpres, minimal hanya butuh 51 persen suara.

(Supartono JW.19022024)

Setelah disebut berbagai pihak sebagai aktor utama antagonis (tidak meneladani etika dan moral sebagai pemimpin bangsa), usai Pemilu, aktor utama yang sangat berambisi menjegal calon pemimpin "perubahan", kembali beraksi.

Setelah yakin, yang mengusung perubahan berhasil dijegal dengan terstruktur, tersistem, dan masif. Maka, pihak pengusung perubahan pun didekati lagi, diundang makan ke istana.

Skenario licik yang usang. Tetapi itulah politik. Mau muka satu, muka dua, tidak tahu etika, tidak tahu moral, tidak tahu malu, itu semua tidak penting bagi pelaku, bagi aktornya.

Prek omongan orang/rakyat yang cerdas pikiran dan hati yang jumlahnya tidak lebih dari 30 persen dari seluruh rakyat yang memiliki hak pilih, toh rakyat yang masih bodoh, miskin, dan menderita, yang memiliki hak pilih dalam Pilpres 2024, jumlahnya lebih dari 70 persen.

Apakah pihak pengusung perubahan memiliki rasa risih? Sementara datang dan menghadiri undangan makan malam dari aktor penjegal perubahan sama dengan tidak memperhatikan pikiran dan perasaan semua pihak di gerbong perubahan? Ini sama sekali tidak ada sensitifnya.

Dan, itulah politik. Mau muka satu, muka dua, tidak tahu etika, tidak tahu moral, tidak tahu malu, itu semua tidak penting bagi pelaku, bagi aktornya. Yang penting adalah keuntungan, kedudukan, bisnis, hingga kekuasaan yang langgeng bagi diri, dinasti, ologarki, kelompok, golongan, sponsor (baca: cukong), dll.

Ibarat pertunjukan drama

Ibarat sebagai sebuah pertunjukan drama panggung yang getir, bila dianalisis. Misalnya di sektor artistik.
Siapa sebenarnya aktor utama Pilpres 2024? Apakah pasangan Capres-Cawapres 1, 2, dan 3? Lalu, siapa penulis naskah Pilpres 2024? Apakah tim pemenangan Capres-Cawapres 1, 2, dan 3? Kemudian, siapa  siapa sutradaranya? Apakah dari Capres-Cawapres 1, 2, dan 3? Siapa stage managernya, penata artistiknya, musiknya, geraknya, riasnya, kostumnya, dll?

Di bagian nonartistik. Siapa pemimpin produksinya, siapa sponsornya, siapa-siapa tim produksi sesuai bagiannya? Siapa stakeholder yang menjadi  bagian dari pendukung pentas drama mendapat izin pentas?

Sejatinya, bila Pilpres 2024 dianalogikan sebagai sebuah proses ptoduksi sebuah pementasan drama, sangat mudah dibaca siapa yang berperan di semua bagiannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun